Kamis, 10 Februari 2011

KUALITAS SDM PENDIDIKAN DI INDONESIA

BAB II
SDM PENDIDIKAN INDONESIA
Salah satu bidang penting dalam Administrasi/Manajemen Pendidikan adalah berkaitan dengan Personil/Sumberdaya manusia yang terlibat dalam proses pendidikan, baik itu Pendidik seperti guru maupun tenaga Kependidikan seperti tenaga Administratif. Intensitas dunia pendidikan berhubungan dengan manusia dapat dipandang sebagai suatu perbedaan penting antara lembaga pendidikan/organisasi sekolah dengan organisasi lainnya, ini sejalan dengan pernyataan Sergiovanni, et.al (1987:134) yang menyatakan bahwa: ”Perhaps the most critical difference between the school and most other organization is the human intensity that characterizes its work. School is human organization in the sense that their products are human and their processes require the sosializing of humans”, hal ini menunjukan bahwa masalah sumberdaya manusia menjadi hal yang sangat dominan dalam proses pendidikan/pembelajaran, hal ini juga berarti bahwa mengelola sumberdaya manusia merupakan bidang yang sangat penting dalam melaksanakan proses pendidikan/pembelajaran di sekolah.
Sumberdaya manusia dalam konteks manajemen adalah ”people who are ready, willing, and able to contribute to organizational goals (Wherther and Davis, 1993:635). Oleh karena itu Sumberdaya Manusia dalam suatu organisasi termasuk organisasi pendidikan memerlukan pengelolaan dan pengembangan yang baik dalam upaya meningkatkan kinerja mereka agar dapat memberi sumbangan bagi pencapaian tujuan. Meningkatnya kinerja Sumber Daya Manusia akan berdampak pada semakin baiknya kinerja organisasi dalam menjalankan perannya di masyarakat.

2.1 Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.

2.2 Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
“Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007).
Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:
a. Langkah pertama, meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk dapat menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi pendidikan.
b. Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta gender.
c. Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.
d. Langkah keempat, menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan dalam rangka menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
e. Langkah kelima, membangun infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.
f. Langkah keenam, meningkatkan anggaran pendidikan.
g. Langkah ketujuh, penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.
h. Langkah kedelapan, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas pendidikan.

2.3 Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta). Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.

2.4 Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya.
Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).

2.5 Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidak hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.




















BAB III
MODEL PENDIDIKAN DI KAWASAN ASIA TENGGARA

Sistem pendidikan disebuah negara tak lepas dari unsur historis dan politis dalam pengambilan keputusan dan kebijakan suatu sistem pendidikan. Indonesia yang berada di kawasan Asia tenggara masih banyak mengadopsi model pendidikan Belanda yang notabene adalah negara yang selama 350 tahun menjajah Indonesia baik secara fisik maupun doktirin pendidikan. Hal ini juga terjadi di negara tetangga seperti Brunei, Malaysia, Singapura bahkan Vietnam. Berikut akan dideskripsikan beberapa model dan sistem pendidikan di beberapa negara tetangga tersebut untuk dijadikan bahan acuan bahkan banchmark untuk mengetahui sampai sejauh mana kemajuan yang diperoleh Indonesia dalam bidang pendidikan.

3.1 Pendidikan di Brunei Darussalam
Sejak tahun 1984 Negara Brunei Darussalam telah memperkenalkan dasar pendidikan dwibahasa bagi pelajar yang berpotensi dalam menguasai dua bahasa yaitu bahasa Melayu dan bahasa Inggris. Mulai dari peringkat pra-sekolah hingga darjah III(tingkat 3), bahasa pengantar bagi semua mata pelajaran adalah bahasa Melayu kecuali mata pelajaran bahasa inggris. Mulai darjah IV(tingkat 4) dan seterusnya pelajar akan mengikuti pengajaran yang menggunakan dua bahasa. Bahasa Melayu digunakan bagi pengajar mata pelajaran Bahasa Melayu, Pengetahuan Agama Islam, Pendidikan Jasmani, Lukisan dan Pertukangan Tangan, Sivik (kewarganegaraan), dan MIB (Melayu Islam Beraja). Bahasa Inggris pula digunakan bagi mengajar mata pelajaran seperti Sains, Matematika, Geografi, Sejarah, dan Bahasa Inggris itu sendiri. Pendidikan di peringkat rendah hingga universiti bagi sekolah-sekolah kerajaan atau sekolah negeri bersifat gratis bagi rakyat dan penduduk tetap Brunei Darussalam. Jumlah keseluruhan hari persekolahan adalah antara 202 dan 210 hari setahun. Ada empat (4) periode sekolah sepanjang tahun ajaran antara Januari hingga Desember. Sehingga tahun 2001 tingkat melek huruf di Negara Brunei Darussalam berada pada tingkat 92.5%.

Struktur Pendidikan dan Sistem Sekolah
Sistem sekolah formal di Brunei Darussalam menggunakan pola 7-3-2-2, yang menggambarkan tingkat rendah, menengah bawah, menengah atas, pra-tertier. Pendidikan dan pelatihan di tingkat pasca-menengah, baik dalam bidang akademis maupun profesional, diberikan oleh Universitas Brunei Darussalam, Institut Teknologi Brunei, Maktab Perawat Pengiran Anak Puteri Rashidah Sa'adatul Bolkiah, dan beberapa lembaga dan pusat pelatihan teknis dan kejuruan. Departemen pendidikanberperan mengkoordinasikan pelaksanaan program pendidikan, proyek dan kegiatan Departemen Pendidikan di tingkat sekolah. Saat ini Departemen Sekolah-sekolah mengatur 123 sekolah dasar, 26 sekolah menengah dan 70 sekolah bukan pemerintah.

3.2 Pendidikan di Malaysia
Sistem pendidikan di Malaysia diawasi oleh Kementerian Pelajaran Malaysia. Pendidikan Malaysia bisa didapatkan dari sekolah tanggungan pemerintah (sekolah negeri), sekolah swasta atau secara sendiri. Sistem pendidikan dipusatkan terutama untuk sekolah dasar dan sekolah menengah. Pemerintah negeri tidak berkuasa dalam kurikulum dan aspek lain pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah, sebaliknya ditentukan oleh kementerian. Ada ujian standar yang merupakan fitur yang standar bagi negara-negara Asia seperti Singapura dan Tiongkok.

Tingkatan pendidikan
Pendidikan Malaysia terdiri dari beberapa tingkat:
a. Prasekolah
b. Pendidikan rendah
c. Pendidikan menengah
d. Studi tinggi
Hanya pendidikan di sekolah dasar yang diwajibkan dalam hukum. Oleh itu, pengabaian kebutuhan pendidikan setelah sekolah dasar tidak melanggar hukum. Sekolah dasar dan sekolah menengah dikelola oleh Kementerian Pelajaran Malaysia tetapi kebijakan yang berkenaan dengan pendidikan tinggi dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional yang didirikan pada tahun 2004. Sejak tahun 2003, pemerintah memperkenalkan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam mata pelajaran yang terkait dengan Sains dan matematika
a. Pendidikan prasekolah
Sekolah tadika (prasekolah) menerima masuknya anak dari 4-6 tahun. Studi tadika bukan merupakan studi wajib dalam Pendidikan Malaysia. Namun pendirian tadika oleh pihak swasta sangat menganjurkan. Sejauh ini, sebagian besar Sekolah Nasional memiliki kelas prasekolah. Namun masuknya ke kelas ini dibuka untuk anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah.
b. Pendidikan rendah
Pendidikan rendah mulai dari tahun 1 hingga tahun 6, dan menerima masuknya anak berumur 7 tahun sampai 12 tahun. Bahasa Melayu dan bahasa Inggris merupakan mata pelajaran wajib dalam Sistem Pendidikan Malaysia. Sekolah dasar umum di Malaysia dibagi menjadi dua jenis, yaitu Sekolah Nasional dan Sekolah Jenis Kebangsaan. Kurikulum di kedua jenis sekolah dasar adalah sama. Perbedaan antara dua jenis sekolah ini adalah bahasa pengantar yang digunakan. Bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa pengantar di Sekolah Nasional. Bahasa Tamil atau bahasa Mandarin digunakan sebagai bahasa pengantar di Sekolah Jenis Kebangsaan. Pada akhir tahun sekolah sekolah dasar, tes umum diselenggarakan untuk mengevaluasi kinerja murid-murid. Ujian publik pada tingkat sekolah dasar dinamakan Ujian Penilaian Sekolah Rendah (UPSR). Pelajar yang telah menduduki UPSR, diperbolehkan melanjutkan ke tingkat menengah.
c. Pendidikan menengah
Sekolah menengah umum dapat dilihat sebagai ekstensi sekolah dasar. Bahasa melayu digunakan sebagai bahasa pengantar untuk semua mata pelajaran selain Sains (Biologi, Fisika dan Kimia) dan Matematika (termasuk Matematika Tambahan) Siswa harus belajar dari Tingkatan 1 hingga Tingkatan 5. Seperti di sekolah dasar, setiap tingkatan (derajat) berlangsung selama satu tahun. Pada akhir Tingkatan Tiga (disebut tingkat menengah rendah), para siswa akan menempati Penilaian Menengah Rendah (PMR). Berdasarkan pencapaian PMR, mereka akan dikategorikan ke Aliran Ilmu atau Aliran Sastra. Aliran Ilmu menjadi pilihan banyak. Pelajar dari Aliran Ilmu diizinkan untuk keluar dari Aliran Ilmu lalu bergabung Aliran Sastra tetapi tidak diizinkan. Siswa yang tidak mendapat hasil yang memuaskan pula dapat memilih untuk menjalani spesialisasi kejuruan di sekolah teknik.
Pada akhir Tingkatan Lima (disebut tingkat menengah atas), para siswa harus menduduk ujian Sijil Pelajaran Malaysia (SPM) sebelum mengakhiri pelajaran di tingkat menengah. SPM adalah berdasarkan ujian School Certificate Inggris lama sebelum menjadi ujian Tingkat 'O' General Certificate of Education (Kelulusan Umum Pelajaran) yang menjadi GCSE (General Certificate of Secondary School / Kelulusan Umum Sekolah Menengah). Sejak tahun 2006, para siswa juga menduduki kertas GCE Tingkat 'O' untuk bahasa Inggris selain kertas SPM Inggris biasa. Hasil lain ini adalah berdasarkan nilai penulisan karangan dalam kertas Bahasa Inggris SPM. Penilaian karangan kertas Bahasa Inggris SPM diadakan di bawah pengawasan pejabat dari ujian Tingkat 'O' Inggris. Meskipun hasil ini bukan bagian dari SPM, hasil ini akan dinyatakan pada kertas hasil.
Setelah hasil SPM 2005 dikeluarkan pada Maret 2006, Kementerian Pelajaran mengumumkan bahwa mereka sedang menimbang untuk memperbaharui sistem SPM karena orang terlalu mementingkan jumlah A yang tersedia. Pendidik-pendidik lokal setuju ini. Salah seorang profesor di Universitas Malaya mengesali kondisi beberapa mahasiswa yang tidak mampu menulis surat dan berdebat. Ia berkata, "Mereka tidak memahami apa yang saya katakan ... Saya tidak dapat berkomunikasi dengan mereka." Lanjutnya, "Sebelum 1957, wira sekolah bukan mereka yang mendapat 8A atau 9A tetapi merupakan pembahas yang baik, aktor yang baik, atlet yang baik dan mereka yang memimpin Asosiasi Pramuka."
Setelah mengakhiri pelajaran di Sekolah Jenis Kebangsaan Cina, beberapa siswa dapat belajar di Sekolah Tinggi Swasta Cina. Di sekolah jenis ini, para pelajar menduduki ujian standar yang disebut Sertifikat Ujian Bersama (Unified examination Certificate / UEC). Beberapa siswa di sekolah-sekolah ini juga menduduki ujian SPM sebagai calon pribadi. UEC diadakan oleh Dong Jiao Zong (Persatuan Guru dan Direktur Sekolah Cina) sejak tahun 1975.
Ada tiga tingkat dalam UEC, yaitu Vokasional (UEC-V), Junior (UEC-JML/JUEC) dan Senior (UEC-SML/SUEC). Mandarin merupakan bahasa pengantar untuk kurikulum dan ujian untuk UEC-V dan UEC-Jml. Mandarin atau bahasa Inggris merupakan bahasa pengantar untuk mata pelajaran Matematika, Sains (Biologi, Kimia dan Fisika), Simpan Kira, Account dan Perdagangan. Kesusahan UEC-SML adalah hampir sama dengan A-level kecuali bahasa Inggris.
Pelajar di Sekolah Tinggi Swasta Cina belajar dari tiga tingkat rendah (Junior) sehingga ke tiga tingkat tinggi (Senior). Setiap tingkat berlangsung selama satu tahun. Mereka tidak diizinkan untuk belajar di tingkat yang lebih tinggi jika gagal dalam ujian sekolah, sebaliknya harus mengulang. Mereka yang gagal mara ke tingkat yang lebih tinggi setelah belajar dalam tingkat yang sama selama tiga tahun akan disingkirkan dari sekolah. Oleh itu, beberapa siswa membutuhkan waktu yang lebih dari enam tahun untuk mengakhiri pelajaran di Sekolah Tinggi Swasta Cina. Pada akhir Junior 3, para siswa harus menduduki ujian UEC-Jml. Beberapa siswa juga akan menduduki ujian PMR. UEC-jml lebih susah dari PMR. Seperti siswa di sekolah menengah umum, pelajar di sekolah tinggi pribadi Cina juga akan dikategorikan ke aliran Sains dan aliran Perdagangan / Sastra dimulai Senior 1. Pada akhir Senior 2, beberapa siswa menduduki ujian SPM. Mereka mungkin meninggalkan sekolah setelah SPM. Beberapa siswa pula menghubungkan pelajaran ke Senior 3. Pada akhir Senior 3, mereka akan menduduki ujian UEC-SML.
UEC-SML telah diakui sebagai kualifikasi masuknya banyak universitas luar negeri seperti Singapura, Australia, Taiwan, Cina dan beberapa negara Eropa tetapi tidak diakui oleh pemerintah Malaysia sebagai kualifikasi masuk ke universitas umum Malaysia. Akan tetapi, kebanyakan sekolah pribadi mengakui UEC. Pada Mei 2004, pemerintah Malaysia mewajibkan siswa yang menggunakan kualifikasi entri yang selain SPM harus lulus dalam kertas bahasa Malaysia SPM. Ini menyebabkan banyak protes, dan Menteri Perguruan Tinggi ketika itu, Dr Shafie Salleh, mengecualikan siswa UEC dari kebutuhan tersebut.
3.3 Pendidikan di Vietnam
Vietnam memiliki jaringan sekolah-sekolah dan univeristas-universitas negeri yang luas. Pendidikan umum di Vietnam diberikan dalam 5 kategori: TK, SD, SMP, SMA dan Universitas. Pelajaran-pelajaran sebagian besar diajarkan dalam Bahasa Vietnam. Sekolah negeri dalam jumlah besar telah dipersiapkan di kota-kota besar dan kecil dan pedesaan untuk kepentingan menaikkan tingkat melek huruf nasional. Ada banyak universitas-universitas spesialis yang didirikan untuk mengembangkan tenaga kerja nasional yang luas dan terampil. Kebanyakan orang Vietnam menempuh jalur univeristas di Ho Chi Minh City dan Hanoi. Menghadapi masalah serius, sistem pendidikan Vietnam sedang dalam proses reformasi menyeluruh yang diluncurkan oleh pemerintah. FAKTA sejarah boleh saja menempatkan Vietnam sebagai saudara muda dari Indonesia. Namun, dalam hal pengembangan sumber daya manusia (SDM), negara saudara muda itu ternyata lebih stabil daripada saudara tuanya. Itu terlihat dalam peringkat indeks pembangunan manusia (human development index/HDI) yang dikeluarkan UNDP. Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) mencatat peringkat HDI Vietnam dalam dua tahun terakhir bertahan di peringkat 109 dari 175 negara yang disurvei. Sementara itu peringkat Indonesia melorot dari 110 (tahun 2002) menjadi 112 (2003). Artinya, dalam hal memanusiakan rakyatnya, sistem dan manajemen pembangunan di Indonesia belum lebih baik daripada Vietnam.
Bahwa kemudian pemeringkatan HDI tahun 2004 terjadi kebalikan, di mana Indonesia menjadi naik setingkat di atas Vietnam, tentulah itu tidak bisa serta-merta dijadikan dasar untuk mengatakan Indonesia sudah lebih baik daripada Vietnam. Sebab, yang kita lihat adalah sebuah proses panjang yang sistematik, bukan dalam hitungan 12 bulan. (Tahun 2004, peringkat HDI Vietnam 112, sedangkan Indonesia 111). UNDP memeringkatkan HDI setiap negara berdasarkan sistem pendidikan di negara bersangkutan, di samping indikator lainnya, seperti tingkat harapan hidup (mencakup aspek kesehatan) dan pendapatan per kapita penduduk.
Tentu saja, hasil kajian UNDP tersebut mencengangkan. Sebab, Vietnam boleh dibilang baru lepas dari suasana peperangan fisik pertengahan tahun 1970-an. Praktis, mereka baru mulai berbenah awal tahun 1980-an. Artinya, baru sekitar 20 tahun mereka efektif membangun negerinya. Bandingkan dengan Indonesia yang sudah berusia lebih dari separuh abad dan telah berbenah dalam waktu 30 tahun. "Vietnam tidak bisa lagi dipandang sebelah mata," ujar Artauli RM Panggabean Tobing, Duta Besar RI untuk Vietnam .
Bistok Mulia Damanik, Minister Counsellor Kedutaan Besar RI untuk Vietnam,menimpali, dalam persaingan global, bukan tak mungkin negara di kawasan Indochina itu jauh meninggalkan Indonesia. "Dalam banyak hal, Vietnam sudah harus diperhitungkan sebagai pesaing Indonesia di tingkat ASEAN," kata Damanik. Untuk memperkuat alasannya, Damanik tidak hanya menunjuk indikator HDI semata, tetapi juga faktor kenyamanan dan keamanan berbisnis di Vietnam. Salah satu yang dicontohkan adalah hengkangnya sejumlah investor dariIndonesia untuk kemudian memindahkan lokasi usahanya di Vietnam. "Kita tak perlu malu berguru pada negara yang tadinya dianggap sepele. Meski berhaluan sosialis, etos kerja dan keuletan masyarakat Vietnam mungkin layak ditiru untuk membangun negeri kita," papar Tangkuman Alexander, Kepala Bidang Penerangan, Sosial, dan Budaya KBRI di Hanoi.
Pemerintah negara sosialis berhaluan komunis itu rupanya sadar betul bahwa pembenahan SDM adalah pangkal utama untuk memajukan peradaban bangsa. Dalam hal ini, aspek pendidikan memegang peran utama. Keberpihakan Pemerintah Vietnam pada sektor pendidikan sedikit mirip dengan sejarah kebangkitan Jepang. Setelah Hiroshima dan Nagasaki dihancurleburkan oleh bom atom sekutu Amerika Serikat (AS) pada tahun 1945, Jepang langsung bangkit berbenah dengan memprioritaskan sektor pendidikan. Dalam kurun waktu 20 tahun, Jepang kembali menjadi negara yang disegani dalam percaturan global.
Pemerintahan Vietnam pun mencoba meniru spirit dari Jepang tatkala negerinyaterbebaskan dari amukan perang tahun 1975. Setelah rakyat dan tentara Vietnam menaklukkan tentara AS yang disusul dengan penyatuan Vietnam Utara dan Vietnam Selatan, serta-merta bangsa Vietnam memerangi kebodohan melalui pemberantasan buta aksara. Alhasil, hanya dalam rentang waktu sekitar 20 tahun Pemerintah Vietnam berhasil membuat sebagian besar rakyatnya melek aksara.
Ministry of Education and Training (MOET) Vietnam atau Kementerian Pendidikan dan Pelatihan Vietnam mencatat, tahun 2003, sekitar 94-96 persen penduduk Vietnam yang berusia 15 tahun ke atas telah melek aksara. Jumlah penduduk Vietnam saat ini sekitar 80 juta jiwa. "Penduduk Vietnam yang buta huruf tinggal enam persen," ujar Nguyen Ngoc Hung, Deputi Direktur Jenderal bidang Kerja Sama Internasional MOET Vietnam. Bandingkan dengan situasi di Indonesia di mana baru sekitar 70 persen dari
200 juta jiwa penduduk yang melek huruf. Bahkan, Direktur Pendidikan Masyarakat Depdiknas Ekodjatmiko Sukarso mengkhawatirkan, jumlah penduduk buta huruf di Tanah Air bisa saja terus membengkak. Soalnya, setiap tahun ada sekitar 300.000 anak usia SD (kelas I-III ) putus sekolah. Mereka sangat potensial menambah jumlah penduduk buta huruf. Penjelasan Ngoc Hung tentang tingkat melek huruf di negerinya bukan basa-basi. Faktanya dengan mudah dibuktikan dalam kehidupan nyata di masyarakat. Sudah menjadi pemandangan sehari-hari, tukang sapu jalan di pinggiran kota Hanoi, misalnya, memanfaatkan waktu senggangnya dengan membaca koran. Juga lumrah terlihat para pedagang bunga mawar di pelosok desa bertransaksi kepada tamu dari luar negeri dengan menorehkan nilai uang Dong Vietnam maupun Dollar AS di atas kertas.
Pemerintah Vietnam memandang sektor pendidikan sebagai pangkal utama dalam pengembangan SDM. Karena itu, selama ini, sektor pendidikan menjadi agenda utama. Lagi pula, nilai-nilai tradisional Vietnam mengarahkan masyarakat untuk giat belajar. Ngoc Hung menyebutkan, Pemerintah Vietnam menginvestasikan tiga persen dari Gross Domestic Product (produk domestik bruto) untuk sektor pendidikan. Sebagai gambaran, database dari ASEAN menunjukkan, GDP Vietnam tahun 200 sebesar 439 Dollar AS, naik dibanding tahun 2001 yang 418 Dollar AS.
GDP adalah total barang dan jasa yang diproduksi dalam periode tertentu termasuk tabungan pemerintah dan masyarakat serta investasi modal tetap, tetapi tidak memperhitungkan faktor penerimaan dari luar negeri proporsi anggaran sepertinya bukan merupakan ganjalan bagi keberlangsungan layanan pendidikan di Vietnam. Berbeda dengan situasi di Indonesia, di sana tidak terdengar ribut-ribut tentang tuntutan perlunya alokasi jumlah tertentu dari anggaran negara untuk sektor pendidikan. Persentase anggaran belanja negara untuk sektor pendidikan tidak dipersoalkan. Bagi PemerintahVietnam, komitmen terhadap sektor pendidikan tidak segalanya diukur berdasarkan persentase anggaran. "Terpenting adalah bagaimana mengelola anggaran secara efektif dan efisien, membuat program yang realistis, konsisten, dan didukung oleh pelaku dan publik," papar Ngoc Hung. Dalam kaitan itu, Ngoc Hung menjamin bahwa dengan pola pemerintahan yang sentralistis, mentalitas korupsi di kalangan pejabat justru bisa dicegah.
Data dari Kementerian Keuangan Vietnam menunjukkan, total anggaran belanja negara Vietnam tahun 2004 tercatat 187.670 miliar Vietnam Dong (VND). Dari jumlah itu, sekitar 29.298 miliar VND atau hanya sekitar 15,6 persen yang teralokasikan ke sektor pendidikan. Bagi Kementerian Pendidikan dan Pelatihan Vietnam, dengan porsi anggaran sebesar itu, selama ini dirasakan tidak ada masalah dalam pelayanan pendidikan. Buktinya, Vietnam mampu menggratiskan layanan pendidikan dasar bagi anak-anak usia 7-12 tahun. Sekolah lanjutan pertama pun umumnya gratis. Kalaupun ada yang memberikan layanan pendidikan ekstra, hanya diperkenankan memungut 20-25 Dollar AS per tahun dari setiap siswa. Sekolah lanjutan pertama yang memungut biaya tambahan biasanya sekolah swasta yang jumlahnya hanya satu- dua di kota besar. Siswanya terbatas untuk kalangan ekonomi atas.
Untuk mengimbangi alokasi anggaran negara untuk sektor pendidikan, pemerintah Vietnam juga senantiasa aktif mencari dukungan dana internasional. Setiap tahun, lembaga beasiswa Vietnam mampu menggaet dana senilai 5 juta Dollar AS dari Amerika Serikat. Di samping itu, secara rutin ada bantuan senilai 5 juta Dollar AS dari Rusia. Belum lagi dari US Fullbright Scholarship yang pada tahun 2003 memasok bantuan senilai 10 juta dollar AS. Pemerintah Vietnam juga giat menjalin kerja sama bilateral dengan Jepang dan negara-negara di Eropa, seperti Swedia dan Denmark. "Jika disejajarkan dengan negara-negara ASEAN, Vietnam memang tergolong miskin. Tapi, di sini tak ada cerita, anak-anak tidak sekolah lantaran kesulitan membayar uang sekolah," komentar Nguyen Ngoc, guru Bahasa Inggris sebuah SMP yang tengah merampungkan program magisternya di Universitas Nasional Hanoi. Komentar Nguyen Ngoc selaras situasi nyata di lapangan, di mana bangunan-bangunan sekolah memang tidak mentereng, tetapi juga tidak kumuh dan lapuk. Dalam mengantar materi pelajaran di sekolah unggulan berstatus negeri maupun milik swasta sekalipun, para guru masih menggunakan kapur tulis. Bandingkan dengan sekolah-sekolah di Indonesia yang rata-rata sudah mulai menggunakan spidol. Poet Pham Tien Duat, tokoh pers dan budayawan Vietnam, menilai etos kerja dan minat belajar masyarakat Vietnam dan Indonesia sebetulnya tak jauh beda. Semuanya potensial menjanjikan prospek sepanjang itu dikelola dengan baik. "Indonesia dan Vietnam masih berada dalam satu kawasan sehingga ada banyak kesamaan sosial budaya. Masyarakat Vietnam malah lebih miskin. Kalau bisa maju begini, itu karena ada rasa malu terhadap leluhurnya jika hari esok tidak menjadi lebih baik dari kemarin dan hari ini," papar Pham. Anehnya, masyarakat Indonesia yang juga mengenal prinsip itu dalam ajaran agama malah seperti jalan di tempat. Tentu ada kesalahan yang mendasar, dan jika itu tidak segera dibenahi maka jangan heran jika Vietnam suatu saat melesat jauh meninggalkan saudara tuanya

3.4 Pendidikan di Singapura
Perbandingan sistem pendidikan di Singapura dengan Indonesia seperti bumi dan langit rasanya. Departemen Pendidikan Singapura (Ministry of Education) tampaknya lebih banyak bekerja dan memberi perhatian besar pada pengembangan pendidikan ketimbang memanfaatkan pendidikan sebagai sumber rezeki bagi oknum atau pegawai-pegawai departemen itu.
Dari sekolah dasar hingga universitas, misalnya, siswa sudah dipantau dan diarahkan untuk mendapatkan pendidikan yang cocok untuknya. Jadi, tidak semua warga layak atau bebas masuk universitas di Singapura. Bagi mereka yang tidak layak masuk universitas di Singapura, memang bebas memilih kuliah di luar negeri sesuai dengan kemampuan orangtua, tetapi tidak bebas masuk universitas di Singapura jika tidak melewati tes tertentu.
Dengan pendapatan per kapita lebih dari 24.000 dollar AS per tahun, Singapura termasuk paling kaya di dunia. Namun, Singapura tidak menyamaratakan bahwa semua warga pasti mampu. Biaya sekolah di Singapura relatif murah. Yang diperlukan adalah biaya di luar uang sekolah seperti penunjang kelancaran sekolah, transportasi, buku-buku, dan lainnya.
Untuk keluarga yang tidak mampu, pemerintah menyediakan beasiswa jika perlu. Itu disediakan untuk memastikan bahwa kemiskinan bukan hambatan untuk mengenyam pendidikan. Meski mobil bukan persoalan bagi kebanyakan warga di Singapura, untuk kelancaran transportasi anak-anaknya tersedia berbagai mode transportasi, mulai dari MRT, dipadu dengan rangkaian bus kota yang memiliki akses ke semua sekolah. Untuk transportasi ke dan dari Nanyang Technological University (NTU), misalnya, tersedia berbagai jalur bus yang membelah masuk ke kompleks universitas di Jurong. Ruang kelas, perpustakaan, kantin sekolah, dan tempat bersantai juga tersedia. Ruang kelas ditata secara bersih dan membuat murid bisa melihat guru atau dosen dan sebaliknya dosen atau guru bisa memantau semua anak didiknya. Kelas diperlengkapi dengan peralatan yang memudahkan guru melakukan presentasi lewat slide yang sudah melekat di setiap ruang sekolah sehingga tidak perlu repot setiap kali melakukan presentasi. Janganlah segan makan di kantin-kantin sekolah, jenisnya cukup banyak, relatif sehat, dan murah lagi.
Akses internet hingga ke ruang-ruang kelas juga tersedia dan gratis hanya dengan mendaftar untuk mendapatkan ID dari sekolah dan universitas. Hal itu memang sengaja dilakukan untuk membuat murid memiliki akses yang mudah mendapatkan informasi. Terkadang bahan pelajaran juga sudah dipajang di situs internet yang membuat mahasiswa bisa mengakses secara on-line.
Dosen-dosen dan guru di Singapura juga tidak kalah profesionalnya. Dengan gaji yang tergolong memadai, orang- orang terangsang menjadi guru. Tidak semua guru berasal dari Singapura sendiri. Dengan jumlah penduduk yang sedikit, hanya 4 juta jiwa lebih, Singapura memerlukan pasokan guru. Untuk itu terkadang guru didatangkan dari negara lain. Untuk level universitas, misalnya, NTU dan National University of Singapore (NUS) tak segan menawarkan gaji yang tinggi menyamai gaji di Harvard Business School. "Kami memang harus bersaing dan menawarkan rangsangan yang lumayan untuk bisa menarik orang-orang yang punya talenta dunia," demikian dosen di NTU, Ang Poo Wah.Dosen-dosen di NTU, misalnya, tidak sedikit yang menjadi orang-orang hebat di negara asalnya dan kemudian direkrut menjadi dosen di Singapura. Masalahnya, Singapura berniat menjadikan dirinya sebagai pusat pendidikan berkelas internasional, setelah berhasil menjadikan dirinya sebagai pusat pelayanan kesehatan terbagus di Asia Tenggara.
Kegiatan di universitas dan di sekolah-sekolah bukan sebatas acara belajar-mengajar rutin di ruang-ruang kelas. Hampir setiap bulan tampil pembicara tamu berkaliber internasional membawakan topik-topik baru yang ditemukan di dunia. Pemerintah Singapura tidak segan-segan mendatangkan, misalnya, Michael Porter, Philip Kottler, ahli manajemen terkenal di dunia, serta dosen-dosen kaliber internasional yang memang mahal tarifnya tetapi Singapura tidak pelit soal itu. Jadi, selain mendapatkan ilmu, mahasiswa juga diberi pencerahan dengan menghadiri seminar-seminar gratis tetapi sangat berkualitas. Jangan bayangkan presentasi mereka seperti guru-guru atau dosen-dosen yang direkrut begitu saja untuk jadi pengajar P4 yang membuat ngantuk di negara kita pada zaman Orde Baru.
Gilanya lagi, sekolah, universitas, dan lembaga pendidikan di Singapura tidak berhenti melirik perkembangan pendidikan di negara lain. Maka, muncullah misalnya aliansi antara sekolah bisnis di NTU dan Sloan School of Management di Massachusetts Institute of Technology. Aliansi seperti itu dibiarkan dirangsang sendiri oleh masing-masing fakultas. Universitas hanya memberi persetujuan. Otonomi masing-masing fakultas dibuat sedemikian tinggi dan dibiarkan mampu memikirkan pengembangan diri sendiri. Soal pendanaan, tampaknya tidak menjadi masalah. NTU, misalnya, sudah memiliki endowment fund dari pemerintah sebesar 200 juta dollar Singapura. Maka, tidak heran jika NTU, NUS, dan Singapore Management University dengan mudah membangun aliansi dengan Harvard University, Wharton School, dan universitas kelas satu lainnya di AS. Kerja sama internasional pendidikan juga dilakukan dengan banyak negara. Namun, kemajuan pendidikan di AS membuat Singapura lebih berkiblat ke AS.
Mahasiswa di Singapura sering kali mendapatkan kesempatan untuk melakukan studi tur dengan menjelajah dunia. Bagi mahasiswa yang mampu dibiarkan membayar sendiri, tetapi dengan subsidi universitas. Namun, bagi yang tidak mampu tersedia beasiswa yang memungkinkan mereka tinggal di hotel, seperti JW Marriott. Bayangkan, misalnya, selama satu setengah bulan mahasiswa pascasarjana di Nanyang MBA Fellowship Programme tinggal di apartemen yang dikelola JW Marriott di Boston. Jadi, persoalan bukanlah pada fasilitas dan beasiswa. Mahasiswa tinggal menyediakan waktu dan niat untuk belajar tekun tanpa harus diganggu oleh ketiadaan biaya. Bukan hanya itu, Pemerintah Singapura tidak saja bersedia mendidik warganya, tetapi juga bersedia merekrut calon-calon siswa dan mahasiswa dari negara tetangga dan dengan beasiswa serta tawaran kesempatan kerja di Singapura. Karena itu, tidak heran jika ada warga melayu dari Padang hingga Klaten belajar di Singapura dengan bantuan, termasuk ongkos pesawat pergi pulang saat liburan.
Singapura sadar akan potensi kekurangan tenaga kerja. Niat Singapura untuk menawarkan beasiswa bukan sekadar menjadikan mereka sebagai tenaga di Singapura suatu saat. Bagi mahasiswa yang kembali bekerja di negara asalnya, setidaknya diharapkan bisa menjadi orang yang kenal dan sayang dengan Singapura dan bisa menjadi jaringan Singapura di kemudian hari. Bukan itu saja, dengan mengundang mahasiswa dari luar, Pemerintah Singapura otomatis membuat warganya terbiasa bergaul secara internasional ketika masih berada di sekolah. Itu sesuai dengan posisi Singapura sebagai hub regional sehingga warganya tidak menjadi seperti katak di bawah tempurung. Bicara soal silabus dan kurikulum, departemen pendidikan di Singapura setiap kali bekerja untuk melakukan evaluasi. Setiap perkembangan baru selalu disisipkan pada silabus baru. Jadi, itulah pendidikan di Singapura, bukan sekadar menyediakan sarana dan prasarana yang baik, tetapi terus melakukan up-dating dari tahun ke tahun. Itu semua dilakukan sebagai pengejawantahan visi dan misi pendidikan di Singapura.
Bukan itu saja, iklim persaingan di antara keluarga dan komunitas di Singapura menjadi salah satu kunci rahasia sukses pendidikan di Singapura. Bayangkan, orangtua, rekan, pasangan, atau pacar seperti "memaksa" siswa dan mahasiswa untuk menjadi juara satu atau tidak sama sekali. Hanya ada satu orang juara satu. Akan tetapi, dengan prinsip itu, semua orang berlomba mendapatkan nilai terbaik dan tidak jarang sejumlah besar mahasiswa sama-sama memiliki nilai A semuanya.
Apa sih kurangnya pendidikan di Singapura? Tidak ada jika dibandingkan dengan pendidikan di Indonesia, misalnya. Yang mungkin masih kurang adalah keberanian siswa dan mahasiswa berbicara di ruang kelas dan mempertanyakan kebenaran sistem dari negara yang tidak begitu bebas. Mahasiswa Singapura tidak begitu cerewet di kelas seperti masyarakatnya. Inilah yang disadari oleh PM Lee Hsien Loong (BG Lee). Kebebasan berekspresi secara nasional ala Singapura ternyata berdampak di kelas-kelas. Maka itu, kini BG Lee menawarkan paradigma baru, yakni kebebasan bicara.





BAB IV
ANALISA PERBANDINGAN

Dari paparan di atas dapat kita simpulkan mengenai hal-hal yang membandingkan antara pendidikan di Indonesia dengan negara-negara tentangga, antara lain sebagai berikut:
a. Arah atau tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan di Indonesia adalah mewujudkan manusia yang memilikikekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan tujuan pendidikan dinegara lain adalah terbentuknya manusia yang berahlak dan beragama serta menguasai tekhnologi tinggi untuk membuat negara mereka maju dalam segala bidang, terutama Singapura yang notabene merupakan negara dengan pelayanan kesehatan terbaik di Asia tenggara ingin menjadikan negara mereka sebagai yang terdepan dalam pendidikan.

b. Jenjang Pendidikan
Dari paparan di atas kita dapat melihat adanya perbedaan sistem yang negara-negara lain adalah periode Taman Kanak Kanak ketika anak berumur 5 tahun sementara di Indonesia baru dimulai pada tingkat sekolah dasar ketika anak berumur 6 tahun.
Pendidikan menengah pertama antar negara di Asia tenggara memiliki banyak kesamaan sedangkan pada tingkat menengah atas, sistem pendidikan negara tetangga memberikan peluang bagi siswa berprestasi memuaskan untuk dapat menyelesaikan pendidikannya setahun lebih cepat dibandingkan dengan siswa berprestasi kurang. Dengan menghemat waktu setahun memungkinkan pula siswa berprestasi tersebut menyiapkan diri lebih cepat ke jenjang perguruan tinggi. Dengan sistem di Indonesia sekarang ini dapat disamakan dengan siswa unggul yang lompat kelas. Dalam kemampuan penyerapan bahasa asing, di negara tetangga, murid-murid sudah diarahkan menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar resmi di sekolah disamping bahasa Melayu. Beberapa mata pelajaran seperti matematika, geografi diajarkan guru dengan menggunakan bahasa Inggris. Berbeda dengan di Indonesia dimana bahasa Inggris hanyalah merupakan salah satu mata pelajaran, sedangkan bidang studi lainnya diajarkan dalam bahasa Indonesia.

c. Kurikulum
Masalah kurikulum menjadi hal yang krusial di Indonesia dimana sering terdengar anekdot bahwa pergantian menteri di kabinet berbanding lurus dengan pergantian kurikulum. Di negara tetangga kurikulum berjalan selaras dan berkesinambungan serta disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan jaman.

d. Standar gaji guru
Singapura memberikan standar salary bagi para guru berkisar per bulannya sekitar 6.000 dollar Singapura (1 dollas Singapura = 6.700 rupiah). Sedangkan untuk guru sekolah swasta bervariatif, namun yang paling rendah sekitar 1.800 dollar Singapura, Dr. Loh, seorang trainer dari dinas pendidikan Singapura bercerita kepada kami bahwa dahulu, tahun 1980, gaji guru di Singapura sangat rendah, namun pemerintahnya memang fokus memajukan dunia pendidikan dari banyak sisi, termasuk yang menjadi prioritas adalah gaji guru.
Atase Pendidikan Kedutaan Besar Malaysia Dato' Paduka Junaidy Abu Bakar mengatakan gaji guru mula di Malaysia berjumlah 1.405 RM ditambah tunjangan rutin 340 RM. Totalnya sekitar Rp 4.941.222,33. Total gaji ini diberikan kepada guru muda lulisan Diploma 3 yang baru mengajar. Guru muda ini berada di grade DGA 29. Di tahap akhir grade ini, gajinya bisa mencapai Rp 10.682.685,36. Jika guru juga naik golongan atau grade, gajinya pun akan naik hampir Rp 2 juta. Dalam kelompok guru lulusan D-3, ada tiga tingkatan, yaitu grade DGA 29, grade DGA 32 dan grade DGA 34. Ketika guru naik pangkat di akhir grade 34, gajiinya bisa mencapai hampir Rp 12 juta. Itu baru guru lulusan D-III. Beda lagi dengan para guru dan dosen lulusan S-1 dan S-2. Dalam lima grade, rentang gajinya dari 1.695 RM plus 550 RM atau sekitar Rp 6.343.799,17 hingga 8.860 RM plus 2.200 RM dengan total hampir Rp 39 juta. Selain gaji pokok ini, mereka juga berhak memperoleh tunjangan-tunjangan lain, seperti tunjangan perumahan sebesar 180 RM, laptop gratis, dan pinjaman mobil. Para guru dan dosen juga memperoleh insentif khusus jika mengajar mata pelajaran seperti Bahasa Inggris atau mengajar pelajar cacat. Bagi mereka yang tinggal di kawasan pinggiran dan mengalami kesulitan transportasi juga memperoleh tunjangan antara 500 RM sampai 1.500 RM serta dana cuti belajar. Tentu saja, para guru boleh tenang. Pasalnya, indeks taraf hidup pun hanya berkisar 750 RM-1.500 RM. Maksimal hanya terjadi di kawasan Bandar. Kesejahteraan ini pun berlaku pula bagi para guru swasta. Hanya bedanya, lanjut Junaidy, di Malaysia jarang terdapat sekolah swasta.
Di Vietnam salary seorang guru bisa mencapai $15-$19 per jam; $20,000 USD per tahun ($1,670 perbulan)








BAB V
KESIMPULAN
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
1. Rendahnya sarana fisik,
2. Rendahnya kualitas guru,
3. Rendahnya kesejahteraan guru,
4. Rendahnya prestasi siswa,
5. Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
6. Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
7. Mahalnya biaya pendidikan.
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.
Rekomendasi
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional.
Solusi dari permasalahan pendidikan dan peningkatan kualitas SDM di Indonesia
1. Solusi Sistemik
Solusi ini berupa pembenahan di seluruh jajaran penyelenggaran pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan juga tidak akan terlepas dari aspek lain, seperti aspek ekonomi. Sistem ekonomi yang masih kacau dan menganut sistem ekonomi ke barat-barat-an tidak akan sesuai dengan penerapannya di sektor pendidikan karena akan didominasi oleh pihak yang kuat.
Sistem ekonomi harus diubah ke dalam bentuk sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara. Jadi, peningkatan kesejahteraan tenaga pendidik bisa terjamin, pembangunan sarana pendidikan bisa berjalan lancar. Jika sudah terjadi pemerataan, kemungkinan penyalahgunaan (korupsi) akan semakin kecil.
2. Solusi Teknis
Solusi ini memberikan penanganan langsung kepada pihak yang masih mengganggu keefektifan pengajaran. Ambil contoh, bagi tenaga pendidik yang masih belum memiliki standardisasi mutu sebagai tenaga pendidik, maka pemerintah harus menyekolahkan lagi ke tingkat yang seharusnya. Pemerintah terus memantau fasilitas-fasilitas fisik sebagai salah satu faktor pendukung pengajaran. Membangun kembali bangunan sekolah yang sudah ambruk, merenovasi bangunan yang kurang layak, atau membangun gedung baru di lokasi bencana.
Kesejahteraan tenaga pendidik pun harus ditingkatkan, anggaran APBN yang 20% seharusnya bisa menutupi masalah ini. Jika kesejahteraan tenaga pendidik sudah terjamin, maka tidak ada lagi yang enggan untuk mengemban tugas mulia ini.
Daftar Pustaka

Anonymous,2000.The World Economic Forum Swedia .Diakses dari http://forum.detik.com.Tanggal 10 Desember 2009.

Anonymous,2000. Efektivitas-dan-efisiensi-anggaran.

http://tyaeducationjournals.blogspot.com. Tanggal 10 Desember 2009 Anonymous,2009.

Efektifitas Pendidikan Di Indonesia. Diakses dari http://www.detiknews.com. Tanggal 10 Desember 2009

Anonymous,2009. Sistem pendidikan .Diakses dari http://www.sib-bangkok.org. Tanggal 10 Desember 2009.

http://www.teachaway.com/content/teach-english-vietnam

http://munifchatib.wordpress.com/2010/03/23/profesi-guru-di-singapura-sekedar-perbandingan/

file:///forum/world/malaysia/T6CJH5ESCTAR7U8O7/p1

Pidarta, Prof. Dr. Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
PP No. 19/2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan

Permendiknas No. 45/2006 Tentang UN Tahun Ajaran 2006/2007.

SIMON Saragih, Pendidikan di Singapura, Ditata seperti Sebuah Orkestra , 2010

UU No.20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar