Kamis, 10 Februari 2011

PRODUKSI BUKU YANG DIHASILKAN GURU/DOSEN DI INDONESIA RENDAH

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
BUKU adalah jendela dunia. Ungkapan bernada klise, tapi belum sepenuhnya disadari. Entah karena deraan krisis ekonomi yang masih menyelimuti bangsa ini, sehingga buku belum menjadi kebutuhan yang diperhitungkan atau belum menjadi skala prioritas. Justru yang berkembang adalah anggapan umum, bisa makan tiga kali sehari saja sudah untung.
Ketika membanding-bandingkan dengan negara lain itulah, persoalan perbukuan Indonesia terasa makin gelap. Malaysia saja yang penduduknya sekitar 10 persen dari penduduk Indonesia, menghasilkan 7.000 judul buku per tahun, sedangkan Thailand mencapai 10.000 judul. Indonesia baru menghasilkan buku paling tinggi 5.800 judul per tahun. Berdarkan data tersebut itu menunjukkan, betapa rendahnya tingakt penggapaian ilmu pengetahuan kita di tengah zaman teknologi dan informasi ini.
Sebagai Negara yang sedang bekembang, Indonesia masih mengandalkan buku sebagai salah satu sumber informasi untuk berbagai keperluan termasuk keperluan belajar dan membelajarkan. Hal ini sangat terlihat di lembaga-lembaga pendidikan yang lebih banyak menggunakan buku pelajaran daripada media lainnya. Pemenuhan kebutuhan buku itu ditentukan oleh kemampuan industri buku di Indonesia.
Peranan buku sebagai sumber informasi untuk keperluan belajar dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dianggap semakin penting dan strategis sesuai dengan sifat buku itu sendiri yang antara lain dapat dipergunakan untuk memuat berbagai informasi (tentang ilmu pengetahuan, teknologi, agama, kesenian, dan hiburan), mudah disebarluaskan, harganya relatif murah, dapat dipakai oleh banyak orang, dapat dibawa kemana-mana dan dipergunakan sesuai dengan kesempatan pembacanya. Kelebihan media cetak seperti buku dibandingkan dengan media lainnya seperti media elektronik, menyebabkan kebutuhan akan buku sebagai sumber belajar dan pembelajaran di Indonesia semakin dirasakan, mengingat jumlah penduduk yang begitu besar, wilayah yang begitu luas dengan keadaan geografis yang beraneka ragam, serta kemampuan Pemerintah yang masih kurang dan terbatas dalam menyediakan sumber-sumber belajar lainnya. Di samping itu hasil studi di berbagai negara memperkuat bahwa buku pelajaran merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan belajar siswa. Terdapat korelasi positif antara tersedianya buku pelajaran yang bermutu dengan hasil belajar siswa. Semakin banyak tersedia buku pelajaran yang bermutu dan dibaca siswa, semakin tinggi pula hasil belajarnya.
Guru sebagai ujung tobak keberhasilan pendidikan, seharusnya mau dan mampu menghasilkan buku. Guru menguasai bidang studi serta memiliki pengalaman membelajarkan dengan menggunakan berbagai metode, namun dalam kenyataannya buku yang dihasilkan guru/dosen masih rendah. Pada makalah ini akan dibahas apa penyebabnya buku yang dihasilkan guru/dosen rendah, apa hambatannnya dan bagaimana solusinya.
B. Rumusan Masalah
Dalam kesempatan ini kami akan mencoba memaparkan beberapa permasalahan berkaitan dengan KTSP yaitu :
1. Mengapa produksi buku yang dihasilkan guru/dosen di Indonesia rendah ?
2. Apa hambatan-hambatannya ?
3. Bagaimana solusinya ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan kami mengangkat judul ini adalah :
1. Memperoleh pemahaman baru tentang mengapa produksi buku yang dihasilkan guru/dosen di Indonesia rendah.
2. Mengetahui hambatan-hambatannya dan bagaimana solusinya.
3. Guru/dosen di Indonesia mempunyai keinginan untuk menulis buku/karya ilmiah seperti PTK.
D. Metode penulisan
Dalam proses penyusunan makalah ini kami menggunakan pendekatan metode literature. Yaitu dengan melakukan proses pencarian dan pengumpulan dokumen sebagai sumber-sumber data dan informasi. Metode ini dipilih karena pada hakekatnya sesuai dengan kegiatan penyusunan dan penulisan yang hendak dilakukan.
E. Kegunaan Penulisan
Penulisan ini diharapkan bermanfaat bagi calon-calon pendidik (guru/dosen) di Indonesia. Memperoleh pengertian dan dapat mengembangkan kreativitasnya untuk menulis buku.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Produksi buku
1. Produktivitas buku di Indonesia
1) Segi kualitas
1) kertas
Harga bahan baku kertas yang tinggi karena Pemerintah kurang mampu mengendalikan dan menekan harga bahan baku kertas (pulp). Akibatnya buku yang dihasilkan kurang baik dari segi kertasnya. Sehingga mengurangi orang untuk membeli buku, karena bukunya kurang menarik.
2) Topik dan judul
Langkah awal untuk memulai penulisan yang sederhana dan mudah adalah memikirkan dan menentukan ruang lingkup topik. Menurut Rowling yang dikutip Sutanto Leo dalam Idam dan Muslik (2004) menyatakan “Mulailah menulis apa uang kamu tahu”. Selanjutnya Sutanto mengutip pendapat dari Oshima dan Hogue (1991) bahwa “penulis dapat menulis buku dengan jelas, lengkap, dan efektif bila topiknya spesifik”
Pendapat di atas disimpulkan bahwa menulis dimulai dengan topik yang kita ketahui sehingga dalam menuangkan kata-kata akan lebih mudah, terinci, jelas, menarik dan bisa menarik minat pembaca untuk mengetahui lebih dalam.
Selain topik dalam menulis buku sangat perlu diperhatikan oleh penulis adalah judul. Satu hal yang harus kita camkan adalah bahwa kita tidak dapat mengandalkan judul semata karena yang paling penting adalah isi buku. Judul yang bagus tidak akan dapat menyelamatkan isi buku yang buruk. Namun sebaliknya, isi buku yang bagus memang harus didukung dengan judul yang bagus. Jika tidak didukung judul yang bagus, isi buku yang bagus bisa jadi sia-sia karena tidak menarik pembaca atau pembeli.
3) Desain
Desain berkaitan dengan seni rancangan gambar, tata letak, dan tampilan yang dicangkokkan pada suatu buku demi menarik pembacanya. Penulis yang kreatif, artistik, dan berdaya imajinasi tinggi bisa mendesain buku yang menarik. Bila penulis merasa tidak kreatif dan kurang artistik, tidak perlu khawatir karena penerbit biasanya memiliki tim khusus yang menangani desain buku.

2) Segi kuantitas
Produksi buku di Indonesia sangat memprihatinkan. Indonesia hanya menerbitkan sekitar 3000 buku baru setiap tahunnya. Jumlah judul buku yang diterbitkan setiap tahunnya hanya 0,0009 % dari total penduduknya. Berarti setiap penduduk Indonesia hanya menikmati sembilan judul buku baru. Sementara Malaysia yang berpenduduk 20 juta orang, bisa menerbitkan 8000 judul buku pertahun. Amerika Serikat sebagai negara maju bisa menerbitkan 100000 judul buku baru setiap tahunnya. Dapat disimpulkan Indonesia hanya memproduksi buku 3000/tahun, Malaysia 8000 judul buku/tahun dan Amerika 100.000/tahun.
Banyak faktor yang menjadi penyebab produksi buku di Indonesia tergolong rendah. Di antaranya, faktor daya beli masyarakat serta kebiasaan membaca masyarakat (reading habit) yang masih rendah. Berdasarkan data, minat baca masyarakat Indonesia menduduki peringkat keempat di kawasan Asia Tenggara, setelah Malaysia, Thailand, dan Singapura.
Bisa jadi, rendahnya kebiasaan membaca itu berkaitan erat dengan daya beli masyarakat. Jika dibandingkan dengan ketiga negara tetangga itu, daya beli masyarakat Indonesia memang masih tergolong rendah. Pada 2008, pendapatan per kapita masyarakat Indonesia masih sekitar 2.271 dollar AS. Angka itu jauh di bawah pendapatan per kapita Singapura yang mencapai 36.000 dollar AS pada periode yang sama.
Dengan daya beli yang rendah, tidak heran jika masyarakat Indonesia menempatkan belanja buku pada peringkat bawah setelah terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer. Kalau demikian keadaannya, program pengadaan buku-buku murah tampaknya perlu dibangkitkan kembali. Di sinilah kembali diuji komitmen pemerintah dan para penerbit untuk memproduksi banyak buku. Dengan demikian, era gelap Indonesia tanpa buku tidak akan terulang lagi.
2. Alasan Guru/Dosen enggan memproduksi buku
Sungguhpun terdapat orang yang hidup dari pekerjaan menulis, jumlahnya tidak banyak. Kebanyakan penulis/pengarang di Indonesia mempunyai profesi utama lain di antaranya sebagai tenaga kependidikan (guru dan dosen) atau praktisi dengan keahlian khusus. Kelompok ini sebenarnya sangat potensial untuk menulis, mengarang, menerjemahkan dan menyadur naskah. Berdasarkan sayembara menulis naskah buku di kalangan guru SD, SLTP, dan SLTA yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Nasional sejak tahun 1988 – 2004 menunjukkan bahwa tidak sampai 2% dari jumlah semua guru di Indonesia yang mengikuti sayembara itu setiap tahunnya. Dari laporan penyelenggaraan sayembara ini diduga bahwa sungguhpun kebanyakan guru menguasai bidang studi serta memiliki pengalaman membelajarkan dengan menggunakan berbagai metode, masih sedikit guru yang menguasi teknik menulis naskah buku pelajaran. Dugaan ini juga diperkuat oleh kelemahan-kelemahan penulisan naskah dalam sayembara itu. Keadaan ini dapat dimaklumi karena di lembaga pendidikan tenaga kependidikan, calon guru pada umumnya tidak mempelajari secara khusus teknik penulisan naskah buku pelajaran.
B. Hambatan
1. Intern
Kompetensi Guru dan Dosen
Dalam manajemen sumber daya manusia seseorang dituntut untuk menjadi professional dalam bidang pekerjaannya yang tidak lepas dari kompetensi yang dimilikinya. Kompetensi menurut Hernowo adalah kemampuan yang dimiliki seseorang yang kemudian menjadikannya unggul dalam bidang tertentu dan sangat siap untuk bersaing . Sedangkan profesional adalah tuntutan jabatan, pekerjaan ataupun profesi. Ada satu hal penting yang menjadi aspek bagi sebuah profesi, yaitu sikap profesional dan kualitas kerja. Profesional (dari bahasa Inggris) berarti ahli, pakar, mumpuni dalam bidang yang digeluti.
Dalam perspektif pengembangan sumber daya manusia, menjadi profesional adalah satu kesatuan antara konsep personaliti dan integritas yang dipadupadankan dengan skil atau keahliannya
Kompetensi menulis pada kalangan guru masih belum menjadi budaya. Hal ini dapat dilihat masih banyak di antara guru membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sebagai tugas utama. Dengan demikian pengembangan profesi dan pengembangan diri guru dalam mengekspresikan diri masih sangat rendah.
Menurut Untung Sutikno dalam artikelnya mengatakan banyak kendala yang menghadang aktivitas menulis di kalangan guru. Pertama, dari sisi guru, mereka banyak yang tidak mempunyai budaya membaca yang baik. Mereka umumnya miskin bahan bacaan atau referensi. Ada ungkapan yang mengatakan, penulis yang baik berawal dari pembaca yang baik. Coba saja amati di sekeliling anda. Berapa banyak guru yang mempunyai perpustakaan pribadi. Berapa banyak guru yang sering mengunjungi perpustakaan umum untuk mencari referensi. Berapa banyak guru yang berlangganan koran atau majalah? Berapa banyak guru yang bisa dan biasa berselancar di internet? Jawaban atas pertanyaan-tertanyaan tersebut dapat mencerminkan apakah guru mempunyai budaya membaca yang baik atau sebaliknya.
Kedua, motivasi yang rendah di kalangan guru untuk menulis. Tidak sedikit guru yang walaupun telah banyak memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, namun enggan untuk menulis. Dalam kaitan ini Agus Irkham menegaskan bahwa kegagalan seorang untuk menjadi penulis, minimal menulis, justru lebih banyak disebabkan oleh lemahnya motivasi. Termasuk habit atau kebiasaan hidup yang dapat mendukung keprigelan dan tradisi menulis yang kuat.
Kendala ketiga, guru yang miskin gagasan. Andaikan para guru di seluruh Indonesia dapat menulis buku untuk para muridnya. Andaikan para guru dapat memperkaya para muridnya dengan cerita-cerita yang mengasyikkan, ditulis oleh mereka di karya-karya tulis mereka. Andaikan artikel-artikel, opini dan celoteh guru banyak mengisi lembaran surat kabar dan majalah. Namun, mengapa tidak banyak guru yang mau menulis. Kurangnya gagasan dalam menulis membuat guru tidak tahu apa yang akan ditulis. Bahkan untuk memulai menulis kata pertama dalam karangannya sering membuatnya berkali-kali membuang kertas akibat salah memilih kata.
Keempat, kurangnya keberanian dalam menulis. Menjadi guru dituntut mempunyai loyalitas yang tinggi. Loyalityas tersebut harus ditujukan kepada Negara sesuai dengan aturan perundangan. Namun yang terjadi, loyalitas sering disalah artikan. Pandangan bahwa guru yang loyal adalah mereka yang taat pada atasannya atau pimpinan organisasi, menurut saya adalah pandangan yang keliru. Loyalitas seperti ini akan membuatnya kehilangan keberanian dalam mengungkapkan gagasan yang mungkin dianggapnya menyimpang dari kebijakan atasan. Pandangan bahwa guru yang loyal adalah guru yang menaati semua kemauan dan perintah atasannya telah berperan besar dalam membuat guru kurang berani menunjukkan otoritas pribadinya. Ia lebih terbawa pada arus pemikiran atasannya, ketimbang menuruti gagasannya sendiri, ia tidak produktif dan tidak kreatif. Ia terjebak dalam budaya ABS-asal bapak senang.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa sumber daya manusia pendidik masih jauh dari professional karena masih kurang didukung oleh kompentensi yang dimilkinya. Dalam hal ini guru masih kurang untuk mengasah keterampilannya dalam menulis. Guru juga masih kurang untuk membudayakan membaca pada dirinya, meningkatkan motivasi dan keberanian untuk menuangkan gagasan pengalamannya dalam bentuk tulisan/cerita yang dapat disampaikan kepada peserta didik.
2. Ekstern
a. Ekonomi
Royalti yang diterima para penulis buku Indonesia rata-rata belum pantas, masih jauh dari "menyejahterakan". Padahal, seorang penulis buku tak ubahnya manusia biasa yang ingin hidup layak dengan profesi itu. Berbagai alasan dikemukakan penerbit. Mulai buku yang kurang laku, biaya cetak yang mahal, potongan untuk distributor, hingga lain-lain. Jadi menulis buku tak menguntungkan secara materi. Bahkan beberapa penulis kemudian memilih menjadi penulis opini untuk media massa, yang ternyata malah mampu menghidupinya.
Akibat harga buku yang masih mahal membuat buku-buku bajakan, terutama buku perguruan tinggi tumbuh subur dengan harga jual yang hanya setengah malah seperempat dari harga buku penerbit resmi.
b. IPTEK
Perkembangan iptek, seperti dengan adanya telivisi, dan internet akan mempengaruhi minat baca. Kehadiran televisi serta-merta memengaruhi pola hidup dan pola konsumsi masyarakat. Harus diakui, ada korelasi kuat antara dunia perbukuan dan menonton televisi. Sebelum pemerintah mendirikan TVRI pada awal 1960-an, produksi buku Indonesia mencapai 1.500 judul per tahun. Setelah itu, produksi menurun menjadi hanya 700-an judul buku per tahun. Meski muncul tren naik, terutama pada 1995-an yang mencapai 5.800 judul, produksi buku harus dikaitkan dengan pertambahan penduduk dan perbaikan sektor ekonomi. Yang jelas, televisi kini lebih digemari dan banyak orang yang enjoy bertafakur berjam-jam di depannya ketimbang membaca buku.
Kondisi itu secara langsung menjadi hambatan tersendiri bagi perkembangan dunia perbukuan kita. Kuatnya dominasi budaya menonton mengakibatkan perbukuan kita sulit berkembang. Budayawan Taufiq Ismail pernah membandingkan bacaan siswa Indonesia dengan siswa negara lain. Terdapat jurang teramat lebar, siswa Indonesia (nol buku), Malaysia (enam buku), dan Amerika (30-an buku) selama duduk di bangku SMU.
Dalam Dalam Kongres Perbukuan I (1995) dikemukakan antara lain bahwa kurangnya jumlah penulis/pengarang, penerjemah, dan penyadur di Indonesia ialah:
1. Hak cipta penulis/pengarang, penerjemah, dan penyadur kurang terlindungi sehingga menimbulkan maraknya pembajakan karya tulisan yang sangat merugikan profesi ini.
2. Imbalan atau royalty penulis/pengarang, penerjemah, dan penyadur masih tergolong rendah dan tidak menarik disebabkan oleh pasaran buku masih belum baik dan manajemen kebanyakan penerbit belum terbuka/transparan.
3. Terbatasnya jumlah penulis/pengarang, penerjemah, dan penyadur yang memiliki kemampuan dan waktu yang cukup untuk menulis naskah-naskah ilmiah.
4. Belum semua perguruan tinggi membekali mahasiswanya dengan kemampuan menulis naskah buku.
C. Solusi
1. Program Pemerintah
a. Peningkatan SDM.
Para penulis sudah saatnya tidak terlalu bergantung dengan penerbit dan toko-toko buku besar. Maraknya percetakan dengan biaya murah telah memungkinkan pengarang untuk menerbitkan sendiri buku-bukunya (Self Publishing). Untuk pemasaran bisa dilakukan secara langsung melalui internet. Beberapa pengarang seperti Sapardi Djoko Damono dan Dewi Lestari telah mulai menerbitkan sendiri bukunya dan menjualnya melalui internet. Para penerbit besar juga sebenarnya sudah mulai melakukan penjualan online lewat internet.
b. UU perlindungan Karya Tulis
Pemerintah harus secara proaktif memberantas praktek pembajakan buku. Tindakan konkrit antara lain berupa undang-undang yang menetapkan hukuman penjara berat untuk pelaku dan pengedar buku bajakan. Selama ini terlihat bahwa pemerintah dan aparat penegak hukum seperti tutup mata dengan kondisi yang ada. Terbukti dengan penjualan buku-buku bajakan secara bebas di beberapa tempat penjualan buku. Selain itu, pemerintah dan asosiasi penerbit perlu mengkampanyekan anti buku bajakan kepada masyarakat khususnya siswa seolah dengan menjelaskan tujuan kampanye tersebut.
Ketiga, penerbit dan pemerintah harus berupaya menurunkan harga buku untuk menghindari praktek pembajakan dan sekaligus menaikkan oplah buku yang dicetak. Upaya menurunkan biaya produksi buku bisa disiasati dengan menampilkan iklan yang sesuai dengan isi buku tersebut. Namun perusahaan mau membayar iklan umumnya jika tiras buku dalam jumlah yang tinggi. Dengan harga buku yang lebih murah berkat subsidi iklan, akan lebih mudah manikkan jumlah oplah buku sehingga lebih banyak masyarakat yang mampu membeli buku tersebut.
c. Royalti masih rendah :
Pemerintah harus menetapkan persentase minimal yang menjadi hak penulis, misalnya 30% dari harga buku. Dengan penetapan persentase minimal tersebut, penulis akan terlindung dan terjamin hak-haknya dan bisa menutup biaya yang telah dikeluarkan selama proses penulisan buku tersebut maupun biaya penulisan buku selanjutnya.
2. Pengembangan Diri Guru
Posisi guru merupakan kelompok yang paling banyak berjasa dalam menciptakan generasi unggul. Karena berkat kesabaran yang dimilikinya, guru berhasil mengantarkan sejumlah manusia kegerbang kesuksesan. Oleh karena itu sebagai profesi, guru harus dapat merebut dan mendapat kepercayaan publik melalui peningkatan kualitas layanan pendidikan dan pembelajaran.
Dalam melaksanakan tugasnya guru dituntut profesional. Menurut UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, menuntut penyesuaian penyelenggarakan pendidikan dan pendidikan guru menjadi guru profesional.
“Pengakuan terhadap guru sebagai tenaga profesional akan diberikan manakala guru telah memiliki : kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik (pasal 8). Kualifikasi akademik harus diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau Diploma IV (pasal 9). Sertifikat pendidik diperoleh guru setelah mengikutipendidikan profesi (pasal 10 ayat 1). Jenis-jenis kompetensi yang dimaksud meliputi kompetensi pedagogik, kpribadian, sosial dan akademik. (pasal 10 ayat 1)”.
Salah satu kompetensi profesional yang harus dimiliki guru meningkatkan kujalitas pembelajaran melalui penelitian tindakan kelas. Diharapkan guru mau dan mampu melakukan penelitan tindakan kelas, sehingga akhirnya guru bisa memproduksi buku yang bermanfaat tertutama bidang pendidikan. Dalam melaksanakan tugasnya guru memerlukan rasa aman termasuk dalam menulis buku atau melakukan penelitia. Dalam Undang-Undang 20 tentang sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa setiap tenaga kependidikan yang bekerja pada satuan pendidikan tertentu mempunyai hak memperoleh perlindunga hukum (pasal 30 ayat 3). Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 1992 tentang tenaga kependidikan dalam pasal 60 secara lebih rinci dinyatakan :
1) Perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kependidikan yang bekerja pada satuan pendidikan baik di jalur sekolah maupun di jalur pendidikan luar sekolah.
2) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a) Rasa aman dalam melaksanakan, baik tugas mengajar maupun tugas lain yang berhubungan dengan tugas mengajar.
b) Perlindungan terhadap keadaan membahayakan yang dapat mengancam jiwa, baik karena alam maupun perbuatan manusia.
c) Perlindungan dari pemutusan hubungan kerja secara sepihak yang merugikan tenaga kependidikan.
d) Penyelenggaraan usaha kesejahteraan sosial bagi tenaga kependidikan yang sesuai dengan tuntutan tugasnya.
3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh menteri.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa guru merupakan ujung tombak keberhasilan pendidikan. Dalam melaksanakan tugasnya guru dituntut profesional baik secara akademik, kompetensi maupun sertifikat pendidik. Agar guru dapat bekerja profesional seharusnya benar-benar mendapat perlundungan hukum baik baik tugas mengajar maupun tugas lain yang berhubungan dengan tugas mengajar, seperti dalam karyanya untuk menulis buku ataupun dalam melaksanakan penelitian.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari berbagai kajian tentang masyarakat membaca dapat disimpulkan sejumlah masalah berikut.
1. Buku belum menjadi prioritas kebutuhan masyarakat.
2. Harga buku di Indonesia relative tinggi, sehingga daya beli pada masyarakat umumnya masih belum memadai untuk menjangkau harga buku.
3. Kemajuan teknologi komunikasi, terutama elektronik memberikan pengaruh negatif dalam peningkatan minat dan kegemaran membaca
4. Masih kuatnya budaya dengar dan budaya lisan masyarakat. Dan belum terbiasanya masyarakat menyampaikan pendapat/pikiran atau gagasan secara tertulis.
5. Sistem pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan kurang mendukung peningkatan minat dan kegemaran membaca peserta didiknya.
B. SARAN
1. Sebaiknya buku menjadi prioritas kebutuhan guru/dosen
2. Sebaiknya harga buku disesuaikan dengan daya beli masyarakat (guru/dosen).
3. Pemerintah sebaiknya memberdayakan teknologi komunikasi sebagai alat/media informasi edukatif lebih banyak lagi dibandingkan dengan informasi hiburan.
4. Menciptakan budaya membaca dan menuangkan dalam bentuk tulisan/cerita yang dialami dalam proses pembelajaran.
5. Pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan sebaiknya lebih gencar lagi dalam mencanangkan budaya membaca.
C. REKOMENDASI
1. Pemerintah mewajibkan guru/dosen untuk membuat karya tulis ilmiah berupa PTK/buku.
2. Pemerintah agar lebih optimal untuk mengontrol harga buku, menurunkan harga kertas dan memberantas pembajakan.
3. Kemenkominfo sebaiknya memberikan durasi minimal/persentase tayangan edukatif kepada seluruh stasiun televise swasta.
4. Pemerintah sebaiknya lebih maksimal dalam memberikan pelayanan perpustakaan keliling.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rahman A. Ghani. 2009. Mengurai Simpul Pendidikan. Jakarta : UHAMKA PRESS.
Ahmad Rizali, Indra Djati Sidi & Satria Dharma. Dari guru konvensional menuju Guru profesioanal. Jakarta : Grasindo.
Hernowo, Langkah Mudah membuat Buku yang Menggugah. Penerbit MLC, 2005
Irkham. Agus, Prigel Menulis Artikel, Lanarka Publiser, 2007
Leo. Sutanto. Kiat Menulis dan Menerbitkan Buku.Penerbit Erlangga.Jakarta. 2010
Mohamad Surya. 2004. Bunga Rampai Guru dan Pendidikan. Jakarta : Balai Pustaka
Rochiati Wiriaatmadja. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung : Remaja Rosdakarya.
http://bintangsitepu.wordpress.com/2010/10/12/perbukuan-di-indonesia/
http://untungsutikno.wordpress.com/.../budaya-menulis-di-kalangan-gurucermin-sebuah-keprihatinan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar