BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan pada hakekatnya adalah sebuah transformasi yang mengubah input menjadi output. Untuk menjadi output, dalam transformasi tersebut diperlukan suatu proses yang berlangsung secara benar, terjaga serta sesuai dengan apa yang telah ditetapkan. Pada pendidikan, untuk menjamin terjadinya proses yang benar tersebut, diperlukan pengawasan (supervisi). Supervisi ini dilakukan dalam rangka menjamin kualitas (quality assurance) agar sesuai dengan tujuan pendidikan. Pada makalah ini akan dibahas tentang tugas dan fungsi supervisi pendidikan.
B. Identifikasi Masalah
Supervisi yang dilakukan di sekolah menunjukan bahwa sekolah-sekolah tersebut memerlukan bimbingan dan perhatian dari supervisor sebagai berikut:
1. Memberikan bimbingan kepada guru dalam menjalankan tugas mengajar
2. Memberikan pencerahan kepada bawahan/staf agar lebih semangat dalam mengajar
3. Membantu dan meningkatan disiplin di sekolah
C. Pembatasan Masalah
Masalah utama dalam makalah ini adalah untuk mencari jawaban atas pertanyaan sebagi berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan supervisi pendidikan?
2. Apakah tugas supervisi pendidikan ?
3. Apakah tujuan dan fungsi supervisi pendidikan ?
D. Kegunaan makalah
Makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada berbagai pihak yang berkepentingan, baik secara teoritis maupun secara peraktis dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru untuk menciptakan suasana yang kondusif di sekolah dan meningkatkan prestasi secara maksimal sehingga berguna bagi perkembangan dan kemajuan serta meningkatkan kualitas yang lebih baik dimasa yang akan datang
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian supervisi Pendidikan
Konsep supervisi modern dirumuskan oleh Kimball Wiles (1967) sebagai berikut : “Supervision is assistance in the devolepment of a better teaching learning situation”. Supervisi adalah bantuan dalam pengembangan situasi pembelajaran yang lebih baik. Rumusan ini mengisyaratkan bahwa layanan supervisi meliputi keseluruhan situasi belajar mengajar (goal, material, technique, method, teacher, student, an envirovment). Situasi belajar inilah yang seharusnya diperbaiki dan ditingkatkan melalui layanan kegiatan supervisi. Dengan demikian layanan supervisi tersebut mencakup seluruh aspek dari penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran. supervisi lebih menekankan kepada persahabatan yang dilandasi oleh pemberian pelayanan dan kerjasama yang lebih baik diantara guru-guru, karena bersifat demokratis.
Sedangkan supervisi pendidikan menurut :
1) Etimologi adalah Istilah supervisi diambil dalam perkataan bahasa Inggris “ Supervision” artinya pengawasan di bidang pendidikan. Orang yang melakukan supervisi disebut supervisor.
2) Morfologis adalah Supervisi dapat dijelaskan menurut bentuk perkataannya. Supervisi terdiri dari dua kata.Super berarti atas, lebih. Visi berarti lihat, tilik, awasi. Seorang supervisor memang mempunyai posisi diatas atau mempunyai kedudukan yang lebih dari orang yang disupervisinya.
3) Semantik adalah Pada hakekatnya isi yang terandung dalam definisi yang rumusanya tentang sesuatu tergantung dari orang yang mendefinisikan. Wiles secara singkat telah merumuskan bahwa supervisi sebagai bantuan pengembangan situasi mengajar belajar agar lebih baik. Adam dan Dickey merumuskan supervisi sebagai pelayanan khususnya menyangkut perbaikan proses belajar mengajar. Sedangkan Depdiknas (1994) merumuskan supervisi sebagai berikut : “ Pembinaan yang diberikan kepada seluruh staf sekolah agar mereka dapat meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang lebih baik “. Dengan demikian, supervisi ditujukan kepada penciptaan atau pengembangan situasi belajar mengajar yang lebih baik. Untuk itu ada dua hal (aspek) yang perlu diperhatikan :
a. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar
b. Hal-hal yang menunjang kegiatan belajar mengajar
Karena aspek utama adalah guru, maka layanan dan aktivitas kesupervisian harus lebih diarahkan kepada upaya memperbaiki dan meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola kegiatan belajar mengajar. Untuk itu guru harus memiliki yakni : 1) kemampuan personal, 2) kemampuan profesional 3) kemampuan sosial (Depdiknas, 1982). Atas dasar uraian diatas, maka pengertian supervisi dapat dirumuskan sebagai “ serangkaian usaha pemberian bantuan kepada guru dalam bentuk layanan profesional yang diberikan oleh supervisor ( Pengawas sekolah, kepala sekolah, dan pembina lainnya) guna meningkatkan mutu proses dan hasil belajar mengajar. Karena supervisi atau pembinaan guru tersebut lebih menekankan pada pembinaan guru tersebut berikut pula “Pembinaan profesional guru“ yakni pembinaan yang lebih diarahkan pada upaya memperbaiki dan meningkatkan kemampuan profesional guru.
Supervisi dapat kita artikan sebagai pembinaan. Sedangkan sasaran pembinaan tersebut bisa untuk kepala sekolah, guru, pegawai tata usaha. Namun yang menjadi sasaran supervisi diartikan pula pembinaan guru
B. Tugas Supervisi Pendidikan.
Seorang supervisior dapat dilihat dari tugas yang dikerjakannya. Seorang pemimpin pendidikan yang berfungsi sebagai supervisor tampak jelas perannya. Sesuai dengan pengertian hakiki supervisi, maka supervisi berperan atau bertugas memberi support (supporting), membantu (assisting) dan mengikutsertakan (sharing).
Selain itu, seorang supervisior bertugas sebagai:
Koordinator.
Konsultan.
Pemimpin Kelompok.
Evaluator .
Tugas lain bagi seorang supervisi atau pengawas akademik, yakni mencakup hal-hal berikut:
Mengupayakan agar guru lebih bersungguh-sungguh dan bekerja lebih keras serta bersemangat dalam mengajar.
Mengupayakan agar sistem pengajaran ditata sedemikian rupa sehingga berlaku prinsip belajar tuntas, yaitu guru harus berupaya agar murid benar-benar menguasai apa yang telah diajarkan dan tidak begitu saja melanjutkan pengajaran ke tingkat yang lebih tinggi jika murid Belum tuntas penguasaannya.
Memberikan tekanan (pressure) terhadap guru untuk mencapai tujuan pengajarannya, dengan disertai bantuan (support) yang memadai bagi keberhasilan tugasnya.
Membuat kesepakatan dengan guru maupun dengan sekolah mengenai jenis dan tingkatan dari target output yang harus mereka capai sehubungan dengan keberhasilan pengajaran.
Secara berkala melakukan pemantauan dan penilaian (assessment) terhdap keberhasilan (efektifitas) mengajar guru, khususnya dalam kaitannya dengan kesepakatan yang dibuat pada butir (4) di atas.
Membuat persiapan dan perencanaan kerja dalam rangka pelaksanaan butir-butir di atas, menyusun dokumentasi dan laporan bagi setiap kegiatan, serta mengembangkan sistem pengelolaan data hasil pengawasan.
Melakukan koordinasi serta membuat kesepakatan-kesepakatan yang diperlukan dengan kepala sekolah, khususnya dalam hal yang berkenaan dengan pemantauan dan pengendalian efektifitas pengajaran serta hal yang berkenaan dengan akreditas sekolah yang bersangkutan.
C. Tujuan dan Fungsi Supervisi Pendidikan
Tujuan supervisi pendidikan adalah sebagai berikut :
1) Meningkatkan mutu kinerja guru membantu guru dalam memahami tujuan pendidikan dan apa peran sekolah dalam mencapai tujuan tersebut membantu guru dalam melihat secara lebih jelas dalam memahami keadaan dan kebutuhan siswanya. Membentuk kelompok yang kuat dan mempersatukan guru dalam satu tim yang efektif, bekerjasama secara akrab dan bersahabat dan saling menghargai satu dengan yang lainnya. Meningkatkan kualitas pembelajaran yang pada akhirnya meningkatkan prestasi belajar siswa Meningkatkan kulaitas pengajaran guru baik itu dari segi strategi, keahlian dan alat pengajaran. Sebagai salah satu dasar pengambilan keputusan bagi kepala sekolah untuk reposisi guru.
2) Meningkatkan keefektifan kurikulum sehingga berdaya guna dan terlaksana dengan baik.
3) Meningkatkan keefektifan dan keefesienan sarana dan prasarana yang ada untuk dikelola dan dimanfaatkan dengan baik sehingga mampu mengoptimalkan keberhasilan siswa
4) Meningkatkan kualitas pengelolaan sekolah khususnya dalam mendukung terciptanya suasana kerja yang optimal yang selanjutnya siswa dapat mencapai prestasu belajar sebagaim,ana yang diharapkan.
5) Meningkatkan kualitas situasi umum sekolah sehingga tercipta situasi yang tenang dan tentram serta kondusif yang akan meningkatkan kualitas pembelajaran yang menunjukkan keberhasilan lulusan
Secara umum fungsi supervisi adalah perbaikan pengajaran. Berikut ini berbagai pendapat para ahli tentang fungsi supervisi, di antaranya adalah:
Ayer, Fred E, menganggap fungsi supervisi untuk memelihara program pengajaran yang ada sebaik-baiknya sehingga ada perbaikan.
Franseth Jane, menyatakan bahwa fungsi supervisi memberi bantuan terhadap program pendidikan melalui bermacam-macam cara sehingga kualitas kehidupan akan diperbaiki.
W.H. Burton dan Leo J. Bruckner menjelaskan bahwa fungsi utama dari supervisi modern ialah menilai dan memperbaiki faktor-faktor yang mempengaruhi hal belajar.
Kimball Wiles, mengatakan bahwa fungsi supervisi ialah memperbaiki situasi belajar anak-anak.
Usaha perbaikan merupakan proses yang kontinyu sesuai dengan perubahan masyarakat. Masyarakat selalu mengalami perubahan. Perubahan masyarakat membawa pula konsekuensi dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Suatu penemuan baru mengakibatkan timbulnya dimensi-dimensi dan persepektif baru dalam bidang ilmu penegetahuan.
Makin jauh pembahasan tentang supervisi makin nampak bahwa kunci supervisi bukan hanya membicarakan perbaikan itu sendiri, melainkan supervisi yang diberikan kepada guru-guru, menurut T.H. Briggs juga merupakan alat untuk mengkoordinasi, menstimulasi dan mengarahkan pertumbuhan guru-guru.
Dalam suatu analisa fungsi supervisi yang diberikan oleh swearingen, terdapat 8 fungsi supervisi, yakni:
1). Mengkoordinasi Semua Usaha Sekolah.
Koordinasi yang baik diperlukan terhadap semua usaha sekolah untuk mengikuti perkembangan sekolah yang makin bertambah luas dan usaha-usaha sekolah yang makin menyebar, diantaranya:
Usaha tiap guru.
Usaha-usaha sekolah.
Usaha-usaha pertumbuhan jabatan.
2) Memperlengkapi Kepemimpinan Sekolah.
Yakni, melatih dan memperlengkapi guru-guru agar mereka memiliki ketrampilan dan kepemimpinan dalam kepemimpinan sekolah.
3) Memperluas Pengalaman.
Yakni, memberi pengalaman-pengalaman baru kepada anggota-anggota staff sekolah, sehingga selalu anggota staff makin hari makin bertambah pengalaman dalam hal mengajarnya.
4) Menstimulasi Usaha-Usaha yang Kreatif.
Yakni, kemampuan untuk menstimulir segala daya kreasi baik bagi anak-anak, orang yang dipimpinnya dan bagi dirinya sendiri.
5) Memberikan Fasilitas dan Penilaian yang Kontinyu.
Penilaian terhadap setiap usaha dan program sekolah misalnya, memiliki bahan-bahan pengajaran, buku-buku pengajaran, perpustakaan, cara mengajar, kemajuan murid-muridnya harus bersifat menyeluruh dan kontinyu.
6) Menganalisa Situasi Belajar
Situasi belajar merupakan situasi dimana semua faktor yang memberi kemungkinan bagi guru dalam memberi pengalaman belajar kepada murid untuk mencapai tujuan pendidikan.
7) Memberi Pengetahuan dan Ketrampilan pada Setiap Anggota Staf.
Supervisi berfungsi memberi stimulus dan membantu guru agar mereka memperkembangkan pengetahuan dan ketrampilan dalam belajar.
8) Mengintegrasikan Tujuan dan Pembentukan Kemampuan.
Fungsi supervisi di sini adalah membantu setiap individu, maupun kelompok agar sadar akan nilai-nilai yang akan dicapai itu, memungkinkan penyadaran akan kemampuan diri sendiri.
FungĂs supervior (pengawas) oleh karenanya menjadi penting, sebagaimana tertuang dalam Kepmen PAN Nomor 118/1996 yang menyebutkan bahwa pengawas diberikan tanggung jawab dan wewenag penuh untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan pendidikan, penilaian dan pembinaan teknis serta administratif pada satuan pendidikan.
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian yang telah dipaparkan diatas, dapat disimpulkan bahwa seorang supervisor dapat dilihat dari tugas yang dikerjakannya, suatu tugas yang dilaksanakannya memberi status dan fungsi pada seseorang. Dalam fungsinya nampak perananya dan dari peranannya terdapat tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh seorang supervisor pendidikan
Supervisi adalah bantuan dalam pengembangan situasi belajar mengajar agar memperoleh kondisi yang lebih baik. Meskipun tujuan akhirnya tertuju pada hasil belajar siswa, namun yang diutamakan dalam supervisi adalah bantuan kepada guru.
Supervisi pendidikan berfungsi untuk memperoleh gambaran yang jelas dan objektif tentang suatu situasi pendidikan, Penilaian (evaluation) → lebih menekankan pada aspek positif dari pada negative, Perbaikan (improvement) → dapat mengatahui bagaimana situasi pendidikan/pengajaran pada umumnya dan situasi belajar mengajarnya., Pembinaan → berupa bimbingan (guidance) kearah pembinaan diri yang disupervisi
Tujuan akhir dari supervisi pendidikan adalah meningkatkan professional guru dan karyawan sekolah guna menunjang akuntabilitas siswa dalam belajar, sehingga siswa benar-benar menjadi manusia yang berilmu, berbudi dan kreatif dalam segala hal sesuai dengan amanah UUD 45.
B. PENUTUP
Demikian pemaparan makalah ini tentang “Tugas dan fungsi Supervisi Pendidikan”. Dimana di dalamnya menjelaskan tentang definisi, tugas, tujuan dan fungsi, pendidikan. Saya menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam menyusun makalah ini. Tetapi kami yakin suatu kesalahan itu merupakan bagian dari suatu proses pembelajaran, seperti pepatah asing mengatakan “experience is the best teacher” artinya pengalaman adalah guru yang berharga. Untuk itu demi proses pembelajaran yang baik kami sangat mengharap kritik dan saran dari semua pihak, supaya dalam penyusunan makalah selanjutnya dapat tersusun lebih baik lagi.
Tak lupa kami ucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung, sehingga makalah ini dapat tersusun dan dapat dipaparkan harapannya dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
A, Hasan, Yusuf, dkk., Pedoman Pengawasan, Jakarta: CV Mekar Jaya, 2002.
A, Sahertian, Piet, Drs, Prinsip dan Teknik Supervisi Pendidikan, Usaha Nasioanal, Surabaya: 1981.
Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Buku 1). Jakarta: Depdiknas.
Tim Penyusun Ditjen Baga Islam, Pedoman Pelaksanaan Supervisi Pendidikan Agama, Depag RI Ditjen Baga Islam, Jakarta, 2003.
Supandi. 1996. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Jakarta: Departemen Agama Universitas Terbuka
Sahertian, Piet A. 2000. Konsep-Konsep dan Teknik Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Fullan & Stiegerbauer.1991. The New Meaning of Educational Change. Boston: Houghton Mifflin Company.
Bukit Berbunga Gerem
Jumat, 06 Mei 2011
LANDASAN HUKUM BOS
LANDASAN HUKUM PROGRAM BOS
F.Landasan Hukum
Landasan hukum dalam pelaksanaan program BOS meliputi semua peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:
1.Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
2.Undang-Undang No. 17 Tahun 1965 tentang Pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan.
3.Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 43 Tahun 1999.
4.Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
5.Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang Bendaharawan Wajib Memungut Pajak Penghasilan.
6.Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
7.Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
8.Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
9.Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.
10.Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
11.Peraturan Pemerintah No. 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
12.Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom.
13.Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
14.Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar
15.Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan
16.Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
17.Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.
18.Surat Keputusan Bersama antara Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama No. 1/U/KB/2000 dan No. MA/86/2000 tentang Pondok Pesantren Salafiyah sebagai Pola Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun.
19.Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 036/U/1995 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar.
20.Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
21.Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 060/U/2002 tentang Pedoman Pendirian Sekolah.
22.Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 078/M/2008 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi 145 Judul Buku Teks Pelajaran Yang Hak Ciptanya Dibeli Oleh KementerianPendidikan Nasional.
23.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 46 Tahun 2007 tentang Penetapan Buku Teks Pelajaran yang Memenuhi Syarat Kelayakan untuk Digunakan dalam Proses Pembelajaran.
24.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 2008 tentang Buku.
25.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 12 Tahun 2008 tentang Penetapan Buku Teks Pelajaran yang Memenuhi Syarat Kelayakan untuk Digunakan dalam Proses Pembelajaran.
26.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 28 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 13 Tahun 2008 tentang Harga Eceran Tertinggi Buku Teks Pelajaran yang Hak Ciptanya Dibeli oleh KementerianPendidikan Nasional.
27.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 34 Tahun 2008 tentang Penetapan Buku Teks Pelajaran yang Memenuhi Syarat Kelayakan untuk Digunakan dalam Proses Pembelajaran (SD: PKn, IPA, IPS, Matematika, Bahasa Indonesia dan SMP: IPA, IPS, Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris).
28.Surat Edaran Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia No. SE-02/PJ./2006, tentang Pedoman Pelaksanaan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Sehubungan dengan Penggunaan Dana Bantuan Operasional (BOS) oleh Bendaharawan atau Penanggung-Jawab Pengelolaan Penggunaan Dana BOS di Masing-Masing Unit Penerima BOS
29.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 41 Tahun 2008 tentang Penetapan Buku Teks Pelajaran yang Memenuhi Syarat Kelayakan untuk Digunakan dalam Proses Pembelajaran.
30.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 69 Tahun 2008 tentang Penetapan Buku Teks Pelajaran yang Memenuhi Syarat Kelayakan untuk Digunakan dalam Proses Pembelajaran.
31.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 81 Tahun 2008 tentang Penetapan Buku Teks Pelajaran yang Memenuhi Syarat Kelayakan untuk Digunakan dalam Proses Pembelajaran.
32.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 9 Tahun 2009 tentang Penetapan Buku Teks Pelajaran yang Memenuhi Syarat Kelayakan untuk Digunakan dalam Proses Pembelajaran.
33.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 69 Tahun 2009 tentang Standar Biaya Operasi Nonpersonalia Tahun 2009 untuk SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK, SDLB, SMPLB, dan SMALB.
34.Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-14/PB/2007 Tentang Petunjuk Pencairan dan Penyaluran Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), BOS Buku, dan Bantuan Khusus Murid (BKM).
35.Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam No. DJ.I/196/2008 tentang Penetapan Buku Ajar Pendidikan Agama Islam (PAI), Bahasa Arab dan Referensi untuk Raudatul Athfal, Tarbiyatul Athfal, Busthanul Athfal, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah Tahun 2008.
36.Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam No. Dj.I/375/2009 tentang Penetapan Buku Ajar Referensi, Pengayaan dan Panduan Pendidik untuk Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah, Pendidikan Agama Islam pada Sekolah dan Pondok Pesantren Tahun Anggaran 2009.
37.Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/Pj/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/Pj/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
38.Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sehubungan dengan Pembayaran Atas penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang lain.
39.Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dengan perubahan terakhir PP Nomor 64 Tahun 2010.
40.Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
41.Keputusan Menteri Keuangan Nomor 332/M/V/9/1968 tentang Buku Kas Umum dan Tata Cara Pengerjaannya.
42.Permendiknas Nomor 15 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota.
F.Landasan Hukum
Landasan hukum dalam pelaksanaan program BOS meliputi semua peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:
1.Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
2.Undang-Undang No. 17 Tahun 1965 tentang Pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan.
3.Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 43 Tahun 1999.
4.Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
5.Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang Bendaharawan Wajib Memungut Pajak Penghasilan.
6.Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
7.Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
8.Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
9.Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.
10.Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
11.Peraturan Pemerintah No. 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
12.Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom.
13.Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
14.Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar
15.Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan
16.Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
17.Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.
18.Surat Keputusan Bersama antara Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama No. 1/U/KB/2000 dan No. MA/86/2000 tentang Pondok Pesantren Salafiyah sebagai Pola Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun.
19.Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 036/U/1995 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar.
20.Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
21.Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 060/U/2002 tentang Pedoman Pendirian Sekolah.
22.Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 078/M/2008 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi 145 Judul Buku Teks Pelajaran Yang Hak Ciptanya Dibeli Oleh KementerianPendidikan Nasional.
23.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 46 Tahun 2007 tentang Penetapan Buku Teks Pelajaran yang Memenuhi Syarat Kelayakan untuk Digunakan dalam Proses Pembelajaran.
24.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 2008 tentang Buku.
25.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 12 Tahun 2008 tentang Penetapan Buku Teks Pelajaran yang Memenuhi Syarat Kelayakan untuk Digunakan dalam Proses Pembelajaran.
26.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 28 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 13 Tahun 2008 tentang Harga Eceran Tertinggi Buku Teks Pelajaran yang Hak Ciptanya Dibeli oleh KementerianPendidikan Nasional.
27.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 34 Tahun 2008 tentang Penetapan Buku Teks Pelajaran yang Memenuhi Syarat Kelayakan untuk Digunakan dalam Proses Pembelajaran (SD: PKn, IPA, IPS, Matematika, Bahasa Indonesia dan SMP: IPA, IPS, Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris).
28.Surat Edaran Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia No. SE-02/PJ./2006, tentang Pedoman Pelaksanaan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Sehubungan dengan Penggunaan Dana Bantuan Operasional (BOS) oleh Bendaharawan atau Penanggung-Jawab Pengelolaan Penggunaan Dana BOS di Masing-Masing Unit Penerima BOS
29.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 41 Tahun 2008 tentang Penetapan Buku Teks Pelajaran yang Memenuhi Syarat Kelayakan untuk Digunakan dalam Proses Pembelajaran.
30.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 69 Tahun 2008 tentang Penetapan Buku Teks Pelajaran yang Memenuhi Syarat Kelayakan untuk Digunakan dalam Proses Pembelajaran.
31.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 81 Tahun 2008 tentang Penetapan Buku Teks Pelajaran yang Memenuhi Syarat Kelayakan untuk Digunakan dalam Proses Pembelajaran.
32.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 9 Tahun 2009 tentang Penetapan Buku Teks Pelajaran yang Memenuhi Syarat Kelayakan untuk Digunakan dalam Proses Pembelajaran.
33.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 69 Tahun 2009 tentang Standar Biaya Operasi Nonpersonalia Tahun 2009 untuk SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK, SDLB, SMPLB, dan SMALB.
34.Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-14/PB/2007 Tentang Petunjuk Pencairan dan Penyaluran Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), BOS Buku, dan Bantuan Khusus Murid (BKM).
35.Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam No. DJ.I/196/2008 tentang Penetapan Buku Ajar Pendidikan Agama Islam (PAI), Bahasa Arab dan Referensi untuk Raudatul Athfal, Tarbiyatul Athfal, Busthanul Athfal, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah Tahun 2008.
36.Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam No. Dj.I/375/2009 tentang Penetapan Buku Ajar Referensi, Pengayaan dan Panduan Pendidik untuk Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah, Pendidikan Agama Islam pada Sekolah dan Pondok Pesantren Tahun Anggaran 2009.
37.Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/Pj/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/Pj/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
38.Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sehubungan dengan Pembayaran Atas penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang lain.
39.Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dengan perubahan terakhir PP Nomor 64 Tahun 2010.
40.Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
41.Keputusan Menteri Keuangan Nomor 332/M/V/9/1968 tentang Buku Kas Umum dan Tata Cara Pengerjaannya.
42.Permendiknas Nomor 15 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota.
Kamis, 10 Februari 2011
Konsep manajemen
Konsep Dasar Manajemen Keuangan Sekolah
A. Pengertian Manajemen Keuangan
Manajemen keuangan merupakan salah satu substansi manajamen sekolah yang akan turut menentukan berjalannya kegiatan pendidikan di sekolah. Sebagaimana yang terjadi di substansi manajemen pendidikan pada umumnya, kegiatan manajemen keuangan dilakukan melalui proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan atau pengendalian.
Beberapa kegiatan manajemen keuangan yaitu memperoleh dan menetapkan sumber-sumber pendanaan, pemanfaatan dana, pelaporan, pemeriksaan dan pertanggungjawaban (Lipham, 1985; Keith, 1991)
Menurut Depdiknas (2000) bahwa manajemen keuangan merupakan tindakan pengurusan/ketatausahaan keuangan yang meliputi pencatatan, perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban dan pelaporan Dengan demikian, manajemen keuangan sekolah dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas mengatur keuangan sekolah mulai dari perencanaan, pembukuan, pembelanjaan, pengawasan dan pertanggung-jawaban keuangan sekolah.
B. Tujuan Manajemen Keuangan Sekolah
Melalui kegiatan manajemen keuangan maka kebutuhan pendanaan kegiatan sekolah dapat direncanakan, diupayakan pengadaannya, dibukukan secara transparan, dan digunakan untuk membiayai pelaksanaan program sekolah secara efektif dan efisien. Untuk itu tujuan manajemen keuangan adalah:
1. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan keuangan sekolah
2. Meningkatkan akuntabilitas dan transparansi keuangan sekolah.
3. Meminimalkan penyalahgunaan anggaran sekolah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dibutuhkan kreativitas kepala sekolah dalam menggali sumber-sumber dana, menempatkan bendaharawan yang menguasai dalam pembukuan dan pertanggung-jawaban keuangan serta memanfaatkannya secara benar sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
C. Prinsip-Prinsip Manajemen Keuangan
Manajemen keuangan sekolah perlu memperhatikan sejumlah prinsip. Undang-undang No 20 Tahun 2003 pasal 48 menyatakan bahwa pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. Disamping itu prinsip efektivitas juga perlu mendapat penekanan. Berikut ini dibahas masing-masing prinsip tersebut, yaitu transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi.
1. Transparansi
Transparan berarti adanya keterbukaan. Transparan di bidang manajemen berarti adanya keterbukaan dalam mengelola suatu kegiatan. Di lembaga pendidikan, bidang manajemen keuangan yang transparan berarti adanya keterbukaan dalam manajemen keuangan lembaga pendidikan, yaitu keterbukaan sumber keuangan dan jumlahnya, rincian penggunaan, dan pertanggungjawabannya harus jelas sehingga bisa memudahkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengetahuinya. Transparansi keuangan sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan dukungan orangtua, masyarakat dan pemerintah dalam penyelenggaraan seluruh program pendidikan di sekolah. Disamping itu transparansi dapat menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah, masyarakat, orang tua siswa dan warga sekolah melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
Beberapa informasi keuangan yang bebas diketahui oleh semua warga sekolah dan orang tua siswa misalnya rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) bisa ditempel di papan pengumuman di ruang guru atau di depan ruang tata usaha sehingga bagi siapa saja yang membutuhkan informasi itu dapat dengan mudah mendapatkannya. Orang tua siswa bisa mengetahui berapa jumlah uang yang diterima sekolah dari orang tua siswa dan digunakan untuk apa saja uang itu. Perolehan informasi ini menambah kepercayaan orang tua siswa terhadap sekolah.
2. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kondisi seseorang yang dinilai oleh orang lain karena kualitas performansinya dalam menyelesaikan tugas untuk mencapai tujuan yang menjadi tanggung jawabnya. Akuntabilitas di dalam manajemen keuangan berarti penggunaan uang sekolah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Berdasarkan perencanaan yang telah ditetapkan dan peraturan yang berlaku maka pihak sekolah membelanjakan uang secara bertanggung jawab. Pertanggungjawaban dapat dilakukan kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah. Ada tiga pilar utama yang menjadi prasyarat terbangunnya akuntabilitas, yaitu (1) adanya transparansi para penyelenggara sekolah dengan menerima masukan dan mengikutsertakan berbagai komponen dalam mengelola sekolah , (2) adanya standar kinerja di setiap institusi yang dapat diukur dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya, (3) adanya partisipasi untuk saling menciptakan suasana kondusif dalam menciptakan pelayanan masyarakat dengan prosedur yang mudah, biaya yang murah dan pelayanan yang cepat
3. Efektivitas
Efektif seringkali diartikan sebagai pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Garner(2004) mendefinisikan efektivitas lebih dalam lagi, karena sebenarnya efektivitas tidak berhenti sampai tujuan tercapai tetapi sampai pada kualitatif hasil yang dikaitkan dengan pencapaian visi lembaga. Effectiveness ”characterized by qualitative outcomes”. Efektivitas lebih menekankan pada kualitatif outcomes. Manajemen keuangan dikatakan memenuhi prinsip efektivitas kalau kegiatan yang dilakukan dapat mengatur keuangan untuk membiayai aktivitas dalam rangka mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan dan kualitatif outcomes-nya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
4. Efisiensi
Efisiensi berkaitan dengan kuantitas hasil suatu kegiatan. Efficiency ”characterized by quantitative outputs” (Garner,2004). Efisiensi adalah perbandingan yang terbaik antara masukan (input) dan keluaran (out put) atau antara daya dan hasil. Daya yang dimaksud meliputi tenaga, pikiran, waktu, biaya. Perbandingan tersebut dapat dilihat dari dua hal:
a. Dilihat dari segi penggunaan waktu, tenaga dan biaya:
Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau penggunaan waktu, tenaga dan biaya yang sekecil-kecilnya dapat mencapai hasil yang ditetapkan.
Ragam efisiensi dapat dijelaskan melalui hubungan antara penggunaan waktu, tenaga, biaya dan hasil yang diharapkan dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Hubungan penggunaan waktu, tenaga, biaya dan hasil yang diharapkan
Pada gambar di atas menunjukkan penggunaan daya C dan hasil D yang paling efisien, sedangkan penggunaan daya A dan hasil D menunjukkan paling tidak efisien.
b. Dilihat dari segi hasil
Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau dengan penggunaan waktu, tenaga dan biaya tertentu memberikan hasil sebanyak-banyaknya baik kuantitas maupun kualitasnya.
Ragam efisiensi tersebut dapat dilihat dari gambar berikut ini:
Hubungan penggunaan waktu, tenaga, biaya tertentu dan ragam hasil yang diperoleh
Pada gambar di atas menunjukkan penggunaan waktu, tenaga, biaya A dan hasil B paling tidak efisien. Sedangkan penggunaan waktu, tenaga, biaya A dan hasil D paling efisien.
Tingkat efisiensi dan efektivitas yang tinggi memungkinkan terselenggaranya pelayanan terhadap masyarakat secara memuaskan dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab.
=====================
Diambil dan adaptasi dari Materi Pembinaan Profesi Kepala Sekolah/Madrasah. Direktorat Tenaga Kependidikan. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Departemen Pendidikan Nasional. 2007)
A. Pengertian Manajemen Keuangan
Manajemen keuangan merupakan salah satu substansi manajamen sekolah yang akan turut menentukan berjalannya kegiatan pendidikan di sekolah. Sebagaimana yang terjadi di substansi manajemen pendidikan pada umumnya, kegiatan manajemen keuangan dilakukan melalui proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan atau pengendalian.
Beberapa kegiatan manajemen keuangan yaitu memperoleh dan menetapkan sumber-sumber pendanaan, pemanfaatan dana, pelaporan, pemeriksaan dan pertanggungjawaban (Lipham, 1985; Keith, 1991)
Menurut Depdiknas (2000) bahwa manajemen keuangan merupakan tindakan pengurusan/ketatausahaan keuangan yang meliputi pencatatan, perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban dan pelaporan Dengan demikian, manajemen keuangan sekolah dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas mengatur keuangan sekolah mulai dari perencanaan, pembukuan, pembelanjaan, pengawasan dan pertanggung-jawaban keuangan sekolah.
B. Tujuan Manajemen Keuangan Sekolah
Melalui kegiatan manajemen keuangan maka kebutuhan pendanaan kegiatan sekolah dapat direncanakan, diupayakan pengadaannya, dibukukan secara transparan, dan digunakan untuk membiayai pelaksanaan program sekolah secara efektif dan efisien. Untuk itu tujuan manajemen keuangan adalah:
1. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan keuangan sekolah
2. Meningkatkan akuntabilitas dan transparansi keuangan sekolah.
3. Meminimalkan penyalahgunaan anggaran sekolah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dibutuhkan kreativitas kepala sekolah dalam menggali sumber-sumber dana, menempatkan bendaharawan yang menguasai dalam pembukuan dan pertanggung-jawaban keuangan serta memanfaatkannya secara benar sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
C. Prinsip-Prinsip Manajemen Keuangan
Manajemen keuangan sekolah perlu memperhatikan sejumlah prinsip. Undang-undang No 20 Tahun 2003 pasal 48 menyatakan bahwa pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. Disamping itu prinsip efektivitas juga perlu mendapat penekanan. Berikut ini dibahas masing-masing prinsip tersebut, yaitu transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi.
1. Transparansi
Transparan berarti adanya keterbukaan. Transparan di bidang manajemen berarti adanya keterbukaan dalam mengelola suatu kegiatan. Di lembaga pendidikan, bidang manajemen keuangan yang transparan berarti adanya keterbukaan dalam manajemen keuangan lembaga pendidikan, yaitu keterbukaan sumber keuangan dan jumlahnya, rincian penggunaan, dan pertanggungjawabannya harus jelas sehingga bisa memudahkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengetahuinya. Transparansi keuangan sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan dukungan orangtua, masyarakat dan pemerintah dalam penyelenggaraan seluruh program pendidikan di sekolah. Disamping itu transparansi dapat menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah, masyarakat, orang tua siswa dan warga sekolah melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
Beberapa informasi keuangan yang bebas diketahui oleh semua warga sekolah dan orang tua siswa misalnya rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) bisa ditempel di papan pengumuman di ruang guru atau di depan ruang tata usaha sehingga bagi siapa saja yang membutuhkan informasi itu dapat dengan mudah mendapatkannya. Orang tua siswa bisa mengetahui berapa jumlah uang yang diterima sekolah dari orang tua siswa dan digunakan untuk apa saja uang itu. Perolehan informasi ini menambah kepercayaan orang tua siswa terhadap sekolah.
2. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kondisi seseorang yang dinilai oleh orang lain karena kualitas performansinya dalam menyelesaikan tugas untuk mencapai tujuan yang menjadi tanggung jawabnya. Akuntabilitas di dalam manajemen keuangan berarti penggunaan uang sekolah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Berdasarkan perencanaan yang telah ditetapkan dan peraturan yang berlaku maka pihak sekolah membelanjakan uang secara bertanggung jawab. Pertanggungjawaban dapat dilakukan kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah. Ada tiga pilar utama yang menjadi prasyarat terbangunnya akuntabilitas, yaitu (1) adanya transparansi para penyelenggara sekolah dengan menerima masukan dan mengikutsertakan berbagai komponen dalam mengelola sekolah , (2) adanya standar kinerja di setiap institusi yang dapat diukur dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya, (3) adanya partisipasi untuk saling menciptakan suasana kondusif dalam menciptakan pelayanan masyarakat dengan prosedur yang mudah, biaya yang murah dan pelayanan yang cepat
3. Efektivitas
Efektif seringkali diartikan sebagai pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Garner(2004) mendefinisikan efektivitas lebih dalam lagi, karena sebenarnya efektivitas tidak berhenti sampai tujuan tercapai tetapi sampai pada kualitatif hasil yang dikaitkan dengan pencapaian visi lembaga. Effectiveness ”characterized by qualitative outcomes”. Efektivitas lebih menekankan pada kualitatif outcomes. Manajemen keuangan dikatakan memenuhi prinsip efektivitas kalau kegiatan yang dilakukan dapat mengatur keuangan untuk membiayai aktivitas dalam rangka mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan dan kualitatif outcomes-nya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
4. Efisiensi
Efisiensi berkaitan dengan kuantitas hasil suatu kegiatan. Efficiency ”characterized by quantitative outputs” (Garner,2004). Efisiensi adalah perbandingan yang terbaik antara masukan (input) dan keluaran (out put) atau antara daya dan hasil. Daya yang dimaksud meliputi tenaga, pikiran, waktu, biaya. Perbandingan tersebut dapat dilihat dari dua hal:
a. Dilihat dari segi penggunaan waktu, tenaga dan biaya:
Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau penggunaan waktu, tenaga dan biaya yang sekecil-kecilnya dapat mencapai hasil yang ditetapkan.
Ragam efisiensi dapat dijelaskan melalui hubungan antara penggunaan waktu, tenaga, biaya dan hasil yang diharapkan dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Hubungan penggunaan waktu, tenaga, biaya dan hasil yang diharapkan
Pada gambar di atas menunjukkan penggunaan daya C dan hasil D yang paling efisien, sedangkan penggunaan daya A dan hasil D menunjukkan paling tidak efisien.
b. Dilihat dari segi hasil
Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau dengan penggunaan waktu, tenaga dan biaya tertentu memberikan hasil sebanyak-banyaknya baik kuantitas maupun kualitasnya.
Ragam efisiensi tersebut dapat dilihat dari gambar berikut ini:
Hubungan penggunaan waktu, tenaga, biaya tertentu dan ragam hasil yang diperoleh
Pada gambar di atas menunjukkan penggunaan waktu, tenaga, biaya A dan hasil B paling tidak efisien. Sedangkan penggunaan waktu, tenaga, biaya A dan hasil D paling efisien.
Tingkat efisiensi dan efektivitas yang tinggi memungkinkan terselenggaranya pelayanan terhadap masyarakat secara memuaskan dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab.
=====================
Diambil dan adaptasi dari Materi Pembinaan Profesi Kepala Sekolah/Madrasah. Direktorat Tenaga Kependidikan. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Departemen Pendidikan Nasional. 2007)
KECENDERUNGAN SEKOLAH MENJADI SEKOLAH INDUSTRI
B A B I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Pada saat kewirausahaan pendidikan dikembangkan di Indonesia, pikiran banyak pihak langsung terarah pada kegiatan perekonomian sekolah. Wirausaha pendidikan menggerakan pemikiran bahwa sekolah harus pandai mendapat peluang ekonomi dalam bentuk keuntungan berupa uang atau keterampilan untuk memperoleh uang.
Dalam banyak kegiatan pembinaan kewirausahaan pendidikan, tumbuh pemikiran baru untuk mengembangkan daya sekolah dalam membangun berkoperasi, beternak, berdagang atau mengembangkan jasa pelayanan publik atau kegiatan produktif. Sementara itu, banyak yang melupakan bahwa kegiatan kewirausahaan juga dapat diperluas maknanya. Bagaimana sekolah menghasilkan prilaku yang memiliki karakter yang kreatif, inovatif, dan pantang menyerah sehingga berdampak pada pembentukan pribadi yang dinamis yang siap menyambut masa depan yang serba berubah.
Pemikiran itu mengandung konsekuensi untuk menempatkan kewirausahaan dalam konteks sosial secara luas. Menerapkan kewirausahaan pendidikan berarti mengubah paradigma pengelolaan pendidikan dari lembaga pelayanan layanan edukatif ke penyelenggaraan sekolah sebagai industri yang menghasilkan produk sumber daya manusia yang terdidik dan terlatih. Penyelenggaraan sekolah sebagai investasi proses untuk menghasilkan lulusan yang bermutu, salah satu indikator mutunya adalah lulusan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Hal itu dibuktikan dengan peroleh pendapatannya yang besar dari dunia kerja, khususnya dunia industri.
Topik pendidikan sebagai industri sudah menjadi pembahasan dalam konfrensi di Biro Universitas Nasional, Komite Riset Ekonomi di Inggris sejak beberapa tahun lalu . Pendidikan sebagai model investasi untuk menghasilkan produk berupa perilaku siswa dalam bentuk kompetensi yang mengkinkan siswa berwirausaha dalam hidupnya. Teori ekonomi mikro mengarahkan bahwa siswa sebagai calon investor akan mengumpulkan informasi mengenai biaya investasi, manfaat yang diharapkan (keuntungan berupa uang maupun keuntungan sosial), dan risiko yang muncul atas berhasil menyelesaikan program ini. Siswa akan berhasil menyelesaikan studinya jika memperoleh manfaat dari pendidikan yang diikutinya, siswa juga harus menanggung resiko di antaranya biaya serta memperoleh keuntungan lebih dari investasi yang ditanamkannya.
Pemerintah Indonesia dan Singapura melakukan pertemuan membahas kerjasama di bidang industri. Salah satu yang akan dilakukan adalah membangung sekolah industri bertaraf internasional. Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan, sekolah-sekolah industri yang dikelola Kementerian Perindustrian akan diinternasionalkan sehingga lulusannya akan siap bekerja di berbagai perusahaan internasional."Departemen perindustrian punya sekolah-sekolah industri. Kita ingin menginternasionalkan sekolah tersebut, mulai dari kurikulum dan bahasanya, supaya lulusan sekolah industri bisa bekerja di international corporation maupun negara lain. Mereka setuju dan akan dibahas lebih dalam," tutur Hidayat usai bertemu Menteri Perindustrian Singapura Lim Hng Kiang di kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa (4/1/2011).
Tumbuhnya budaya kerja di sekolah menengah kejuruan diperkuat melalui sinergi dan simulasi industri yang kuat melalui kerja sama sekolah-industri. Simulasi industri ini ditujukan agar para siswa SMK mendapatkan pengetahuan tentang budaya kerja, kondisi riil di industri, dan penguasaan teknologi.
”Keselarasan dunia pendidikan dan dunia industri harus terjaga. Dunia pendidikan harus mampu mengejar dinamika yang terjadi di dunia industri. Untuk itu, simulasi-simulasi industri di sekolah, utamanya SMK dan perguruan tinggi, mesti serius dijalankan,” kata Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal di Jakarta, Kamis (7/1). Fasli mengungkapkan, kelemahan yang ada saat ini karena belum adanya undang-undang yang ”memaksa” dunia usaha untuk membuka pintu kepada siswa-siswa SMK. Akibatnya, SMK yang dekat dengan kota dan industri menjadi maju karena akses yang dekat dan tanpa biaya yang terlalu besar. Kondisi itu, kata Fasli, yang menyebabkan ketimpangan yang besar di SMK. Sebagai contoh, di Jerman, ada undang-undang sebagai rujukan mengharuskan dunia industri untuk bersinergi dengan dunia pendidikan.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Nasional, hingga akhir 2007 terdapat 179 SMK rintisan dan yang sudah bertaraf internasional. Penguatan SMK meliputi bidang kelautan, kesenian, kerajinan, perhotelan, dan pertanian. Selain itu, terdapat pula 317 SMK rintisan atau sudah berbasis keunggulan lokal.
Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh menegaskan, fokus Kementerian Pendidikan Nasional adalah juga meningkatkan kualitas relevansi, baik pendidikan menengah terutama menengah kejuruan, maupun pendidikan tinggi kaitannya dengan dunia kerja. Selain itu, kewirausahaan juga didorong melalui dunia pendidikan. (Kompas)
Berangkat dari latar belakang yang telah dikemukakan di depan, maka undang-undang yang dikeluarkan pemerintah sangat erat kaitannya dengan relevansi perkembangan sekolah yang berbasis industri. Terkait dengan hal tersebut, maka penulis mengangkat judul penulisan sebagai berikut: “Kecenderungan sekolah menjadi sekolah industri “
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan didepan, maka masalah-masalah yang ada dalam dunia pendidikan tentang industri, secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Apakah sudah seharusnya dunia pendidikan dihubungkan dengan dunia industri?
b. Hubungan yang bagaimana antara pendidikan dengan industri?
c. Adakah kecenderungan sekolah menjadi sekolah industri?
d. Apakah pemerintah sudah membuat perindang-undangan tentang sekolah industri?
e.Apakah sekolah bertaraf internasional (SBI) yang ada sekarang sudah mengaplikasikan sekolah industri?
C.Tujuan Penulisan
Hasil penulisan ini diharapkan dapat menemukan komponen penting yang berhubungan dengan perundang-undangan, terutama tentang perindustrian yang dikaitkan dengan pendidikan. Secara khusus hasil penulisan ini diharapkan :
Memberikan gambaran tentang sekolah yang menerapkan keterampilan industri
Untuk mengetahui sampai sejauh mana penerapan sekolah industri
Menelaah perundang-undangan tentang sekolah industri
D.Metode penulisan
Dalam proses penulisan ini kami menggunakan pendekatan metode literature. Yaitu dengan melakukan proses pencarian dan pengumpulan dokumen sebagai sumber-sumber data dan informasi. Metode ini dipilih karena pada hakekatnya sesuai dengan kegiatan penyusunan dan penulisan yang hendak dilakukan.
E.Kegunaan Penulisan
Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pihak-pihak yang membutuhkan, terutama bagi stake holder dunia pendidikan. Secara khusus hasil penulisan ini diharapkan :
Sebagai alternatif pengukuran perkembangan yang lebih komprehensif tentang sekolah industri.
Menambah wawasan bagi stakeholder pendidikan mengenai pentingnya mengembangkan perindustrian di sekolah.
Penulisan ini diharapkan dapat memperkaya khasanah pepustakaan dan bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang mengadakan penelitian yang menyangkut sekolah industri
Menggugah pemerintah dalam memperbaiki perundang-undangan tentang sekolah industri
B A B II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Sekolah
Kata sekolah berasal dari bahasa latin: skhole, scola, scolae atau skhola yang memiliki arti waktu luang atau waktu senggang, dimana ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak ditengah-tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa anak-anak dan remaja. Kegiatan dalam waktu luang itu adalah mempelajari cara berhitung, cara membaca huruf dan mengenal tentang moral (budi pekerti) dan estetika (seni). Untuk mendampingi dalam kegiatan scola anak-anak didampingi oleh orang ahli dan mengerti tentang psikologi anak, sehingga memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada anak untuk menciptakan sendiri dunianya melalui berbagai pelajaran diatas.
Sekolah adalah sebuah lembaga yang dirancang untuk pengajaran siswa (atau "murid") di bawah pengawasan guru. Sebagian besar negara memiliki sistem pendidikan formal, yang umumnya wajib. Dalam sistem ini, siswa kemajuan melalui serangkaian sekolah. Nama-nama untuk sekolah-sekolah ini bervariasi menurut negara (dibahas pada bagian Daerah di bawah), tetapi umumnya termasuk sekolah dasar untuk anak-anak muda dan sekolah menengah untuk remaja yang telah menyelesaikan pendidikan dasar.
Selain sekolah-sekolah inti, siswa di negara tertentu juga mungkin memiliki akses dan mengikuti sekolah-sekolah baik sebelum dan sesudah pendidikan dasar dan menengah. TK atau pra-sekolah menyediakan sekolah beberapa anak-anak yang sangat muda (biasanya umur 3-5 tahun). Universitas, sekolah kejuruan, perguruan tinggi atau seminari mungkin tersedia setelah sekolah menengah. Sebuah sekolah mungkin juga didedikasikan untuk satu bidang tertentu, seperti sekolah ekonomi atau sekolah tari. Alternatif sekolah dapat menyediakan kurikulum dan metode non-tradisional.
Ada juga sekolah non-pemerintah, yang disebut sekolah swasta. Sekolah swasta mungkin untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus ketika pemerintah tidak bisa memberi sekolah khusus bagi mereka; keagamaan, seperti sekolah Islam, sekolah Kristen, budha dan lain-lain, atau sekolah yang memiliki standar pendidikan yang lebih tinggi atau berusaha untuk mengembangkan prestasi pribadi lainnya. Sekolah untuk orang dewasa meliputi lembaga-lembaga pelatihan perusahaan dan pendidikan dan pelatihan militer.
B.Pengertian industri
Istilah industri sering diidentikkan dengan semua kegiatan ekonomi manusia yang mengolah barang mentah atau bahan baku menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Dari definisi tersebut, istilah industri sering disebut sebagai kegiatan manufaktur (manufacturing). Padahal, pengertian industri sangatlah luas, yaitu menyangkut semua kegiatan manusia dalam bidang ekonomi yang sifatnya produktif dan komersial. Disebabkan kegiatan ekonomi yang luas maka jumlah dan macam industri berbeda-beda untuk tiap negara atau daerah. Pada umumnya, makin maju tingkat perkembangan perindustrian di suatu negara atau daerah, makin banyak jumlah dan macam industri, dan makin kompleks pula sifatkegiatan dan usaha tersebut. Cara penggolongan atau pengklasifikasian industripun berbeda-beda. Tetapi pada dasarnya, pengklasifikasian industri didasarkan pada kriteria yaitu berdasarkan bahan baku, tenaga kerja, pangsa pasar, modal,atau jenis teknologi yang digunakan. Selain faktor-faktor tersebut, perkembangandan pertumbuhan ekonomi suatu negara juga turut menentukan keanekaragaman industri negara tersebut, semakin besar dan kompleks kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi, maka semakin beranekaragam jenis barang industrinya.
Barang industri adalah barang yang digunakan untuk keperluan industri membuat produk baru . Barang-barang ini misalnya bahan baku, perlengkapan mesin, bahan pelumas dan juga hasil jadi. Konsumen barang industri ini ialah pabrik-pabrik yang akan mengolah atau menggunakannya untuk produksi. Misalnya bahan baku karet
Adapun klasifikasi industri berdasarkan kriteria masing-masing (Siahaan,1996), adalah sebagai berikut :
1.Klasifikasi industri berdasarkan tenaga kerja
Berdasarkan jumlah tenaga kerja yang digunakan, industri dapat dibedakan menjadi :
a.Industri rumah tangga, yaitu industri yang menggunakan tenaga kerja kurang dari empat orang. Ciri industri ini memiliki modal yang sangat terbatas, tenaga kerja berasal dari anggota keluarga,dan pemilik atau pengelola industri biasanya kepala rumah tanggaitu sendiri atau anggota keluarganya. Misalnya: industri anyaman,industri kerajinan, industri tempe/tahu, dan industri makanan ringan.
b.Industri kecil, yaitu industri yang tenaga kerjanya berjumlah sekitar 5 sampai 19 orang, Ciri industri kecil adalah memiliki modal yang relatif kecil, tenaga kerjanya berasal dari lingkungan sekitar atau masih ada hubungan saudara. Misalnya: industri genteng, industri batu-bata, dan industri pengolahan rotan.
c.Industri sedang, yaitu industri yang menggunakan tenaga kerjasekitar 20 sampai 99 orang. Ciri industri sedang adalah memiliki modal yang cukup besar, tenaga kerja memiliki keterampilan tertentu, dan pimpinan perusahaan memiliki kemapuan manajerial tertentu. Misalnya: industri konveksi, industri bordir, dan industri keramik.
d.Industri besar, yaitu industri dengan jumlah tenaga kerja lebih dari100 orang. Ciri industri besar adalah memiliki modal besar yangdihimpun secara kolektif dalam bentuk pemilikan saham, tenagakerja harus memiliki keterampilan khusus, dan pimpinanperusahaan dipilih melalui uji kemampuan dan kelayakan (fit and profer test). Misalnya: industri tekstil, industri mobil, industri besibaja, dan industri pesawat terbang.
2.Klasifikasi industri berdasarkan lokasi usaha
Keberadaan suatu industri sangat menentukan sasaran atau tujuankegiatan industri. Berdasarkan lokasi unit usahanya, industri dapat dibedakan menjadi :
a.Industri berorientasi pada pasar (market oriented industry), yaitu industri yang didirikan mendekati daerah persebaran konsumen.
b.Industri berorientasi pada tenaga kerja (employment oriented industry), yaitu industri yang didirikan mendekati daerah pemusatan penduduk, terutama daerah yang memiliki banyak angkatan kerja tetapi kurang pendidikannya.
c.Industri berorientasi pada pengolahan (supply oriented industry), yaitu industri yang didirikan dekat atau di tempat pengolahan. Misalnya: industri semen di Palimanan Cirebon (dekat dengan batu gamping), industri pupuk di Palembang (dekat dengan sumber pospat dan amoniak), dan industri BBM di Balongan Indramayu (dekat dengan kilang minyak).
d.Industri berorientasi pada bahan baku, yaitu industri yang didirikandi tempat tersedianya bahan baku. Misalnya: industri konveksi berdekatan dengan industri tekstil, industri pengalengan ikan berdekatan dengan pelabuhan laut, dan industri gula berdekatan lahan tebu.
e.Industri yang tidak terikat oleh persyaratan yang lain (footloose industry), yaitu industri yang didirikan tidak terikat oleh syarat-syarat di atas. Industri ini dapat didirikan di mana saja, karena bahan baku, tenaga kerja, dan pasarnya sangat luas serta dapat ditemukan di mana saja. Misalnya: industri elektronik, industri otomotif, dan industri transportasi.
.Klasifikasi industri berdasarkan proses produksi
Berdasarkan proses produksi, industri dapat dibedakan menjadi :
a.Industri hulu, yaitu industri yang hanya mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi. Industri ini sifatnya hanya menyediakan bahan baku untuk kegiatan industri yang lain. Misalnya: industri kayu lapis, industri alumunium, industri pemintalan, dan industri baja.
b.Industri hilir, yaitu industri yang mengolah barang setengah jadimenjadi barang jadi sehingga barang yang dihasilkan dapatlangsung dipakai atau dinikmati oleh konsumen. Misalnya: industri pesawat terbang, industri konveksi, industri otomotif, dan industri meubel.
4.Klasifikasi industri berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian
Selain pengklasifikasian industri tersebut di atas, ada juga pengklasifikasian industri berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 19/M/ I/1986 yang dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Adapun pengklasifikasiannya adalah sebagai berikut :
a.Industri Kimia Dasar (IKD)
Industri Kimia Dasar merupakan industri yang memerlukan modal yang besar, keahlian yang tinggi, dan menerapkan teknologi maju. Adapun industri yang termasuk kelompok IKD adalah sebagai berikut :
1)Industri kimia organik, misalnya : industri bahan peledak dan industri bahan kimia tekstil.
2)Industri kimia anorganik, misalnya : industri semen, industri asam sulfat, dan industri kaca.
3)Industri agrokimia, misalnya : industri pupuk kimia dan industri pestisida.
4)Industri selulosa dan karet, misalnya : industri kertas, industri pulp, dan industri ban.
b.Industri Mesin Logam Dasar dan Elektronika (IMELDE)
Industri ini merupakan industri yang mengolah bahan mentah logam menjadi mesin-mesin berat atau rekayasa mesin dan perakitan. Adapun yang termasuk industri ini adalah sebagai berikut :
1)Industri mesin dan perakitan alat-alat pertanian, misalnya : mesin traktor, mesin hueler, dan mesin pompa.
2)Industri alat-alat berat/konstruksi, misalnya : mesin pemecah batu, buldozer, excavator, dan motor grader.
3)Industri mesin perkakas, misalnya : mesin bubut, mesin bor, mesin gergaji, dan mesin pres.
4)Industri elektronika, misalnya : radio, televisi, dan komputer.
5)Industri mesin listrik, misalnya : transformator tenaga dangenerator.
6)Industri kereta api, misalnya : lokomotif dan gerbong.
7)Industri kendaraan bermotor (otomotif), misalnya : mobil, motor, dan suku cadang kendaraan bermotor.
8)Industri pesawat, misalnya : pesawat terbang dan helikopter.
9)Industri logam dan produk dasar, misalnya : industri besi baja, industri alumunium, dan industri tembaga.
10)Industri perkapalan, misalnya : pembuatan kapal dan reparasi kapal.
11)Industri mesin dan peralatan pabrik, misalnya : mesin produksi, peralatan pabrik, dan peralatan kontruksi.
c.Aneka Industri (AI)
Industri ini merupakan industri yang tujuannya menghasilkan bermacam-macam barang kebutuhan hidup sehari-hari. Adapun yang termasuk industri ini adalah sebagai berikut :
1)Industri tekstil, misalnya : benang, kain, dan pakaian jadi.
2)Industri alat listrik dan logam, misalnya : kipas angin, lemari es, dan mesin jahit, televisi, dan radio.
3)Industri kimia, misalnya : sabun, pasta gigi, sampho, tinta, plastik, obat obatan, dan pipa.
4)Industri pangan, misalnya : minyak goreng, terigu, gula, teh, kopi, garam dan makanan kemasan.
5)Industri bahan bangunan dan umum, misalnya : kayu gergajian, kayu lapis, dan marmer.
d.Industri Kecil (IK)
Industri ini merupakan industri yang bergerak dengan jumlah pekerja sedikit, dan teknologi sederhana. Biasanya dinamakan industri rumah tangga, misalnya : industri kerajinan, industri alat-alat rumah tangga, dan perabotan dari tanah (gerabah).
e.Industri Pariwisata
Industri ini merupakan industri yang menghasilkan nilai ekonomis dari kegiatan wisata. Bentuknya bisa berupa wisata senidan budaya (misalnya : pertunjukan seni dan budaya), wisata pendidikan (misalnya : peninggalan, arsitektur, alat-alat observasi alam, dan museum geologi), wisata alam (misalnya : pemandangan alam di pantai, pegunungan, perkebunan, dan kehutanan), dan wisata kota (misalnya : melihat pusat pemerintahan, pusat perbelanjaan, wilayah pertokoan, restoran, hotel, dan tempat hiburan).
C.Undang-undang yang relevan tentang penyelenggaraan sekolah industri
Sejak implementasi AFTA, awal tahun 2003 lalu, bangsa-bangsa di Asia Tenggara mulai menapaki era globalisasi, dan setiap lembaga maupun individu harus bersaing secara terbuka dengan lembaga dan individu dari negara lainnya. Agar dapat tetap bertahan, diperlukan kemampuan berbuat sesuai standar mutu yang dapat menghasilkan produk dan jasa yang lebih unggul daripada produk dan jasa yang dihasilkan oleh negara lain.
Tidak kalah pentingnya, SDM Indonesia juga mesti ditingkatkan kualitasnya agar dapat ikut bersaing di dunia global. Untuk itu SDM Indonesia harus memiliki kualifikasi internasional, agar dapat menghasilkan produk dan jasa yang setara bahkan lebih unggul daripada yang dihasilkan oleh SDM bangsa lain. Kenyataan bahwa SDM kita, hingga saat ini, umumnya dikembangkan di lembaga pendidikan, maka lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia juga harus memiliki standar internasional. Oleh karena itu, keberadaan sekolah bertaraf internasional, seharusnya tidak lagi merupakan barang mewah atau glamor, melainkan telah menjadi kebutuhan mendasar bagi anak didik kita apabila kita tidak ingin terdelet atau tereliminasi dari persaingan global.
Internasionalisasi Pendidikan Berbagai pendapat berkembang dalam masyarakat terkait istilah "Internasional dan Internasionalisasi" dalam bidang pendidikan. Yang jelas, meskipun terdapat perbedaan persepsi di antara kita, ternyata jumlah sekolah seperti ini terus saja meningkat terutama pada tingkat pemerintahan daerah. Setidaknya ada 5 pengertian yang berbeda tentang sekolah internasional:Sekolah Internasional merupakan salah satu institusi pendidikan yang khusus diperuntukkan bagi anak-anak warga asing (diplomat dan ekpatriat), mempunyai kurikulum khusus, dan diajar oleh guru-guru yang juga berasal dari berbagai negara. Sehingga memberikan suasana internasional yang sangat kental, misalnya MIS (Medan International School) di Medan.
Sekolah Internasional yang berikutnya adalah institusi pendidikan yang ditujukan untuk anak-anak berbagai bangsa, khususnya Asia, mempunyai kurikulum tersendiri, guru-gurunya berasal dari Asia, dan mempunyai kesamaan sistem dengan Indonesia, sehingga suasana kultur yang sama dengan sekolah lokal. Selanjutnya, Sekolah (baca: kelas) Internasional yang menerapkan 2 jenis kurikulum yang berbeda, nasional dan internasional. Pada sekolah ini, beberapa mata pelajaran sain (Matematika, Fisika, Biologi, Kimia) diajarkan oleh guru-guru bangsa asing dengan sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris, sedangkan mata-mata pelajaran sosial (Sejarah, Geografi, Ekonomi, Bahasa, Civic, misalnya) masih diberikan dalam bahasa Indonesia dan oleh guru-guru lokal. Bahkan beberapa waktu lalu, kita juga mengenal Sekolah (baca: kelas) Bilingual. Pada kelas-kelas ini bidang sain diajar oleh guru-guru lokal yang mengampu mata pelajaran tersebut, dan didampingi oleh guru bahasa Inggris.
Pengajaran diupayakan dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar walaupun kadang-kadang masih menggunakan bahasa Indonesia untuk menjelaskan hal-hal yang prinsip dan sulit, oleh karena itu kegiatan belajar menggunakan dwibahasa. Untuk bidang studi sosial, proses pembelajaran sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia. Dan pada tahun-tahun terakhir ini, istilah Sekolah (baca: kelas) Internasional mengacu pada kebijakan baru dalam pendidikan nasional yang tertuang dalam U.U. no 20 Tahun 2003 tentang perintisan Sekolah Berstandar Internasional (SBI) yang kadang kala juga disebut SNBI (Sekolah Nasional Berstandar Internasional).
Dari beberapa penjelasan tersebut, kiranya dapatlah dipahami kalau ternyata masyarakat masih sering mempersepsikan internasionalisasi sangat berbeda, apalagi bila orangtua siswa menganggap sekolah seperti ini sebagai lambang "status atau gengsi" dalam dunia pendidikan. Dan tidak jarang masyarakat juga berharap anak-anak mereka mendapatkan perlakuan istimewa dari pihak sekolah sebagai kompensasi terhadap kontribusi yang telah mereka berikan pada komite sekolah.
Kebijakan terkait dengan penyelenggaraan SBI: Pada UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN 20/2003) Pasal 50, ayat 3 dinyatakan bahwa "Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional". Dan secara implisit amanat tersebut telah dimuat dalam Cetak Biru Pendidikan Nasional 2006-2025, dan secara eksplisit telah dimuat dalam rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005-2009.
untuk memenuhi amanat UUSPN 20/2003, SBI mulai dirintis tahun 2006. Perintisan SBI merupakan keniscayaan karena, selain untuk memenuhi UUSPN 20/2003, era globalisasi juga menuntut kemampuan daya saing yang kuat dalam sumberdaya manusia, teknologi, dan manajemen.
Ada tiga alasan yang menjadi latar belakang rintisan penyelenggaraan SBI:
(1) Era globalisasi menuntut kemampuan daya saing yang kuat dalam teknologi, manajemen dan sumberdaya manusia. Keunggulan teknologi akan menurunkan biaya produksi, dan meningkatkan kandungan nilai tambah, memperluas keragaman produk dan meningkatkan mutu produk; keunggulan manajemen akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi; sedangkan keunggulan SDM dianggap sebagai kunci daya saing yang mampu menjaga kelangsungan hidup, perkembangan dan kemenangan dalam persaingan.
(2)Rintisan penyelenggaraan SBI memiliki dasar hukum yang kuat yang dimuat dalam pasal 50 ayat 3 UU no 20 thn 2003 serta pada pasal 50 ayat 7 UUSPN 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional dan ketentuan untuk membuka SBI. Bahwa
(3)Penyelenggaraan SBI didasari oleh filosofi eksistensialisme yang berkeyakinan bahwa pendidikan harus mampu menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitasi yang dilaksanakan melaui proses pendidikan yang bermartabat, pro perubahan, kreatif inovatif, eksperimentatif, menumbuhkan bakat, minat, kemampuan, dan kecakapan peserta didik; menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan tingkat kecerdasan; dan memberi perlakuan yang maksimal untuk mengaktualisasikan potensi intelektual, emosional dan spiritual peserta didik.
Filosofi esensialisme (fungsionalisme) menekankan bahwa pendidikan harus berfungsi dan relevan dengan kebutuhan individu, keluarga, sektor-sektor terkait, baik tingkat lokal, nasional maupun internasional.
Visi, Misi dan Tujuan SBI
SBI mempunyai visi untuk mewujudkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional. Bahwa penyiapan manusia bertaraf internasional memerlukan upaya-upaya yang intensif, terarah, terencana, dan sistematik agar dapat mewujudkan banga yang maju, sejahtera, damai, dihormati dan diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain. Misi SBI mewujudkan manusia Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional, mampu bersaing dan berkolaborasi secara global.
Tujuan SBI menghasilkan lulusan yang berkelas nasional dan internasional seperti yang dirumuskan dalam UU.no 20/2003 dan dijabarkan dalam PP 19/2005, dirinci dalam Permendiknas no 23/2006 tentang standar kompetensi lulusan (SKL) bahwa baik untuk tingkat SD maupun tingkat SMP dan SMU/kejuruan bertujuan meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta ketrampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
SBI harus memegang teguh dan mengembangkan jati diri dan nilai-nilai bangsa Indonesia, disamping mengembangkan daya progresif global yang diupayakan secara elektif inkorporatif melalui pengenalan, penghayatan dan penerapan nilai-nilai yang diperlukan dalam era kesejagatan, dalam bidang religi, Iptek, ekonomi, seni, solidaritas, kuasa, dan etika global. Untuk memperlancar komunikasi global, SBI menggunakan bahasa komunikasi global, terutama bahasa Inggris dn menggunakan teknologi komunikasi informasi (ICT).
Kita hidup dalam dunia internasional. Internasionalisasi, dalam kaitannya dengan bisnis dan manajemen, merupakan sesuatu keharusan yang mesti dipertimbangkan pada semua tahapan daripada siklus kehidupan suatu produk (a product’s life cycle); misalnya mulai dari perencanaan awal sampai pada pelaksanaan serta pengembangannya agar benar-benar efektif. Selanjutnya dapat dimanfaatkan bagi kepentingan lokal tanpa harus melakukan banyak perombakan dalam mekanisme kerjanya. Ini berarti bahwa semestinya kita tidak perlu merasa khawatir akan akibat internasionalisasi pendidikan.
D.Pembinaan Pola Kerjasama yang terpadu antara pendidikan dengan dunia industri
Kemenangan daripada dunia industri jika dibandingkan dengan dunia pendidikan kejuruan ialah bahwa dunia industri telah lebih dulu mengetahui arah pembangunan masyarakat di masa kini dan masa mendatang. Di lain pihak dunia pendidikan kejuruan cenderung hanya mampu menunggu dan mempelajari hal-hal yang sudah terwujud pada dunia industri dan ekonomi. Akibatnya, sekolah-sekolah kejuruan berusaha memacu diri untuk mengikuti apa yang terjadi datam dunia industri, namun sayang, sekolah-sekolah kejuruan sering menjadi kurang mampu untuk mengajar ketinggalannya dari dunia industri itu.
Kenyataannya di atas kiranya cukup memberikan cambuk bagi para pemikir pendidikan untuk mencari upaya pembaman di bidang pendidikan kejuruan kita. Dunia industri telah lebih dulu mengenal kebutuhan masyarakat akan barang-barang industri, mengetahui peralatan dan sumber daya produksi yang diperlukan, lebih mengetahui lebih dulu tentang cara-cara merawat/ memelihara peralatan teknologi mutakhir yang telah dimiliki.
Para pekerja dan. teknisi di dunia industri lebih memahami peralatan dan teknologi yang ditangani daripada para siswa atau tamatan sekolah-sekolah kejuruan. Bagaimanakah kenyataan yang ada pada sekolah-sekolah kejuruan kita pada dewasa ini? Sekolah-sekolah kejuruan kita masih mengalami keterbatasan-keterbatasan dalam hal kuantitas guru .dan pelatih, kualitas guru dan pelatih, sertaadalahfasilitas dan peralatan praktek. Oleh karena itu dunia pendidikan kejuruan hendaknya mulai didekatkan dengan dunia industri dan dunia kerja di lapangan.
Upaya yang kiranya cukup positif telah dimulai dalam dunia pendidikan tenaga kependidikan yang telah mendapatkan motivasi dan bimbingan dari pihak PPPG (Proyek Pengembangan Pendidikan Guru). Lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK.) telah dikembangkan sedemikian rupa, sehingga jarak antara pihak konsumen pendidikan guru, produsen guru dan pengelola pendidikan guru menjadi tebih dekat dengan pola kerjasama yang cukup jelas dan terpadu, meskipun di sana sini masih memerlukan penanganan yang serius.
Apa yang telah dirintis dalam dunia penddikan tenaga kependidikan itu kiranya menjadi bahan pemikiran kita kearah usaha inovasi pendidikan kejuruan kita. Agar sekolah-sekolah kejuruan kita dapat mengembangkan pengajaran yang mempersiapkan manusia-manusia wiraswasta, di samping perlu diadakan pengembangan kurikulum dan pengajarannya sendiri, juga diperlukan adanya pola kerjasama yang efektif antara sekolah, keluarga, masyarakat pemakai tenagakerja, dunia industri dan dunia ekonomi pada umumnya.
Untuk merealisir kerjasama semacam itu diperlukan penanganan secara terpadu dari pihak-pihak Kementrian Pendidikan Nasional, Kementrian Perindustrian, Kementrian Tenaga Kerja, Lembaga- lembaga pendidikan tinggi kejuruan atau pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan pembinaan dunia pendidikan dan ekonomi industri. Memang, untuk menuju pada realisasi gagasan semacam ini tidak semudah seperti yang kita bayangkan, namun hal ini tidak pula berarti, bahwa pola kerjasama semacam ini tidak mungkin dapat diwujudkan. Setidak-tidaknya kita perlu mengambil langkah-langkah yang bijaksana dengan menggunakan pentahapan-pentahapan pelaksanaan dalam rangka pengembangan dunia pendidikan kejuruan kita, sekaligus mempersiapkan manusia-manusia wiraswasta melalui jalur empuk pendidikan kejuruan.
Menurut Soemanto, ada beberapa tahap pengembangan pendidikan kejuruan yang kiranya dapat kita pertimbangkan , misalnya :
a)Diadakan penelitian-penelitian terhadap kemungkinan realisasi pengembangan di dalam ketiga dunia yang saling bergantungan, yaitu di kalangan dunia pendidikan kejuman sendiri. Ini dapat merupakan penelitian-penelitian untuk memperoleh informasi tentang kondisi dan kompetensi sekolah-sekolah kejuruan dalam rangka inovasi pendidikan kejuruan. Di kalangan usaha industri yang bertebaran di masyarakat untuk menjajagi kemungkinan pemanfaatan lapangan-lapangan industri dan lapangan-lapangan usaha ekonomi mana yang akan mampu bekerjasama dalam usaha pengembangan pendidikan di satu pihak, di lain pihak juga dicarikan jalan pemikiran bagi dunia industri dan usaha agar mereka memperoleh manfaat dari kerjasama semacam itu. Penelitian juga diadakan di lingkungan masyarakat, untuk mengetahui sumber-sumber pengembangan ekonomi pada umumnya dan bagi pengembangan dunia industri khu susnya. Dengan demikian, kita tidak semata-mata hanya tergantung kepada dunia usaha dan dunia industri yang sudah ada dan berkembang di masyarakat, melainkan juga berusaha untuk menimbulkan lapangan-lapangan usaha lainnya yang baru. Hal ini akan memberikan keuntungan ganda. Di satu pihak, potensi lingkungan menjadi tergali untuk kemakmuran rakyat banyak, di lain pihak lapangan-lapangan usaha dan industri baru ini meskipun kecil-kecilan sifatnya, namun dapat dimanfaatkan secara langsung untuk pengembangan kurikulum dan pengajaran sekolah-sekolah kejuruan kita. Dengan penelitian yang ditujukan pada masyarakat, kita akan dapat mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat akan barang-barang dan jasa, yang mana hal ini memberikan bahan pemikiran dalam usaha menggati kekayaan lingkungan yang sedapat mungkin memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat konsumen.
b)Dibentuknya suatu lembaga koordinatorat pembinaan dan pengembangan pendidikan kejuruan. Lembaga ini perlu melibatkan. institusi-institusi yang bergerak dalam dunia pendidikan, dunia usalia dan industri, yaitu dari pihak-pihak Kementrian Pendidikan Nasional, Kementrian Perindustrian, Kementrian Tenaga Kerja dan Kementrian lain yang berhubungan dengan itu. Ini memang suatu tantangan yang cukup menyakiti pemikiran kita, namun pola kerja sama bagi usana mengembangkan dunia pendidikan kejuruan kita. Lembaga koordinatorat ini dapat terbentuk di tingkat pusat dan di samping itu perlu pula terbentuk pada tiap-tiap daerah setidak-tidaknya pada tingkat propinsi. Langkah ini diambil dalam rangka:
1)mengusahakan keterpaduan cara berpikir dan bertindak untuk mengembangkan dunia pendidikan kejuruan kita,
2)mengusahakan relevansi antara pengajaran di sekolah-sekolah kejuruan dengan potensi lingkungan setempat dan kebutuhan masyarakat setempat akan hasil-hasil usaha dan industri, dan
3)memperlancar administrasi dan pengelolaan usaha pengembangan pendidikan kejuruan, agar tidak lagi ditempuh prosedur yang bertele-tele sehingga menghambat setiap langkah pengembangan pendidikan kejuruan kita.
c)Diadakannya proyek-proyek eksperimentasi atau perintis ke arah perwujudan kerjasama pengembangan pendidikan an secara terpadu. Dalam hal ini kita perlu memilih beberapa lembaga pendidikan kejuruan untuk masing-masing jenis sekolah kejuruan dan pada tiap-tiap propinsi.Dalam pelaksanaan eksperimentasi atau perintisan ini dapat diwujudkan gagasan-gagasan dan metoda-metoda baru, pembinaan kurikulum, pengadaan tenagaahli, penyiapan guru-guru dan para pelatih kejuruan, pembenahan proses belajar-mengajar, serta pengembangan sarana dan fasilitas belajar-mengajar bagi para siswa sekolah kejuruan, baik di sekolah maupun dalam dunia usaha dan industri di lapangan.
d)Penyediaan dan pengembangan pelayanan dan fasilitas stud i bagi para siswa sekolah kejuruan pada lapangan usaha dan industri di dalam masyarakat dan pemerintah. Hal ini untuk memberi kesempatan bagi sekolah kejuruan untuk tidak hanya mengandalkan kemampuan material dan personal di sekolah saja yang sering malah ketinggalan dengan perkembangan dunia usaha dan industri di lapangan. Sekolah-sekolah hendaknya memperoleh kesempatan untuk dunia luar sekolah untuk membekali para siswa dengan pengalaman, sikap mental dan keterampilan berwiraswasta.
e)Deseminasi pengembangan pendidikan kejuruan pada beberapa sekolah kejuruan di masing-masing daerah kabupaten dan kota administrasi. Deseminasi ini dimaksudkan pula sebagai uji-coba terhadap setiap hasil eksperimentasi pada proyek-proyek perintis di tiap-tiap provinsi.
f)Deseminasi pengembangan pendidikan kejuruan pada sekolah-sekolah kejuruan di seluruh tanah air. Deseminasi pada masing-masing sekolah tidak selamanya harus mengikuti pola yang sudah dilaksanakan pada daerah propinsi di mana sekolah terselenggara, melainkan dapat pula mendeseminasikan hasil-hasil yang telah dicapai oleh proyek perintis di daerah lain. Pertimbangan ini dapat diambil berdasarkan: (1). bidang kejuruan yang relevan, (2). sumber-sumber yang ada di alam sekitar sekolah atau di masyarakat setempat di mana sekolah yang bersangkutan terselenggara, (3). ciri-ciri lingkungan setempat, (4). Kompetensi sekolah yang bersangkutan untuk menerapkan dan menyerap ide-ide deseminasi dari berbagai daerah/obyek perintis yang paling relevan bagi sekolah yang bersangkutan.
g) Pemerintah mendirikan pusat-pusat pengembangan pendidikan dan pengembangan usaha dan industri. Pusat-pusat ini dimaksudkan untuk mempersiapkan manusia-manusia berprestasi dan berkompetensi untuk menumbuhkan lapangan-lapangan kerja baru sesuai dengan tuntutan zaman. Pusat-pusat semacam itu khusus mendidik dan melayani manusia-manusia berbakat yang dipilih dari masing-masing sekolah kejuruan yang ada di seluruh Indonesia. Pusat-pusat pengembangan pendidikan kejuruan ini tidak harus didirikan mulai dari nol atau serba baru. Pusat-pusat semacam mi dapat pula dikembangkan dengan menggunakan perangkat-perangkat pembangunan yang sudah ada dan tersedia di kalangan masyarakat dan pemerintah, misalnya: reaktor atom di Bandung, industri persenjataan (Pindad), industri pesawat terbang, industri kendaraan bermotor, industri kerajinan tangan, BUUD, KUD, Pertamina, dan sebagainya. Bahkan kalau.memungkinkan, pemerintah dapat memanfaatkan perusahaan-perusahaan swasta dan asing yang berdomisili di Indonesia untuk maksud-maksud tersebut. Dengan cara demikian, maka setiap inovasi penting yang terjadi di dalam dunia usaha dan industri akan berpengaruh besar dan dapat dimanfaatkan secara langsung oleh dunia pendidikan kita. Di lain pihak, setiap gagasan inovatif yang muncul dalam dunia pendidikan akan dapat didayagunakan secara langsung dan menguntungkan bagi dunia usaha dan dunia industri.
h) Pengembangan pendidikan pada tiap-tiap sekolah kejuruan dan penyeleksian siswa-siswa berbakat untuk dikembangkan di pusat-pusat pengembangan pendidikan kejuruan yang telah dirintis oleh pemerintah. Dengan cara ini maka kesempatan terbuka lebar-lebar bagi manusia-manusia Indonesia yang berbakat untuk menjadi lebih berkembang bukan hanya siap pakai, melainkan lebih dari itu menjadi siap berkreasi untuk pembangunan diri dan masyarakatnya. Bagi anak didik pola kerja pengembangan semacam ini membina sikap mental serta melatih keterampilan anak untuk berwiraswasta. Bagi dunia usaha dan industri, pola pengembangan pendidikan semacam ini akan mendatangkan keuntungan, karena sumber daya manusia yang potensial dapat digali dan dimanfaatkan secara langsung.
B A B III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Dari berbagai kajian tentang kecenderungan sekolah menjadi sekolah industri dapat disimpulkan sejumlah masalah berikut.
1.saat belum banyak sekolah yang merubahnya menjadi sekolah industri, kalaupun ada baru mulai proses pengembangan keterampilan industri.
2.Pemerintah belum sangat serius dalam pengembangan sekolah industri, tetapi baru pada sekolah bertaraf internasional atau sekolah unggulan.
3.Perlu adanya pola kerjasama antara pendidikan dengan dunia industri yang nantinya melahirkan sekolah industri
B.SARAN
Semua apa yang kami tulis di atas hanyalah merupakan gagasan-gagasan alternatif bagi usaha mempersiapkan manusia-manusia wiraswasta melalui jalur pendidikan formal. Setidak-tidaknya gagasan ini merangsang kita semua dan teristimewa para pemikir pendidikan untuk lebih menyadari tuntutan-tuntutan zaman serta berusaha untuk menjawab permasalahan yang.menghantui kehidupan bangsa dan negara kita. Kita perlu mempunyai gagasan-gagasan baru untuk berusaha mengimbangi lajunya perubahan-perubahan dunia, atau setidaknya mampu berusaha mengejar ketinggalan-ketinggalan kita dari perkembangan dunia luar. Dengan gagasan-gagasan serta langkah-langkah yang dinamis dan kreatif, diharapkan kita akan mampu megangkat martabat dan kehidupan bangsa dan negara Indonesia
C.REKOMENDASI
1.Pemerintah membuat perundang-undangan tentang sekolah industri secara jelas dan terperinci.
2.Adanya pola kerjasama yang baik antara Kementrian Pendidikan Nasional, Kementrian Perindustrian, Kementrian Tenaga Kerja untuk dapat mensinergikan dunia pendidikan dengan dunia industri.
3.Semua stakeholder pendidikan agar melakukan perubahan menuju masa depan yang berindustri maju.
SUMBER REFERENSI
Buchari Alma. Kewirausahaan. Alfabeta. Bandung. 2010
Djaali. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Hasibuan, Melayu S.P. Manajemen Dasar, Pengertian dan Masalah. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008.
Nawawi, Hadari, Evaluasi dan Manajemen Kinerja di Lingkungan Perusahaan dan Industri. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006.
Robbins, Stephen P. Essential of Organizational Behavior. Jakarta: Salemba Empat, 2008.
Siagian, Sondang P. Filsafat Administrasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008.
Simamora, Henry Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarya: STIE YKPN, 2004.
Soemanto, Wasty. Pendidikan Wiraswasta. Bumi Aksara. Jakarta, 2008.
Stoner, James A.F and R. Edward Freeman, Manajemen terjemahan Alexander Sindoro. Jakarta: PT. Prenhallindo, 1996.
Suherman, Eman. Desain Pembelajaran Kewirausahaan. Alfabeta. Bandung.2008
Zainun,Buchari Manajemen dan Motivasi. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 1984.
http://stembasurabaya.wordpress.com/2010/01/08/kerja-sama-sekolah-industri-diperkuat/
http://gurupembaharu.com/home/?p=9734
http://en.wikipedia.org/wiki/Joseph_Schumpeter
http://www.kemenperin.go.id/ind/publikasi/berita_psb/2011/20114094.html
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Pada saat kewirausahaan pendidikan dikembangkan di Indonesia, pikiran banyak pihak langsung terarah pada kegiatan perekonomian sekolah. Wirausaha pendidikan menggerakan pemikiran bahwa sekolah harus pandai mendapat peluang ekonomi dalam bentuk keuntungan berupa uang atau keterampilan untuk memperoleh uang.
Dalam banyak kegiatan pembinaan kewirausahaan pendidikan, tumbuh pemikiran baru untuk mengembangkan daya sekolah dalam membangun berkoperasi, beternak, berdagang atau mengembangkan jasa pelayanan publik atau kegiatan produktif. Sementara itu, banyak yang melupakan bahwa kegiatan kewirausahaan juga dapat diperluas maknanya. Bagaimana sekolah menghasilkan prilaku yang memiliki karakter yang kreatif, inovatif, dan pantang menyerah sehingga berdampak pada pembentukan pribadi yang dinamis yang siap menyambut masa depan yang serba berubah.
Pemikiran itu mengandung konsekuensi untuk menempatkan kewirausahaan dalam konteks sosial secara luas. Menerapkan kewirausahaan pendidikan berarti mengubah paradigma pengelolaan pendidikan dari lembaga pelayanan layanan edukatif ke penyelenggaraan sekolah sebagai industri yang menghasilkan produk sumber daya manusia yang terdidik dan terlatih. Penyelenggaraan sekolah sebagai investasi proses untuk menghasilkan lulusan yang bermutu, salah satu indikator mutunya adalah lulusan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Hal itu dibuktikan dengan peroleh pendapatannya yang besar dari dunia kerja, khususnya dunia industri.
Topik pendidikan sebagai industri sudah menjadi pembahasan dalam konfrensi di Biro Universitas Nasional, Komite Riset Ekonomi di Inggris sejak beberapa tahun lalu . Pendidikan sebagai model investasi untuk menghasilkan produk berupa perilaku siswa dalam bentuk kompetensi yang mengkinkan siswa berwirausaha dalam hidupnya. Teori ekonomi mikro mengarahkan bahwa siswa sebagai calon investor akan mengumpulkan informasi mengenai biaya investasi, manfaat yang diharapkan (keuntungan berupa uang maupun keuntungan sosial), dan risiko yang muncul atas berhasil menyelesaikan program ini. Siswa akan berhasil menyelesaikan studinya jika memperoleh manfaat dari pendidikan yang diikutinya, siswa juga harus menanggung resiko di antaranya biaya serta memperoleh keuntungan lebih dari investasi yang ditanamkannya.
Pemerintah Indonesia dan Singapura melakukan pertemuan membahas kerjasama di bidang industri. Salah satu yang akan dilakukan adalah membangung sekolah industri bertaraf internasional. Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan, sekolah-sekolah industri yang dikelola Kementerian Perindustrian akan diinternasionalkan sehingga lulusannya akan siap bekerja di berbagai perusahaan internasional."Departemen perindustrian punya sekolah-sekolah industri. Kita ingin menginternasionalkan sekolah tersebut, mulai dari kurikulum dan bahasanya, supaya lulusan sekolah industri bisa bekerja di international corporation maupun negara lain. Mereka setuju dan akan dibahas lebih dalam," tutur Hidayat usai bertemu Menteri Perindustrian Singapura Lim Hng Kiang di kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa (4/1/2011).
Tumbuhnya budaya kerja di sekolah menengah kejuruan diperkuat melalui sinergi dan simulasi industri yang kuat melalui kerja sama sekolah-industri. Simulasi industri ini ditujukan agar para siswa SMK mendapatkan pengetahuan tentang budaya kerja, kondisi riil di industri, dan penguasaan teknologi.
”Keselarasan dunia pendidikan dan dunia industri harus terjaga. Dunia pendidikan harus mampu mengejar dinamika yang terjadi di dunia industri. Untuk itu, simulasi-simulasi industri di sekolah, utamanya SMK dan perguruan tinggi, mesti serius dijalankan,” kata Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal di Jakarta, Kamis (7/1). Fasli mengungkapkan, kelemahan yang ada saat ini karena belum adanya undang-undang yang ”memaksa” dunia usaha untuk membuka pintu kepada siswa-siswa SMK. Akibatnya, SMK yang dekat dengan kota dan industri menjadi maju karena akses yang dekat dan tanpa biaya yang terlalu besar. Kondisi itu, kata Fasli, yang menyebabkan ketimpangan yang besar di SMK. Sebagai contoh, di Jerman, ada undang-undang sebagai rujukan mengharuskan dunia industri untuk bersinergi dengan dunia pendidikan.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Nasional, hingga akhir 2007 terdapat 179 SMK rintisan dan yang sudah bertaraf internasional. Penguatan SMK meliputi bidang kelautan, kesenian, kerajinan, perhotelan, dan pertanian. Selain itu, terdapat pula 317 SMK rintisan atau sudah berbasis keunggulan lokal.
Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh menegaskan, fokus Kementerian Pendidikan Nasional adalah juga meningkatkan kualitas relevansi, baik pendidikan menengah terutama menengah kejuruan, maupun pendidikan tinggi kaitannya dengan dunia kerja. Selain itu, kewirausahaan juga didorong melalui dunia pendidikan. (Kompas)
Berangkat dari latar belakang yang telah dikemukakan di depan, maka undang-undang yang dikeluarkan pemerintah sangat erat kaitannya dengan relevansi perkembangan sekolah yang berbasis industri. Terkait dengan hal tersebut, maka penulis mengangkat judul penulisan sebagai berikut: “Kecenderungan sekolah menjadi sekolah industri “
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan didepan, maka masalah-masalah yang ada dalam dunia pendidikan tentang industri, secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Apakah sudah seharusnya dunia pendidikan dihubungkan dengan dunia industri?
b. Hubungan yang bagaimana antara pendidikan dengan industri?
c. Adakah kecenderungan sekolah menjadi sekolah industri?
d. Apakah pemerintah sudah membuat perindang-undangan tentang sekolah industri?
e.Apakah sekolah bertaraf internasional (SBI) yang ada sekarang sudah mengaplikasikan sekolah industri?
C.Tujuan Penulisan
Hasil penulisan ini diharapkan dapat menemukan komponen penting yang berhubungan dengan perundang-undangan, terutama tentang perindustrian yang dikaitkan dengan pendidikan. Secara khusus hasil penulisan ini diharapkan :
Memberikan gambaran tentang sekolah yang menerapkan keterampilan industri
Untuk mengetahui sampai sejauh mana penerapan sekolah industri
Menelaah perundang-undangan tentang sekolah industri
D.Metode penulisan
Dalam proses penulisan ini kami menggunakan pendekatan metode literature. Yaitu dengan melakukan proses pencarian dan pengumpulan dokumen sebagai sumber-sumber data dan informasi. Metode ini dipilih karena pada hakekatnya sesuai dengan kegiatan penyusunan dan penulisan yang hendak dilakukan.
E.Kegunaan Penulisan
Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pihak-pihak yang membutuhkan, terutama bagi stake holder dunia pendidikan. Secara khusus hasil penulisan ini diharapkan :
Sebagai alternatif pengukuran perkembangan yang lebih komprehensif tentang sekolah industri.
Menambah wawasan bagi stakeholder pendidikan mengenai pentingnya mengembangkan perindustrian di sekolah.
Penulisan ini diharapkan dapat memperkaya khasanah pepustakaan dan bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang mengadakan penelitian yang menyangkut sekolah industri
Menggugah pemerintah dalam memperbaiki perundang-undangan tentang sekolah industri
B A B II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Sekolah
Kata sekolah berasal dari bahasa latin: skhole, scola, scolae atau skhola yang memiliki arti waktu luang atau waktu senggang, dimana ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak ditengah-tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa anak-anak dan remaja. Kegiatan dalam waktu luang itu adalah mempelajari cara berhitung, cara membaca huruf dan mengenal tentang moral (budi pekerti) dan estetika (seni). Untuk mendampingi dalam kegiatan scola anak-anak didampingi oleh orang ahli dan mengerti tentang psikologi anak, sehingga memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada anak untuk menciptakan sendiri dunianya melalui berbagai pelajaran diatas.
Sekolah adalah sebuah lembaga yang dirancang untuk pengajaran siswa (atau "murid") di bawah pengawasan guru. Sebagian besar negara memiliki sistem pendidikan formal, yang umumnya wajib. Dalam sistem ini, siswa kemajuan melalui serangkaian sekolah. Nama-nama untuk sekolah-sekolah ini bervariasi menurut negara (dibahas pada bagian Daerah di bawah), tetapi umumnya termasuk sekolah dasar untuk anak-anak muda dan sekolah menengah untuk remaja yang telah menyelesaikan pendidikan dasar.
Selain sekolah-sekolah inti, siswa di negara tertentu juga mungkin memiliki akses dan mengikuti sekolah-sekolah baik sebelum dan sesudah pendidikan dasar dan menengah. TK atau pra-sekolah menyediakan sekolah beberapa anak-anak yang sangat muda (biasanya umur 3-5 tahun). Universitas, sekolah kejuruan, perguruan tinggi atau seminari mungkin tersedia setelah sekolah menengah. Sebuah sekolah mungkin juga didedikasikan untuk satu bidang tertentu, seperti sekolah ekonomi atau sekolah tari. Alternatif sekolah dapat menyediakan kurikulum dan metode non-tradisional.
Ada juga sekolah non-pemerintah, yang disebut sekolah swasta. Sekolah swasta mungkin untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus ketika pemerintah tidak bisa memberi sekolah khusus bagi mereka; keagamaan, seperti sekolah Islam, sekolah Kristen, budha dan lain-lain, atau sekolah yang memiliki standar pendidikan yang lebih tinggi atau berusaha untuk mengembangkan prestasi pribadi lainnya. Sekolah untuk orang dewasa meliputi lembaga-lembaga pelatihan perusahaan dan pendidikan dan pelatihan militer.
B.Pengertian industri
Istilah industri sering diidentikkan dengan semua kegiatan ekonomi manusia yang mengolah barang mentah atau bahan baku menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Dari definisi tersebut, istilah industri sering disebut sebagai kegiatan manufaktur (manufacturing). Padahal, pengertian industri sangatlah luas, yaitu menyangkut semua kegiatan manusia dalam bidang ekonomi yang sifatnya produktif dan komersial. Disebabkan kegiatan ekonomi yang luas maka jumlah dan macam industri berbeda-beda untuk tiap negara atau daerah. Pada umumnya, makin maju tingkat perkembangan perindustrian di suatu negara atau daerah, makin banyak jumlah dan macam industri, dan makin kompleks pula sifatkegiatan dan usaha tersebut. Cara penggolongan atau pengklasifikasian industripun berbeda-beda. Tetapi pada dasarnya, pengklasifikasian industri didasarkan pada kriteria yaitu berdasarkan bahan baku, tenaga kerja, pangsa pasar, modal,atau jenis teknologi yang digunakan. Selain faktor-faktor tersebut, perkembangandan pertumbuhan ekonomi suatu negara juga turut menentukan keanekaragaman industri negara tersebut, semakin besar dan kompleks kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi, maka semakin beranekaragam jenis barang industrinya.
Barang industri adalah barang yang digunakan untuk keperluan industri membuat produk baru . Barang-barang ini misalnya bahan baku, perlengkapan mesin, bahan pelumas dan juga hasil jadi. Konsumen barang industri ini ialah pabrik-pabrik yang akan mengolah atau menggunakannya untuk produksi. Misalnya bahan baku karet
Adapun klasifikasi industri berdasarkan kriteria masing-masing (Siahaan,1996), adalah sebagai berikut :
1.Klasifikasi industri berdasarkan tenaga kerja
Berdasarkan jumlah tenaga kerja yang digunakan, industri dapat dibedakan menjadi :
a.Industri rumah tangga, yaitu industri yang menggunakan tenaga kerja kurang dari empat orang. Ciri industri ini memiliki modal yang sangat terbatas, tenaga kerja berasal dari anggota keluarga,dan pemilik atau pengelola industri biasanya kepala rumah tanggaitu sendiri atau anggota keluarganya. Misalnya: industri anyaman,industri kerajinan, industri tempe/tahu, dan industri makanan ringan.
b.Industri kecil, yaitu industri yang tenaga kerjanya berjumlah sekitar 5 sampai 19 orang, Ciri industri kecil adalah memiliki modal yang relatif kecil, tenaga kerjanya berasal dari lingkungan sekitar atau masih ada hubungan saudara. Misalnya: industri genteng, industri batu-bata, dan industri pengolahan rotan.
c.Industri sedang, yaitu industri yang menggunakan tenaga kerjasekitar 20 sampai 99 orang. Ciri industri sedang adalah memiliki modal yang cukup besar, tenaga kerja memiliki keterampilan tertentu, dan pimpinan perusahaan memiliki kemapuan manajerial tertentu. Misalnya: industri konveksi, industri bordir, dan industri keramik.
d.Industri besar, yaitu industri dengan jumlah tenaga kerja lebih dari100 orang. Ciri industri besar adalah memiliki modal besar yangdihimpun secara kolektif dalam bentuk pemilikan saham, tenagakerja harus memiliki keterampilan khusus, dan pimpinanperusahaan dipilih melalui uji kemampuan dan kelayakan (fit and profer test). Misalnya: industri tekstil, industri mobil, industri besibaja, dan industri pesawat terbang.
2.Klasifikasi industri berdasarkan lokasi usaha
Keberadaan suatu industri sangat menentukan sasaran atau tujuankegiatan industri. Berdasarkan lokasi unit usahanya, industri dapat dibedakan menjadi :
a.Industri berorientasi pada pasar (market oriented industry), yaitu industri yang didirikan mendekati daerah persebaran konsumen.
b.Industri berorientasi pada tenaga kerja (employment oriented industry), yaitu industri yang didirikan mendekati daerah pemusatan penduduk, terutama daerah yang memiliki banyak angkatan kerja tetapi kurang pendidikannya.
c.Industri berorientasi pada pengolahan (supply oriented industry), yaitu industri yang didirikan dekat atau di tempat pengolahan. Misalnya: industri semen di Palimanan Cirebon (dekat dengan batu gamping), industri pupuk di Palembang (dekat dengan sumber pospat dan amoniak), dan industri BBM di Balongan Indramayu (dekat dengan kilang minyak).
d.Industri berorientasi pada bahan baku, yaitu industri yang didirikandi tempat tersedianya bahan baku. Misalnya: industri konveksi berdekatan dengan industri tekstil, industri pengalengan ikan berdekatan dengan pelabuhan laut, dan industri gula berdekatan lahan tebu.
e.Industri yang tidak terikat oleh persyaratan yang lain (footloose industry), yaitu industri yang didirikan tidak terikat oleh syarat-syarat di atas. Industri ini dapat didirikan di mana saja, karena bahan baku, tenaga kerja, dan pasarnya sangat luas serta dapat ditemukan di mana saja. Misalnya: industri elektronik, industri otomotif, dan industri transportasi.
.Klasifikasi industri berdasarkan proses produksi
Berdasarkan proses produksi, industri dapat dibedakan menjadi :
a.Industri hulu, yaitu industri yang hanya mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi. Industri ini sifatnya hanya menyediakan bahan baku untuk kegiatan industri yang lain. Misalnya: industri kayu lapis, industri alumunium, industri pemintalan, dan industri baja.
b.Industri hilir, yaitu industri yang mengolah barang setengah jadimenjadi barang jadi sehingga barang yang dihasilkan dapatlangsung dipakai atau dinikmati oleh konsumen. Misalnya: industri pesawat terbang, industri konveksi, industri otomotif, dan industri meubel.
4.Klasifikasi industri berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian
Selain pengklasifikasian industri tersebut di atas, ada juga pengklasifikasian industri berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 19/M/ I/1986 yang dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Adapun pengklasifikasiannya adalah sebagai berikut :
a.Industri Kimia Dasar (IKD)
Industri Kimia Dasar merupakan industri yang memerlukan modal yang besar, keahlian yang tinggi, dan menerapkan teknologi maju. Adapun industri yang termasuk kelompok IKD adalah sebagai berikut :
1)Industri kimia organik, misalnya : industri bahan peledak dan industri bahan kimia tekstil.
2)Industri kimia anorganik, misalnya : industri semen, industri asam sulfat, dan industri kaca.
3)Industri agrokimia, misalnya : industri pupuk kimia dan industri pestisida.
4)Industri selulosa dan karet, misalnya : industri kertas, industri pulp, dan industri ban.
b.Industri Mesin Logam Dasar dan Elektronika (IMELDE)
Industri ini merupakan industri yang mengolah bahan mentah logam menjadi mesin-mesin berat atau rekayasa mesin dan perakitan. Adapun yang termasuk industri ini adalah sebagai berikut :
1)Industri mesin dan perakitan alat-alat pertanian, misalnya : mesin traktor, mesin hueler, dan mesin pompa.
2)Industri alat-alat berat/konstruksi, misalnya : mesin pemecah batu, buldozer, excavator, dan motor grader.
3)Industri mesin perkakas, misalnya : mesin bubut, mesin bor, mesin gergaji, dan mesin pres.
4)Industri elektronika, misalnya : radio, televisi, dan komputer.
5)Industri mesin listrik, misalnya : transformator tenaga dangenerator.
6)Industri kereta api, misalnya : lokomotif dan gerbong.
7)Industri kendaraan bermotor (otomotif), misalnya : mobil, motor, dan suku cadang kendaraan bermotor.
8)Industri pesawat, misalnya : pesawat terbang dan helikopter.
9)Industri logam dan produk dasar, misalnya : industri besi baja, industri alumunium, dan industri tembaga.
10)Industri perkapalan, misalnya : pembuatan kapal dan reparasi kapal.
11)Industri mesin dan peralatan pabrik, misalnya : mesin produksi, peralatan pabrik, dan peralatan kontruksi.
c.Aneka Industri (AI)
Industri ini merupakan industri yang tujuannya menghasilkan bermacam-macam barang kebutuhan hidup sehari-hari. Adapun yang termasuk industri ini adalah sebagai berikut :
1)Industri tekstil, misalnya : benang, kain, dan pakaian jadi.
2)Industri alat listrik dan logam, misalnya : kipas angin, lemari es, dan mesin jahit, televisi, dan radio.
3)Industri kimia, misalnya : sabun, pasta gigi, sampho, tinta, plastik, obat obatan, dan pipa.
4)Industri pangan, misalnya : minyak goreng, terigu, gula, teh, kopi, garam dan makanan kemasan.
5)Industri bahan bangunan dan umum, misalnya : kayu gergajian, kayu lapis, dan marmer.
d.Industri Kecil (IK)
Industri ini merupakan industri yang bergerak dengan jumlah pekerja sedikit, dan teknologi sederhana. Biasanya dinamakan industri rumah tangga, misalnya : industri kerajinan, industri alat-alat rumah tangga, dan perabotan dari tanah (gerabah).
e.Industri Pariwisata
Industri ini merupakan industri yang menghasilkan nilai ekonomis dari kegiatan wisata. Bentuknya bisa berupa wisata senidan budaya (misalnya : pertunjukan seni dan budaya), wisata pendidikan (misalnya : peninggalan, arsitektur, alat-alat observasi alam, dan museum geologi), wisata alam (misalnya : pemandangan alam di pantai, pegunungan, perkebunan, dan kehutanan), dan wisata kota (misalnya : melihat pusat pemerintahan, pusat perbelanjaan, wilayah pertokoan, restoran, hotel, dan tempat hiburan).
C.Undang-undang yang relevan tentang penyelenggaraan sekolah industri
Sejak implementasi AFTA, awal tahun 2003 lalu, bangsa-bangsa di Asia Tenggara mulai menapaki era globalisasi, dan setiap lembaga maupun individu harus bersaing secara terbuka dengan lembaga dan individu dari negara lainnya. Agar dapat tetap bertahan, diperlukan kemampuan berbuat sesuai standar mutu yang dapat menghasilkan produk dan jasa yang lebih unggul daripada produk dan jasa yang dihasilkan oleh negara lain.
Tidak kalah pentingnya, SDM Indonesia juga mesti ditingkatkan kualitasnya agar dapat ikut bersaing di dunia global. Untuk itu SDM Indonesia harus memiliki kualifikasi internasional, agar dapat menghasilkan produk dan jasa yang setara bahkan lebih unggul daripada yang dihasilkan oleh SDM bangsa lain. Kenyataan bahwa SDM kita, hingga saat ini, umumnya dikembangkan di lembaga pendidikan, maka lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia juga harus memiliki standar internasional. Oleh karena itu, keberadaan sekolah bertaraf internasional, seharusnya tidak lagi merupakan barang mewah atau glamor, melainkan telah menjadi kebutuhan mendasar bagi anak didik kita apabila kita tidak ingin terdelet atau tereliminasi dari persaingan global.
Internasionalisasi Pendidikan Berbagai pendapat berkembang dalam masyarakat terkait istilah "Internasional dan Internasionalisasi" dalam bidang pendidikan. Yang jelas, meskipun terdapat perbedaan persepsi di antara kita, ternyata jumlah sekolah seperti ini terus saja meningkat terutama pada tingkat pemerintahan daerah. Setidaknya ada 5 pengertian yang berbeda tentang sekolah internasional:Sekolah Internasional merupakan salah satu institusi pendidikan yang khusus diperuntukkan bagi anak-anak warga asing (diplomat dan ekpatriat), mempunyai kurikulum khusus, dan diajar oleh guru-guru yang juga berasal dari berbagai negara. Sehingga memberikan suasana internasional yang sangat kental, misalnya MIS (Medan International School) di Medan.
Sekolah Internasional yang berikutnya adalah institusi pendidikan yang ditujukan untuk anak-anak berbagai bangsa, khususnya Asia, mempunyai kurikulum tersendiri, guru-gurunya berasal dari Asia, dan mempunyai kesamaan sistem dengan Indonesia, sehingga suasana kultur yang sama dengan sekolah lokal. Selanjutnya, Sekolah (baca: kelas) Internasional yang menerapkan 2 jenis kurikulum yang berbeda, nasional dan internasional. Pada sekolah ini, beberapa mata pelajaran sain (Matematika, Fisika, Biologi, Kimia) diajarkan oleh guru-guru bangsa asing dengan sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris, sedangkan mata-mata pelajaran sosial (Sejarah, Geografi, Ekonomi, Bahasa, Civic, misalnya) masih diberikan dalam bahasa Indonesia dan oleh guru-guru lokal. Bahkan beberapa waktu lalu, kita juga mengenal Sekolah (baca: kelas) Bilingual. Pada kelas-kelas ini bidang sain diajar oleh guru-guru lokal yang mengampu mata pelajaran tersebut, dan didampingi oleh guru bahasa Inggris.
Pengajaran diupayakan dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar walaupun kadang-kadang masih menggunakan bahasa Indonesia untuk menjelaskan hal-hal yang prinsip dan sulit, oleh karena itu kegiatan belajar menggunakan dwibahasa. Untuk bidang studi sosial, proses pembelajaran sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia. Dan pada tahun-tahun terakhir ini, istilah Sekolah (baca: kelas) Internasional mengacu pada kebijakan baru dalam pendidikan nasional yang tertuang dalam U.U. no 20 Tahun 2003 tentang perintisan Sekolah Berstandar Internasional (SBI) yang kadang kala juga disebut SNBI (Sekolah Nasional Berstandar Internasional).
Dari beberapa penjelasan tersebut, kiranya dapatlah dipahami kalau ternyata masyarakat masih sering mempersepsikan internasionalisasi sangat berbeda, apalagi bila orangtua siswa menganggap sekolah seperti ini sebagai lambang "status atau gengsi" dalam dunia pendidikan. Dan tidak jarang masyarakat juga berharap anak-anak mereka mendapatkan perlakuan istimewa dari pihak sekolah sebagai kompensasi terhadap kontribusi yang telah mereka berikan pada komite sekolah.
Kebijakan terkait dengan penyelenggaraan SBI: Pada UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN 20/2003) Pasal 50, ayat 3 dinyatakan bahwa "Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional". Dan secara implisit amanat tersebut telah dimuat dalam Cetak Biru Pendidikan Nasional 2006-2025, dan secara eksplisit telah dimuat dalam rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005-2009.
untuk memenuhi amanat UUSPN 20/2003, SBI mulai dirintis tahun 2006. Perintisan SBI merupakan keniscayaan karena, selain untuk memenuhi UUSPN 20/2003, era globalisasi juga menuntut kemampuan daya saing yang kuat dalam sumberdaya manusia, teknologi, dan manajemen.
Ada tiga alasan yang menjadi latar belakang rintisan penyelenggaraan SBI:
(1) Era globalisasi menuntut kemampuan daya saing yang kuat dalam teknologi, manajemen dan sumberdaya manusia. Keunggulan teknologi akan menurunkan biaya produksi, dan meningkatkan kandungan nilai tambah, memperluas keragaman produk dan meningkatkan mutu produk; keunggulan manajemen akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi; sedangkan keunggulan SDM dianggap sebagai kunci daya saing yang mampu menjaga kelangsungan hidup, perkembangan dan kemenangan dalam persaingan.
(2)Rintisan penyelenggaraan SBI memiliki dasar hukum yang kuat yang dimuat dalam pasal 50 ayat 3 UU no 20 thn 2003 serta pada pasal 50 ayat 7 UUSPN 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional dan ketentuan untuk membuka SBI. Bahwa
(3)Penyelenggaraan SBI didasari oleh filosofi eksistensialisme yang berkeyakinan bahwa pendidikan harus mampu menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitasi yang dilaksanakan melaui proses pendidikan yang bermartabat, pro perubahan, kreatif inovatif, eksperimentatif, menumbuhkan bakat, minat, kemampuan, dan kecakapan peserta didik; menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan tingkat kecerdasan; dan memberi perlakuan yang maksimal untuk mengaktualisasikan potensi intelektual, emosional dan spiritual peserta didik.
Filosofi esensialisme (fungsionalisme) menekankan bahwa pendidikan harus berfungsi dan relevan dengan kebutuhan individu, keluarga, sektor-sektor terkait, baik tingkat lokal, nasional maupun internasional.
Visi, Misi dan Tujuan SBI
SBI mempunyai visi untuk mewujudkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional. Bahwa penyiapan manusia bertaraf internasional memerlukan upaya-upaya yang intensif, terarah, terencana, dan sistematik agar dapat mewujudkan banga yang maju, sejahtera, damai, dihormati dan diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain. Misi SBI mewujudkan manusia Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional, mampu bersaing dan berkolaborasi secara global.
Tujuan SBI menghasilkan lulusan yang berkelas nasional dan internasional seperti yang dirumuskan dalam UU.no 20/2003 dan dijabarkan dalam PP 19/2005, dirinci dalam Permendiknas no 23/2006 tentang standar kompetensi lulusan (SKL) bahwa baik untuk tingkat SD maupun tingkat SMP dan SMU/kejuruan bertujuan meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta ketrampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
SBI harus memegang teguh dan mengembangkan jati diri dan nilai-nilai bangsa Indonesia, disamping mengembangkan daya progresif global yang diupayakan secara elektif inkorporatif melalui pengenalan, penghayatan dan penerapan nilai-nilai yang diperlukan dalam era kesejagatan, dalam bidang religi, Iptek, ekonomi, seni, solidaritas, kuasa, dan etika global. Untuk memperlancar komunikasi global, SBI menggunakan bahasa komunikasi global, terutama bahasa Inggris dn menggunakan teknologi komunikasi informasi (ICT).
Kita hidup dalam dunia internasional. Internasionalisasi, dalam kaitannya dengan bisnis dan manajemen, merupakan sesuatu keharusan yang mesti dipertimbangkan pada semua tahapan daripada siklus kehidupan suatu produk (a product’s life cycle); misalnya mulai dari perencanaan awal sampai pada pelaksanaan serta pengembangannya agar benar-benar efektif. Selanjutnya dapat dimanfaatkan bagi kepentingan lokal tanpa harus melakukan banyak perombakan dalam mekanisme kerjanya. Ini berarti bahwa semestinya kita tidak perlu merasa khawatir akan akibat internasionalisasi pendidikan.
D.Pembinaan Pola Kerjasama yang terpadu antara pendidikan dengan dunia industri
Kemenangan daripada dunia industri jika dibandingkan dengan dunia pendidikan kejuruan ialah bahwa dunia industri telah lebih dulu mengetahui arah pembangunan masyarakat di masa kini dan masa mendatang. Di lain pihak dunia pendidikan kejuruan cenderung hanya mampu menunggu dan mempelajari hal-hal yang sudah terwujud pada dunia industri dan ekonomi. Akibatnya, sekolah-sekolah kejuruan berusaha memacu diri untuk mengikuti apa yang terjadi datam dunia industri, namun sayang, sekolah-sekolah kejuruan sering menjadi kurang mampu untuk mengajar ketinggalannya dari dunia industri itu.
Kenyataannya di atas kiranya cukup memberikan cambuk bagi para pemikir pendidikan untuk mencari upaya pembaman di bidang pendidikan kejuruan kita. Dunia industri telah lebih dulu mengenal kebutuhan masyarakat akan barang-barang industri, mengetahui peralatan dan sumber daya produksi yang diperlukan, lebih mengetahui lebih dulu tentang cara-cara merawat/ memelihara peralatan teknologi mutakhir yang telah dimiliki.
Para pekerja dan. teknisi di dunia industri lebih memahami peralatan dan teknologi yang ditangani daripada para siswa atau tamatan sekolah-sekolah kejuruan. Bagaimanakah kenyataan yang ada pada sekolah-sekolah kejuruan kita pada dewasa ini? Sekolah-sekolah kejuruan kita masih mengalami keterbatasan-keterbatasan dalam hal kuantitas guru .dan pelatih, kualitas guru dan pelatih, sertaadalahfasilitas dan peralatan praktek. Oleh karena itu dunia pendidikan kejuruan hendaknya mulai didekatkan dengan dunia industri dan dunia kerja di lapangan.
Upaya yang kiranya cukup positif telah dimulai dalam dunia pendidikan tenaga kependidikan yang telah mendapatkan motivasi dan bimbingan dari pihak PPPG (Proyek Pengembangan Pendidikan Guru). Lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK.) telah dikembangkan sedemikian rupa, sehingga jarak antara pihak konsumen pendidikan guru, produsen guru dan pengelola pendidikan guru menjadi tebih dekat dengan pola kerjasama yang cukup jelas dan terpadu, meskipun di sana sini masih memerlukan penanganan yang serius.
Apa yang telah dirintis dalam dunia penddikan tenaga kependidikan itu kiranya menjadi bahan pemikiran kita kearah usaha inovasi pendidikan kejuruan kita. Agar sekolah-sekolah kejuruan kita dapat mengembangkan pengajaran yang mempersiapkan manusia-manusia wiraswasta, di samping perlu diadakan pengembangan kurikulum dan pengajarannya sendiri, juga diperlukan adanya pola kerjasama yang efektif antara sekolah, keluarga, masyarakat pemakai tenagakerja, dunia industri dan dunia ekonomi pada umumnya.
Untuk merealisir kerjasama semacam itu diperlukan penanganan secara terpadu dari pihak-pihak Kementrian Pendidikan Nasional, Kementrian Perindustrian, Kementrian Tenaga Kerja, Lembaga- lembaga pendidikan tinggi kejuruan atau pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan pembinaan dunia pendidikan dan ekonomi industri. Memang, untuk menuju pada realisasi gagasan semacam ini tidak semudah seperti yang kita bayangkan, namun hal ini tidak pula berarti, bahwa pola kerjasama semacam ini tidak mungkin dapat diwujudkan. Setidak-tidaknya kita perlu mengambil langkah-langkah yang bijaksana dengan menggunakan pentahapan-pentahapan pelaksanaan dalam rangka pengembangan dunia pendidikan kejuruan kita, sekaligus mempersiapkan manusia-manusia wiraswasta melalui jalur empuk pendidikan kejuruan.
Menurut Soemanto, ada beberapa tahap pengembangan pendidikan kejuruan yang kiranya dapat kita pertimbangkan , misalnya :
a)Diadakan penelitian-penelitian terhadap kemungkinan realisasi pengembangan di dalam ketiga dunia yang saling bergantungan, yaitu di kalangan dunia pendidikan kejuman sendiri. Ini dapat merupakan penelitian-penelitian untuk memperoleh informasi tentang kondisi dan kompetensi sekolah-sekolah kejuruan dalam rangka inovasi pendidikan kejuruan. Di kalangan usaha industri yang bertebaran di masyarakat untuk menjajagi kemungkinan pemanfaatan lapangan-lapangan industri dan lapangan-lapangan usaha ekonomi mana yang akan mampu bekerjasama dalam usaha pengembangan pendidikan di satu pihak, di lain pihak juga dicarikan jalan pemikiran bagi dunia industri dan usaha agar mereka memperoleh manfaat dari kerjasama semacam itu. Penelitian juga diadakan di lingkungan masyarakat, untuk mengetahui sumber-sumber pengembangan ekonomi pada umumnya dan bagi pengembangan dunia industri khu susnya. Dengan demikian, kita tidak semata-mata hanya tergantung kepada dunia usaha dan dunia industri yang sudah ada dan berkembang di masyarakat, melainkan juga berusaha untuk menimbulkan lapangan-lapangan usaha lainnya yang baru. Hal ini akan memberikan keuntungan ganda. Di satu pihak, potensi lingkungan menjadi tergali untuk kemakmuran rakyat banyak, di lain pihak lapangan-lapangan usaha dan industri baru ini meskipun kecil-kecilan sifatnya, namun dapat dimanfaatkan secara langsung untuk pengembangan kurikulum dan pengajaran sekolah-sekolah kejuruan kita. Dengan penelitian yang ditujukan pada masyarakat, kita akan dapat mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat akan barang-barang dan jasa, yang mana hal ini memberikan bahan pemikiran dalam usaha menggati kekayaan lingkungan yang sedapat mungkin memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat konsumen.
b)Dibentuknya suatu lembaga koordinatorat pembinaan dan pengembangan pendidikan kejuruan. Lembaga ini perlu melibatkan. institusi-institusi yang bergerak dalam dunia pendidikan, dunia usalia dan industri, yaitu dari pihak-pihak Kementrian Pendidikan Nasional, Kementrian Perindustrian, Kementrian Tenaga Kerja dan Kementrian lain yang berhubungan dengan itu. Ini memang suatu tantangan yang cukup menyakiti pemikiran kita, namun pola kerja sama bagi usana mengembangkan dunia pendidikan kejuruan kita. Lembaga koordinatorat ini dapat terbentuk di tingkat pusat dan di samping itu perlu pula terbentuk pada tiap-tiap daerah setidak-tidaknya pada tingkat propinsi. Langkah ini diambil dalam rangka:
1)mengusahakan keterpaduan cara berpikir dan bertindak untuk mengembangkan dunia pendidikan kejuruan kita,
2)mengusahakan relevansi antara pengajaran di sekolah-sekolah kejuruan dengan potensi lingkungan setempat dan kebutuhan masyarakat setempat akan hasil-hasil usaha dan industri, dan
3)memperlancar administrasi dan pengelolaan usaha pengembangan pendidikan kejuruan, agar tidak lagi ditempuh prosedur yang bertele-tele sehingga menghambat setiap langkah pengembangan pendidikan kejuruan kita.
c)Diadakannya proyek-proyek eksperimentasi atau perintis ke arah perwujudan kerjasama pengembangan pendidikan an secara terpadu. Dalam hal ini kita perlu memilih beberapa lembaga pendidikan kejuruan untuk masing-masing jenis sekolah kejuruan dan pada tiap-tiap propinsi.Dalam pelaksanaan eksperimentasi atau perintisan ini dapat diwujudkan gagasan-gagasan dan metoda-metoda baru, pembinaan kurikulum, pengadaan tenagaahli, penyiapan guru-guru dan para pelatih kejuruan, pembenahan proses belajar-mengajar, serta pengembangan sarana dan fasilitas belajar-mengajar bagi para siswa sekolah kejuruan, baik di sekolah maupun dalam dunia usaha dan industri di lapangan.
d)Penyediaan dan pengembangan pelayanan dan fasilitas stud i bagi para siswa sekolah kejuruan pada lapangan usaha dan industri di dalam masyarakat dan pemerintah. Hal ini untuk memberi kesempatan bagi sekolah kejuruan untuk tidak hanya mengandalkan kemampuan material dan personal di sekolah saja yang sering malah ketinggalan dengan perkembangan dunia usaha dan industri di lapangan. Sekolah-sekolah hendaknya memperoleh kesempatan untuk dunia luar sekolah untuk membekali para siswa dengan pengalaman, sikap mental dan keterampilan berwiraswasta.
e)Deseminasi pengembangan pendidikan kejuruan pada beberapa sekolah kejuruan di masing-masing daerah kabupaten dan kota administrasi. Deseminasi ini dimaksudkan pula sebagai uji-coba terhadap setiap hasil eksperimentasi pada proyek-proyek perintis di tiap-tiap provinsi.
f)Deseminasi pengembangan pendidikan kejuruan pada sekolah-sekolah kejuruan di seluruh tanah air. Deseminasi pada masing-masing sekolah tidak selamanya harus mengikuti pola yang sudah dilaksanakan pada daerah propinsi di mana sekolah terselenggara, melainkan dapat pula mendeseminasikan hasil-hasil yang telah dicapai oleh proyek perintis di daerah lain. Pertimbangan ini dapat diambil berdasarkan: (1). bidang kejuruan yang relevan, (2). sumber-sumber yang ada di alam sekitar sekolah atau di masyarakat setempat di mana sekolah yang bersangkutan terselenggara, (3). ciri-ciri lingkungan setempat, (4). Kompetensi sekolah yang bersangkutan untuk menerapkan dan menyerap ide-ide deseminasi dari berbagai daerah/obyek perintis yang paling relevan bagi sekolah yang bersangkutan.
g) Pemerintah mendirikan pusat-pusat pengembangan pendidikan dan pengembangan usaha dan industri. Pusat-pusat ini dimaksudkan untuk mempersiapkan manusia-manusia berprestasi dan berkompetensi untuk menumbuhkan lapangan-lapangan kerja baru sesuai dengan tuntutan zaman. Pusat-pusat semacam itu khusus mendidik dan melayani manusia-manusia berbakat yang dipilih dari masing-masing sekolah kejuruan yang ada di seluruh Indonesia. Pusat-pusat pengembangan pendidikan kejuruan ini tidak harus didirikan mulai dari nol atau serba baru. Pusat-pusat semacam mi dapat pula dikembangkan dengan menggunakan perangkat-perangkat pembangunan yang sudah ada dan tersedia di kalangan masyarakat dan pemerintah, misalnya: reaktor atom di Bandung, industri persenjataan (Pindad), industri pesawat terbang, industri kendaraan bermotor, industri kerajinan tangan, BUUD, KUD, Pertamina, dan sebagainya. Bahkan kalau.memungkinkan, pemerintah dapat memanfaatkan perusahaan-perusahaan swasta dan asing yang berdomisili di Indonesia untuk maksud-maksud tersebut. Dengan cara demikian, maka setiap inovasi penting yang terjadi di dalam dunia usaha dan industri akan berpengaruh besar dan dapat dimanfaatkan secara langsung oleh dunia pendidikan kita. Di lain pihak, setiap gagasan inovatif yang muncul dalam dunia pendidikan akan dapat didayagunakan secara langsung dan menguntungkan bagi dunia usaha dan dunia industri.
h) Pengembangan pendidikan pada tiap-tiap sekolah kejuruan dan penyeleksian siswa-siswa berbakat untuk dikembangkan di pusat-pusat pengembangan pendidikan kejuruan yang telah dirintis oleh pemerintah. Dengan cara ini maka kesempatan terbuka lebar-lebar bagi manusia-manusia Indonesia yang berbakat untuk menjadi lebih berkembang bukan hanya siap pakai, melainkan lebih dari itu menjadi siap berkreasi untuk pembangunan diri dan masyarakatnya. Bagi anak didik pola kerja pengembangan semacam ini membina sikap mental serta melatih keterampilan anak untuk berwiraswasta. Bagi dunia usaha dan industri, pola pengembangan pendidikan semacam ini akan mendatangkan keuntungan, karena sumber daya manusia yang potensial dapat digali dan dimanfaatkan secara langsung.
B A B III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Dari berbagai kajian tentang kecenderungan sekolah menjadi sekolah industri dapat disimpulkan sejumlah masalah berikut.
1.saat belum banyak sekolah yang merubahnya menjadi sekolah industri, kalaupun ada baru mulai proses pengembangan keterampilan industri.
2.Pemerintah belum sangat serius dalam pengembangan sekolah industri, tetapi baru pada sekolah bertaraf internasional atau sekolah unggulan.
3.Perlu adanya pola kerjasama antara pendidikan dengan dunia industri yang nantinya melahirkan sekolah industri
B.SARAN
Semua apa yang kami tulis di atas hanyalah merupakan gagasan-gagasan alternatif bagi usaha mempersiapkan manusia-manusia wiraswasta melalui jalur pendidikan formal. Setidak-tidaknya gagasan ini merangsang kita semua dan teristimewa para pemikir pendidikan untuk lebih menyadari tuntutan-tuntutan zaman serta berusaha untuk menjawab permasalahan yang.menghantui kehidupan bangsa dan negara kita. Kita perlu mempunyai gagasan-gagasan baru untuk berusaha mengimbangi lajunya perubahan-perubahan dunia, atau setidaknya mampu berusaha mengejar ketinggalan-ketinggalan kita dari perkembangan dunia luar. Dengan gagasan-gagasan serta langkah-langkah yang dinamis dan kreatif, diharapkan kita akan mampu megangkat martabat dan kehidupan bangsa dan negara Indonesia
C.REKOMENDASI
1.Pemerintah membuat perundang-undangan tentang sekolah industri secara jelas dan terperinci.
2.Adanya pola kerjasama yang baik antara Kementrian Pendidikan Nasional, Kementrian Perindustrian, Kementrian Tenaga Kerja untuk dapat mensinergikan dunia pendidikan dengan dunia industri.
3.Semua stakeholder pendidikan agar melakukan perubahan menuju masa depan yang berindustri maju.
SUMBER REFERENSI
Buchari Alma. Kewirausahaan. Alfabeta. Bandung. 2010
Djaali. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Hasibuan, Melayu S.P. Manajemen Dasar, Pengertian dan Masalah. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008.
Nawawi, Hadari, Evaluasi dan Manajemen Kinerja di Lingkungan Perusahaan dan Industri. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006.
Robbins, Stephen P. Essential of Organizational Behavior. Jakarta: Salemba Empat, 2008.
Siagian, Sondang P. Filsafat Administrasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008.
Simamora, Henry Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarya: STIE YKPN, 2004.
Soemanto, Wasty. Pendidikan Wiraswasta. Bumi Aksara. Jakarta, 2008.
Stoner, James A.F and R. Edward Freeman, Manajemen terjemahan Alexander Sindoro. Jakarta: PT. Prenhallindo, 1996.
Suherman, Eman. Desain Pembelajaran Kewirausahaan. Alfabeta. Bandung.2008
Zainun,Buchari Manajemen dan Motivasi. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 1984.
http://stembasurabaya.wordpress.com/2010/01/08/kerja-sama-sekolah-industri-diperkuat/
http://gurupembaharu.com/home/?p=9734
http://en.wikipedia.org/wiki/Joseph_Schumpeter
http://www.kemenperin.go.id/ind/publikasi/berita_psb/2011/20114094.html
PRODUKSI BUKU YANG DIHASILKAN GURU/DOSEN DI INDONESIA RENDAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
BUKU adalah jendela dunia. Ungkapan bernada klise, tapi belum sepenuhnya disadari. Entah karena deraan krisis ekonomi yang masih menyelimuti bangsa ini, sehingga buku belum menjadi kebutuhan yang diperhitungkan atau belum menjadi skala prioritas. Justru yang berkembang adalah anggapan umum, bisa makan tiga kali sehari saja sudah untung.
Ketika membanding-bandingkan dengan negara lain itulah, persoalan perbukuan Indonesia terasa makin gelap. Malaysia saja yang penduduknya sekitar 10 persen dari penduduk Indonesia, menghasilkan 7.000 judul buku per tahun, sedangkan Thailand mencapai 10.000 judul. Indonesia baru menghasilkan buku paling tinggi 5.800 judul per tahun. Berdarkan data tersebut itu menunjukkan, betapa rendahnya tingakt penggapaian ilmu pengetahuan kita di tengah zaman teknologi dan informasi ini.
Sebagai Negara yang sedang bekembang, Indonesia masih mengandalkan buku sebagai salah satu sumber informasi untuk berbagai keperluan termasuk keperluan belajar dan membelajarkan. Hal ini sangat terlihat di lembaga-lembaga pendidikan yang lebih banyak menggunakan buku pelajaran daripada media lainnya. Pemenuhan kebutuhan buku itu ditentukan oleh kemampuan industri buku di Indonesia.
Peranan buku sebagai sumber informasi untuk keperluan belajar dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dianggap semakin penting dan strategis sesuai dengan sifat buku itu sendiri yang antara lain dapat dipergunakan untuk memuat berbagai informasi (tentang ilmu pengetahuan, teknologi, agama, kesenian, dan hiburan), mudah disebarluaskan, harganya relatif murah, dapat dipakai oleh banyak orang, dapat dibawa kemana-mana dan dipergunakan sesuai dengan kesempatan pembacanya. Kelebihan media cetak seperti buku dibandingkan dengan media lainnya seperti media elektronik, menyebabkan kebutuhan akan buku sebagai sumber belajar dan pembelajaran di Indonesia semakin dirasakan, mengingat jumlah penduduk yang begitu besar, wilayah yang begitu luas dengan keadaan geografis yang beraneka ragam, serta kemampuan Pemerintah yang masih kurang dan terbatas dalam menyediakan sumber-sumber belajar lainnya. Di samping itu hasil studi di berbagai negara memperkuat bahwa buku pelajaran merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan belajar siswa. Terdapat korelasi positif antara tersedianya buku pelajaran yang bermutu dengan hasil belajar siswa. Semakin banyak tersedia buku pelajaran yang bermutu dan dibaca siswa, semakin tinggi pula hasil belajarnya.
Guru sebagai ujung tobak keberhasilan pendidikan, seharusnya mau dan mampu menghasilkan buku. Guru menguasai bidang studi serta memiliki pengalaman membelajarkan dengan menggunakan berbagai metode, namun dalam kenyataannya buku yang dihasilkan guru/dosen masih rendah. Pada makalah ini akan dibahas apa penyebabnya buku yang dihasilkan guru/dosen rendah, apa hambatannnya dan bagaimana solusinya.
B. Rumusan Masalah
Dalam kesempatan ini kami akan mencoba memaparkan beberapa permasalahan berkaitan dengan KTSP yaitu :
1. Mengapa produksi buku yang dihasilkan guru/dosen di Indonesia rendah ?
2. Apa hambatan-hambatannya ?
3. Bagaimana solusinya ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan kami mengangkat judul ini adalah :
1. Memperoleh pemahaman baru tentang mengapa produksi buku yang dihasilkan guru/dosen di Indonesia rendah.
2. Mengetahui hambatan-hambatannya dan bagaimana solusinya.
3. Guru/dosen di Indonesia mempunyai keinginan untuk menulis buku/karya ilmiah seperti PTK.
D. Metode penulisan
Dalam proses penyusunan makalah ini kami menggunakan pendekatan metode literature. Yaitu dengan melakukan proses pencarian dan pengumpulan dokumen sebagai sumber-sumber data dan informasi. Metode ini dipilih karena pada hakekatnya sesuai dengan kegiatan penyusunan dan penulisan yang hendak dilakukan.
E. Kegunaan Penulisan
Penulisan ini diharapkan bermanfaat bagi calon-calon pendidik (guru/dosen) di Indonesia. Memperoleh pengertian dan dapat mengembangkan kreativitasnya untuk menulis buku.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Produksi buku
1. Produktivitas buku di Indonesia
1) Segi kualitas
1) kertas
Harga bahan baku kertas yang tinggi karena Pemerintah kurang mampu mengendalikan dan menekan harga bahan baku kertas (pulp). Akibatnya buku yang dihasilkan kurang baik dari segi kertasnya. Sehingga mengurangi orang untuk membeli buku, karena bukunya kurang menarik.
2) Topik dan judul
Langkah awal untuk memulai penulisan yang sederhana dan mudah adalah memikirkan dan menentukan ruang lingkup topik. Menurut Rowling yang dikutip Sutanto Leo dalam Idam dan Muslik (2004) menyatakan “Mulailah menulis apa uang kamu tahu”. Selanjutnya Sutanto mengutip pendapat dari Oshima dan Hogue (1991) bahwa “penulis dapat menulis buku dengan jelas, lengkap, dan efektif bila topiknya spesifik”
Pendapat di atas disimpulkan bahwa menulis dimulai dengan topik yang kita ketahui sehingga dalam menuangkan kata-kata akan lebih mudah, terinci, jelas, menarik dan bisa menarik minat pembaca untuk mengetahui lebih dalam.
Selain topik dalam menulis buku sangat perlu diperhatikan oleh penulis adalah judul. Satu hal yang harus kita camkan adalah bahwa kita tidak dapat mengandalkan judul semata karena yang paling penting adalah isi buku. Judul yang bagus tidak akan dapat menyelamatkan isi buku yang buruk. Namun sebaliknya, isi buku yang bagus memang harus didukung dengan judul yang bagus. Jika tidak didukung judul yang bagus, isi buku yang bagus bisa jadi sia-sia karena tidak menarik pembaca atau pembeli.
3) Desain
Desain berkaitan dengan seni rancangan gambar, tata letak, dan tampilan yang dicangkokkan pada suatu buku demi menarik pembacanya. Penulis yang kreatif, artistik, dan berdaya imajinasi tinggi bisa mendesain buku yang menarik. Bila penulis merasa tidak kreatif dan kurang artistik, tidak perlu khawatir karena penerbit biasanya memiliki tim khusus yang menangani desain buku.
2) Segi kuantitas
Produksi buku di Indonesia sangat memprihatinkan. Indonesia hanya menerbitkan sekitar 3000 buku baru setiap tahunnya. Jumlah judul buku yang diterbitkan setiap tahunnya hanya 0,0009 % dari total penduduknya. Berarti setiap penduduk Indonesia hanya menikmati sembilan judul buku baru. Sementara Malaysia yang berpenduduk 20 juta orang, bisa menerbitkan 8000 judul buku pertahun. Amerika Serikat sebagai negara maju bisa menerbitkan 100000 judul buku baru setiap tahunnya. Dapat disimpulkan Indonesia hanya memproduksi buku 3000/tahun, Malaysia 8000 judul buku/tahun dan Amerika 100.000/tahun.
Banyak faktor yang menjadi penyebab produksi buku di Indonesia tergolong rendah. Di antaranya, faktor daya beli masyarakat serta kebiasaan membaca masyarakat (reading habit) yang masih rendah. Berdasarkan data, minat baca masyarakat Indonesia menduduki peringkat keempat di kawasan Asia Tenggara, setelah Malaysia, Thailand, dan Singapura.
Bisa jadi, rendahnya kebiasaan membaca itu berkaitan erat dengan daya beli masyarakat. Jika dibandingkan dengan ketiga negara tetangga itu, daya beli masyarakat Indonesia memang masih tergolong rendah. Pada 2008, pendapatan per kapita masyarakat Indonesia masih sekitar 2.271 dollar AS. Angka itu jauh di bawah pendapatan per kapita Singapura yang mencapai 36.000 dollar AS pada periode yang sama.
Dengan daya beli yang rendah, tidak heran jika masyarakat Indonesia menempatkan belanja buku pada peringkat bawah setelah terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer. Kalau demikian keadaannya, program pengadaan buku-buku murah tampaknya perlu dibangkitkan kembali. Di sinilah kembali diuji komitmen pemerintah dan para penerbit untuk memproduksi banyak buku. Dengan demikian, era gelap Indonesia tanpa buku tidak akan terulang lagi.
2. Alasan Guru/Dosen enggan memproduksi buku
Sungguhpun terdapat orang yang hidup dari pekerjaan menulis, jumlahnya tidak banyak. Kebanyakan penulis/pengarang di Indonesia mempunyai profesi utama lain di antaranya sebagai tenaga kependidikan (guru dan dosen) atau praktisi dengan keahlian khusus. Kelompok ini sebenarnya sangat potensial untuk menulis, mengarang, menerjemahkan dan menyadur naskah. Berdasarkan sayembara menulis naskah buku di kalangan guru SD, SLTP, dan SLTA yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Nasional sejak tahun 1988 – 2004 menunjukkan bahwa tidak sampai 2% dari jumlah semua guru di Indonesia yang mengikuti sayembara itu setiap tahunnya. Dari laporan penyelenggaraan sayembara ini diduga bahwa sungguhpun kebanyakan guru menguasai bidang studi serta memiliki pengalaman membelajarkan dengan menggunakan berbagai metode, masih sedikit guru yang menguasi teknik menulis naskah buku pelajaran. Dugaan ini juga diperkuat oleh kelemahan-kelemahan penulisan naskah dalam sayembara itu. Keadaan ini dapat dimaklumi karena di lembaga pendidikan tenaga kependidikan, calon guru pada umumnya tidak mempelajari secara khusus teknik penulisan naskah buku pelajaran.
B. Hambatan
1. Intern
Kompetensi Guru dan Dosen
Dalam manajemen sumber daya manusia seseorang dituntut untuk menjadi professional dalam bidang pekerjaannya yang tidak lepas dari kompetensi yang dimilikinya. Kompetensi menurut Hernowo adalah kemampuan yang dimiliki seseorang yang kemudian menjadikannya unggul dalam bidang tertentu dan sangat siap untuk bersaing . Sedangkan profesional adalah tuntutan jabatan, pekerjaan ataupun profesi. Ada satu hal penting yang menjadi aspek bagi sebuah profesi, yaitu sikap profesional dan kualitas kerja. Profesional (dari bahasa Inggris) berarti ahli, pakar, mumpuni dalam bidang yang digeluti.
Dalam perspektif pengembangan sumber daya manusia, menjadi profesional adalah satu kesatuan antara konsep personaliti dan integritas yang dipadupadankan dengan skil atau keahliannya
Kompetensi menulis pada kalangan guru masih belum menjadi budaya. Hal ini dapat dilihat masih banyak di antara guru membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sebagai tugas utama. Dengan demikian pengembangan profesi dan pengembangan diri guru dalam mengekspresikan diri masih sangat rendah.
Menurut Untung Sutikno dalam artikelnya mengatakan banyak kendala yang menghadang aktivitas menulis di kalangan guru. Pertama, dari sisi guru, mereka banyak yang tidak mempunyai budaya membaca yang baik. Mereka umumnya miskin bahan bacaan atau referensi. Ada ungkapan yang mengatakan, penulis yang baik berawal dari pembaca yang baik. Coba saja amati di sekeliling anda. Berapa banyak guru yang mempunyai perpustakaan pribadi. Berapa banyak guru yang sering mengunjungi perpustakaan umum untuk mencari referensi. Berapa banyak guru yang berlangganan koran atau majalah? Berapa banyak guru yang bisa dan biasa berselancar di internet? Jawaban atas pertanyaan-tertanyaan tersebut dapat mencerminkan apakah guru mempunyai budaya membaca yang baik atau sebaliknya.
Kedua, motivasi yang rendah di kalangan guru untuk menulis. Tidak sedikit guru yang walaupun telah banyak memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, namun enggan untuk menulis. Dalam kaitan ini Agus Irkham menegaskan bahwa kegagalan seorang untuk menjadi penulis, minimal menulis, justru lebih banyak disebabkan oleh lemahnya motivasi. Termasuk habit atau kebiasaan hidup yang dapat mendukung keprigelan dan tradisi menulis yang kuat.
Kendala ketiga, guru yang miskin gagasan. Andaikan para guru di seluruh Indonesia dapat menulis buku untuk para muridnya. Andaikan para guru dapat memperkaya para muridnya dengan cerita-cerita yang mengasyikkan, ditulis oleh mereka di karya-karya tulis mereka. Andaikan artikel-artikel, opini dan celoteh guru banyak mengisi lembaran surat kabar dan majalah. Namun, mengapa tidak banyak guru yang mau menulis. Kurangnya gagasan dalam menulis membuat guru tidak tahu apa yang akan ditulis. Bahkan untuk memulai menulis kata pertama dalam karangannya sering membuatnya berkali-kali membuang kertas akibat salah memilih kata.
Keempat, kurangnya keberanian dalam menulis. Menjadi guru dituntut mempunyai loyalitas yang tinggi. Loyalityas tersebut harus ditujukan kepada Negara sesuai dengan aturan perundangan. Namun yang terjadi, loyalitas sering disalah artikan. Pandangan bahwa guru yang loyal adalah mereka yang taat pada atasannya atau pimpinan organisasi, menurut saya adalah pandangan yang keliru. Loyalitas seperti ini akan membuatnya kehilangan keberanian dalam mengungkapkan gagasan yang mungkin dianggapnya menyimpang dari kebijakan atasan. Pandangan bahwa guru yang loyal adalah guru yang menaati semua kemauan dan perintah atasannya telah berperan besar dalam membuat guru kurang berani menunjukkan otoritas pribadinya. Ia lebih terbawa pada arus pemikiran atasannya, ketimbang menuruti gagasannya sendiri, ia tidak produktif dan tidak kreatif. Ia terjebak dalam budaya ABS-asal bapak senang.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa sumber daya manusia pendidik masih jauh dari professional karena masih kurang didukung oleh kompentensi yang dimilkinya. Dalam hal ini guru masih kurang untuk mengasah keterampilannya dalam menulis. Guru juga masih kurang untuk membudayakan membaca pada dirinya, meningkatkan motivasi dan keberanian untuk menuangkan gagasan pengalamannya dalam bentuk tulisan/cerita yang dapat disampaikan kepada peserta didik.
2. Ekstern
a. Ekonomi
Royalti yang diterima para penulis buku Indonesia rata-rata belum pantas, masih jauh dari "menyejahterakan". Padahal, seorang penulis buku tak ubahnya manusia biasa yang ingin hidup layak dengan profesi itu. Berbagai alasan dikemukakan penerbit. Mulai buku yang kurang laku, biaya cetak yang mahal, potongan untuk distributor, hingga lain-lain. Jadi menulis buku tak menguntungkan secara materi. Bahkan beberapa penulis kemudian memilih menjadi penulis opini untuk media massa, yang ternyata malah mampu menghidupinya.
Akibat harga buku yang masih mahal membuat buku-buku bajakan, terutama buku perguruan tinggi tumbuh subur dengan harga jual yang hanya setengah malah seperempat dari harga buku penerbit resmi.
b. IPTEK
Perkembangan iptek, seperti dengan adanya telivisi, dan internet akan mempengaruhi minat baca. Kehadiran televisi serta-merta memengaruhi pola hidup dan pola konsumsi masyarakat. Harus diakui, ada korelasi kuat antara dunia perbukuan dan menonton televisi. Sebelum pemerintah mendirikan TVRI pada awal 1960-an, produksi buku Indonesia mencapai 1.500 judul per tahun. Setelah itu, produksi menurun menjadi hanya 700-an judul buku per tahun. Meski muncul tren naik, terutama pada 1995-an yang mencapai 5.800 judul, produksi buku harus dikaitkan dengan pertambahan penduduk dan perbaikan sektor ekonomi. Yang jelas, televisi kini lebih digemari dan banyak orang yang enjoy bertafakur berjam-jam di depannya ketimbang membaca buku.
Kondisi itu secara langsung menjadi hambatan tersendiri bagi perkembangan dunia perbukuan kita. Kuatnya dominasi budaya menonton mengakibatkan perbukuan kita sulit berkembang. Budayawan Taufiq Ismail pernah membandingkan bacaan siswa Indonesia dengan siswa negara lain. Terdapat jurang teramat lebar, siswa Indonesia (nol buku), Malaysia (enam buku), dan Amerika (30-an buku) selama duduk di bangku SMU.
Dalam Dalam Kongres Perbukuan I (1995) dikemukakan antara lain bahwa kurangnya jumlah penulis/pengarang, penerjemah, dan penyadur di Indonesia ialah:
1. Hak cipta penulis/pengarang, penerjemah, dan penyadur kurang terlindungi sehingga menimbulkan maraknya pembajakan karya tulisan yang sangat merugikan profesi ini.
2. Imbalan atau royalty penulis/pengarang, penerjemah, dan penyadur masih tergolong rendah dan tidak menarik disebabkan oleh pasaran buku masih belum baik dan manajemen kebanyakan penerbit belum terbuka/transparan.
3. Terbatasnya jumlah penulis/pengarang, penerjemah, dan penyadur yang memiliki kemampuan dan waktu yang cukup untuk menulis naskah-naskah ilmiah.
4. Belum semua perguruan tinggi membekali mahasiswanya dengan kemampuan menulis naskah buku.
C. Solusi
1. Program Pemerintah
a. Peningkatan SDM.
Para penulis sudah saatnya tidak terlalu bergantung dengan penerbit dan toko-toko buku besar. Maraknya percetakan dengan biaya murah telah memungkinkan pengarang untuk menerbitkan sendiri buku-bukunya (Self Publishing). Untuk pemasaran bisa dilakukan secara langsung melalui internet. Beberapa pengarang seperti Sapardi Djoko Damono dan Dewi Lestari telah mulai menerbitkan sendiri bukunya dan menjualnya melalui internet. Para penerbit besar juga sebenarnya sudah mulai melakukan penjualan online lewat internet.
b. UU perlindungan Karya Tulis
Pemerintah harus secara proaktif memberantas praktek pembajakan buku. Tindakan konkrit antara lain berupa undang-undang yang menetapkan hukuman penjara berat untuk pelaku dan pengedar buku bajakan. Selama ini terlihat bahwa pemerintah dan aparat penegak hukum seperti tutup mata dengan kondisi yang ada. Terbukti dengan penjualan buku-buku bajakan secara bebas di beberapa tempat penjualan buku. Selain itu, pemerintah dan asosiasi penerbit perlu mengkampanyekan anti buku bajakan kepada masyarakat khususnya siswa seolah dengan menjelaskan tujuan kampanye tersebut.
Ketiga, penerbit dan pemerintah harus berupaya menurunkan harga buku untuk menghindari praktek pembajakan dan sekaligus menaikkan oplah buku yang dicetak. Upaya menurunkan biaya produksi buku bisa disiasati dengan menampilkan iklan yang sesuai dengan isi buku tersebut. Namun perusahaan mau membayar iklan umumnya jika tiras buku dalam jumlah yang tinggi. Dengan harga buku yang lebih murah berkat subsidi iklan, akan lebih mudah manikkan jumlah oplah buku sehingga lebih banyak masyarakat yang mampu membeli buku tersebut.
c. Royalti masih rendah :
Pemerintah harus menetapkan persentase minimal yang menjadi hak penulis, misalnya 30% dari harga buku. Dengan penetapan persentase minimal tersebut, penulis akan terlindung dan terjamin hak-haknya dan bisa menutup biaya yang telah dikeluarkan selama proses penulisan buku tersebut maupun biaya penulisan buku selanjutnya.
2. Pengembangan Diri Guru
Posisi guru merupakan kelompok yang paling banyak berjasa dalam menciptakan generasi unggul. Karena berkat kesabaran yang dimilikinya, guru berhasil mengantarkan sejumlah manusia kegerbang kesuksesan. Oleh karena itu sebagai profesi, guru harus dapat merebut dan mendapat kepercayaan publik melalui peningkatan kualitas layanan pendidikan dan pembelajaran.
Dalam melaksanakan tugasnya guru dituntut profesional. Menurut UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, menuntut penyesuaian penyelenggarakan pendidikan dan pendidikan guru menjadi guru profesional.
“Pengakuan terhadap guru sebagai tenaga profesional akan diberikan manakala guru telah memiliki : kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik (pasal 8). Kualifikasi akademik harus diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau Diploma IV (pasal 9). Sertifikat pendidik diperoleh guru setelah mengikutipendidikan profesi (pasal 10 ayat 1). Jenis-jenis kompetensi yang dimaksud meliputi kompetensi pedagogik, kpribadian, sosial dan akademik. (pasal 10 ayat 1)”.
Salah satu kompetensi profesional yang harus dimiliki guru meningkatkan kujalitas pembelajaran melalui penelitian tindakan kelas. Diharapkan guru mau dan mampu melakukan penelitan tindakan kelas, sehingga akhirnya guru bisa memproduksi buku yang bermanfaat tertutama bidang pendidikan. Dalam melaksanakan tugasnya guru memerlukan rasa aman termasuk dalam menulis buku atau melakukan penelitia. Dalam Undang-Undang 20 tentang sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa setiap tenaga kependidikan yang bekerja pada satuan pendidikan tertentu mempunyai hak memperoleh perlindunga hukum (pasal 30 ayat 3). Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 1992 tentang tenaga kependidikan dalam pasal 60 secara lebih rinci dinyatakan :
1) Perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kependidikan yang bekerja pada satuan pendidikan baik di jalur sekolah maupun di jalur pendidikan luar sekolah.
2) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a) Rasa aman dalam melaksanakan, baik tugas mengajar maupun tugas lain yang berhubungan dengan tugas mengajar.
b) Perlindungan terhadap keadaan membahayakan yang dapat mengancam jiwa, baik karena alam maupun perbuatan manusia.
c) Perlindungan dari pemutusan hubungan kerja secara sepihak yang merugikan tenaga kependidikan.
d) Penyelenggaraan usaha kesejahteraan sosial bagi tenaga kependidikan yang sesuai dengan tuntutan tugasnya.
3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh menteri.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa guru merupakan ujung tombak keberhasilan pendidikan. Dalam melaksanakan tugasnya guru dituntut profesional baik secara akademik, kompetensi maupun sertifikat pendidik. Agar guru dapat bekerja profesional seharusnya benar-benar mendapat perlundungan hukum baik baik tugas mengajar maupun tugas lain yang berhubungan dengan tugas mengajar, seperti dalam karyanya untuk menulis buku ataupun dalam melaksanakan penelitian.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari berbagai kajian tentang masyarakat membaca dapat disimpulkan sejumlah masalah berikut.
1. Buku belum menjadi prioritas kebutuhan masyarakat.
2. Harga buku di Indonesia relative tinggi, sehingga daya beli pada masyarakat umumnya masih belum memadai untuk menjangkau harga buku.
3. Kemajuan teknologi komunikasi, terutama elektronik memberikan pengaruh negatif dalam peningkatan minat dan kegemaran membaca
4. Masih kuatnya budaya dengar dan budaya lisan masyarakat. Dan belum terbiasanya masyarakat menyampaikan pendapat/pikiran atau gagasan secara tertulis.
5. Sistem pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan kurang mendukung peningkatan minat dan kegemaran membaca peserta didiknya.
B. SARAN
1. Sebaiknya buku menjadi prioritas kebutuhan guru/dosen
2. Sebaiknya harga buku disesuaikan dengan daya beli masyarakat (guru/dosen).
3. Pemerintah sebaiknya memberdayakan teknologi komunikasi sebagai alat/media informasi edukatif lebih banyak lagi dibandingkan dengan informasi hiburan.
4. Menciptakan budaya membaca dan menuangkan dalam bentuk tulisan/cerita yang dialami dalam proses pembelajaran.
5. Pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan sebaiknya lebih gencar lagi dalam mencanangkan budaya membaca.
C. REKOMENDASI
1. Pemerintah mewajibkan guru/dosen untuk membuat karya tulis ilmiah berupa PTK/buku.
2. Pemerintah agar lebih optimal untuk mengontrol harga buku, menurunkan harga kertas dan memberantas pembajakan.
3. Kemenkominfo sebaiknya memberikan durasi minimal/persentase tayangan edukatif kepada seluruh stasiun televise swasta.
4. Pemerintah sebaiknya lebih maksimal dalam memberikan pelayanan perpustakaan keliling.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rahman A. Ghani. 2009. Mengurai Simpul Pendidikan. Jakarta : UHAMKA PRESS.
Ahmad Rizali, Indra Djati Sidi & Satria Dharma. Dari guru konvensional menuju Guru profesioanal. Jakarta : Grasindo.
Hernowo, Langkah Mudah membuat Buku yang Menggugah. Penerbit MLC, 2005
Irkham. Agus, Prigel Menulis Artikel, Lanarka Publiser, 2007
Leo. Sutanto. Kiat Menulis dan Menerbitkan Buku.Penerbit Erlangga.Jakarta. 2010
Mohamad Surya. 2004. Bunga Rampai Guru dan Pendidikan. Jakarta : Balai Pustaka
Rochiati Wiriaatmadja. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung : Remaja Rosdakarya.
http://bintangsitepu.wordpress.com/2010/10/12/perbukuan-di-indonesia/
http://untungsutikno.wordpress.com/.../budaya-menulis-di-kalangan-gurucermin-sebuah-keprihatinan/
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
BUKU adalah jendela dunia. Ungkapan bernada klise, tapi belum sepenuhnya disadari. Entah karena deraan krisis ekonomi yang masih menyelimuti bangsa ini, sehingga buku belum menjadi kebutuhan yang diperhitungkan atau belum menjadi skala prioritas. Justru yang berkembang adalah anggapan umum, bisa makan tiga kali sehari saja sudah untung.
Ketika membanding-bandingkan dengan negara lain itulah, persoalan perbukuan Indonesia terasa makin gelap. Malaysia saja yang penduduknya sekitar 10 persen dari penduduk Indonesia, menghasilkan 7.000 judul buku per tahun, sedangkan Thailand mencapai 10.000 judul. Indonesia baru menghasilkan buku paling tinggi 5.800 judul per tahun. Berdarkan data tersebut itu menunjukkan, betapa rendahnya tingakt penggapaian ilmu pengetahuan kita di tengah zaman teknologi dan informasi ini.
Sebagai Negara yang sedang bekembang, Indonesia masih mengandalkan buku sebagai salah satu sumber informasi untuk berbagai keperluan termasuk keperluan belajar dan membelajarkan. Hal ini sangat terlihat di lembaga-lembaga pendidikan yang lebih banyak menggunakan buku pelajaran daripada media lainnya. Pemenuhan kebutuhan buku itu ditentukan oleh kemampuan industri buku di Indonesia.
Peranan buku sebagai sumber informasi untuk keperluan belajar dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dianggap semakin penting dan strategis sesuai dengan sifat buku itu sendiri yang antara lain dapat dipergunakan untuk memuat berbagai informasi (tentang ilmu pengetahuan, teknologi, agama, kesenian, dan hiburan), mudah disebarluaskan, harganya relatif murah, dapat dipakai oleh banyak orang, dapat dibawa kemana-mana dan dipergunakan sesuai dengan kesempatan pembacanya. Kelebihan media cetak seperti buku dibandingkan dengan media lainnya seperti media elektronik, menyebabkan kebutuhan akan buku sebagai sumber belajar dan pembelajaran di Indonesia semakin dirasakan, mengingat jumlah penduduk yang begitu besar, wilayah yang begitu luas dengan keadaan geografis yang beraneka ragam, serta kemampuan Pemerintah yang masih kurang dan terbatas dalam menyediakan sumber-sumber belajar lainnya. Di samping itu hasil studi di berbagai negara memperkuat bahwa buku pelajaran merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan belajar siswa. Terdapat korelasi positif antara tersedianya buku pelajaran yang bermutu dengan hasil belajar siswa. Semakin banyak tersedia buku pelajaran yang bermutu dan dibaca siswa, semakin tinggi pula hasil belajarnya.
Guru sebagai ujung tobak keberhasilan pendidikan, seharusnya mau dan mampu menghasilkan buku. Guru menguasai bidang studi serta memiliki pengalaman membelajarkan dengan menggunakan berbagai metode, namun dalam kenyataannya buku yang dihasilkan guru/dosen masih rendah. Pada makalah ini akan dibahas apa penyebabnya buku yang dihasilkan guru/dosen rendah, apa hambatannnya dan bagaimana solusinya.
B. Rumusan Masalah
Dalam kesempatan ini kami akan mencoba memaparkan beberapa permasalahan berkaitan dengan KTSP yaitu :
1. Mengapa produksi buku yang dihasilkan guru/dosen di Indonesia rendah ?
2. Apa hambatan-hambatannya ?
3. Bagaimana solusinya ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan kami mengangkat judul ini adalah :
1. Memperoleh pemahaman baru tentang mengapa produksi buku yang dihasilkan guru/dosen di Indonesia rendah.
2. Mengetahui hambatan-hambatannya dan bagaimana solusinya.
3. Guru/dosen di Indonesia mempunyai keinginan untuk menulis buku/karya ilmiah seperti PTK.
D. Metode penulisan
Dalam proses penyusunan makalah ini kami menggunakan pendekatan metode literature. Yaitu dengan melakukan proses pencarian dan pengumpulan dokumen sebagai sumber-sumber data dan informasi. Metode ini dipilih karena pada hakekatnya sesuai dengan kegiatan penyusunan dan penulisan yang hendak dilakukan.
E. Kegunaan Penulisan
Penulisan ini diharapkan bermanfaat bagi calon-calon pendidik (guru/dosen) di Indonesia. Memperoleh pengertian dan dapat mengembangkan kreativitasnya untuk menulis buku.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Produksi buku
1. Produktivitas buku di Indonesia
1) Segi kualitas
1) kertas
Harga bahan baku kertas yang tinggi karena Pemerintah kurang mampu mengendalikan dan menekan harga bahan baku kertas (pulp). Akibatnya buku yang dihasilkan kurang baik dari segi kertasnya. Sehingga mengurangi orang untuk membeli buku, karena bukunya kurang menarik.
2) Topik dan judul
Langkah awal untuk memulai penulisan yang sederhana dan mudah adalah memikirkan dan menentukan ruang lingkup topik. Menurut Rowling yang dikutip Sutanto Leo dalam Idam dan Muslik (2004) menyatakan “Mulailah menulis apa uang kamu tahu”. Selanjutnya Sutanto mengutip pendapat dari Oshima dan Hogue (1991) bahwa “penulis dapat menulis buku dengan jelas, lengkap, dan efektif bila topiknya spesifik”
Pendapat di atas disimpulkan bahwa menulis dimulai dengan topik yang kita ketahui sehingga dalam menuangkan kata-kata akan lebih mudah, terinci, jelas, menarik dan bisa menarik minat pembaca untuk mengetahui lebih dalam.
Selain topik dalam menulis buku sangat perlu diperhatikan oleh penulis adalah judul. Satu hal yang harus kita camkan adalah bahwa kita tidak dapat mengandalkan judul semata karena yang paling penting adalah isi buku. Judul yang bagus tidak akan dapat menyelamatkan isi buku yang buruk. Namun sebaliknya, isi buku yang bagus memang harus didukung dengan judul yang bagus. Jika tidak didukung judul yang bagus, isi buku yang bagus bisa jadi sia-sia karena tidak menarik pembaca atau pembeli.
3) Desain
Desain berkaitan dengan seni rancangan gambar, tata letak, dan tampilan yang dicangkokkan pada suatu buku demi menarik pembacanya. Penulis yang kreatif, artistik, dan berdaya imajinasi tinggi bisa mendesain buku yang menarik. Bila penulis merasa tidak kreatif dan kurang artistik, tidak perlu khawatir karena penerbit biasanya memiliki tim khusus yang menangani desain buku.
2) Segi kuantitas
Produksi buku di Indonesia sangat memprihatinkan. Indonesia hanya menerbitkan sekitar 3000 buku baru setiap tahunnya. Jumlah judul buku yang diterbitkan setiap tahunnya hanya 0,0009 % dari total penduduknya. Berarti setiap penduduk Indonesia hanya menikmati sembilan judul buku baru. Sementara Malaysia yang berpenduduk 20 juta orang, bisa menerbitkan 8000 judul buku pertahun. Amerika Serikat sebagai negara maju bisa menerbitkan 100000 judul buku baru setiap tahunnya. Dapat disimpulkan Indonesia hanya memproduksi buku 3000/tahun, Malaysia 8000 judul buku/tahun dan Amerika 100.000/tahun.
Banyak faktor yang menjadi penyebab produksi buku di Indonesia tergolong rendah. Di antaranya, faktor daya beli masyarakat serta kebiasaan membaca masyarakat (reading habit) yang masih rendah. Berdasarkan data, minat baca masyarakat Indonesia menduduki peringkat keempat di kawasan Asia Tenggara, setelah Malaysia, Thailand, dan Singapura.
Bisa jadi, rendahnya kebiasaan membaca itu berkaitan erat dengan daya beli masyarakat. Jika dibandingkan dengan ketiga negara tetangga itu, daya beli masyarakat Indonesia memang masih tergolong rendah. Pada 2008, pendapatan per kapita masyarakat Indonesia masih sekitar 2.271 dollar AS. Angka itu jauh di bawah pendapatan per kapita Singapura yang mencapai 36.000 dollar AS pada periode yang sama.
Dengan daya beli yang rendah, tidak heran jika masyarakat Indonesia menempatkan belanja buku pada peringkat bawah setelah terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer. Kalau demikian keadaannya, program pengadaan buku-buku murah tampaknya perlu dibangkitkan kembali. Di sinilah kembali diuji komitmen pemerintah dan para penerbit untuk memproduksi banyak buku. Dengan demikian, era gelap Indonesia tanpa buku tidak akan terulang lagi.
2. Alasan Guru/Dosen enggan memproduksi buku
Sungguhpun terdapat orang yang hidup dari pekerjaan menulis, jumlahnya tidak banyak. Kebanyakan penulis/pengarang di Indonesia mempunyai profesi utama lain di antaranya sebagai tenaga kependidikan (guru dan dosen) atau praktisi dengan keahlian khusus. Kelompok ini sebenarnya sangat potensial untuk menulis, mengarang, menerjemahkan dan menyadur naskah. Berdasarkan sayembara menulis naskah buku di kalangan guru SD, SLTP, dan SLTA yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Nasional sejak tahun 1988 – 2004 menunjukkan bahwa tidak sampai 2% dari jumlah semua guru di Indonesia yang mengikuti sayembara itu setiap tahunnya. Dari laporan penyelenggaraan sayembara ini diduga bahwa sungguhpun kebanyakan guru menguasai bidang studi serta memiliki pengalaman membelajarkan dengan menggunakan berbagai metode, masih sedikit guru yang menguasi teknik menulis naskah buku pelajaran. Dugaan ini juga diperkuat oleh kelemahan-kelemahan penulisan naskah dalam sayembara itu. Keadaan ini dapat dimaklumi karena di lembaga pendidikan tenaga kependidikan, calon guru pada umumnya tidak mempelajari secara khusus teknik penulisan naskah buku pelajaran.
B. Hambatan
1. Intern
Kompetensi Guru dan Dosen
Dalam manajemen sumber daya manusia seseorang dituntut untuk menjadi professional dalam bidang pekerjaannya yang tidak lepas dari kompetensi yang dimilikinya. Kompetensi menurut Hernowo adalah kemampuan yang dimiliki seseorang yang kemudian menjadikannya unggul dalam bidang tertentu dan sangat siap untuk bersaing . Sedangkan profesional adalah tuntutan jabatan, pekerjaan ataupun profesi. Ada satu hal penting yang menjadi aspek bagi sebuah profesi, yaitu sikap profesional dan kualitas kerja. Profesional (dari bahasa Inggris) berarti ahli, pakar, mumpuni dalam bidang yang digeluti.
Dalam perspektif pengembangan sumber daya manusia, menjadi profesional adalah satu kesatuan antara konsep personaliti dan integritas yang dipadupadankan dengan skil atau keahliannya
Kompetensi menulis pada kalangan guru masih belum menjadi budaya. Hal ini dapat dilihat masih banyak di antara guru membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sebagai tugas utama. Dengan demikian pengembangan profesi dan pengembangan diri guru dalam mengekspresikan diri masih sangat rendah.
Menurut Untung Sutikno dalam artikelnya mengatakan banyak kendala yang menghadang aktivitas menulis di kalangan guru. Pertama, dari sisi guru, mereka banyak yang tidak mempunyai budaya membaca yang baik. Mereka umumnya miskin bahan bacaan atau referensi. Ada ungkapan yang mengatakan, penulis yang baik berawal dari pembaca yang baik. Coba saja amati di sekeliling anda. Berapa banyak guru yang mempunyai perpustakaan pribadi. Berapa banyak guru yang sering mengunjungi perpustakaan umum untuk mencari referensi. Berapa banyak guru yang berlangganan koran atau majalah? Berapa banyak guru yang bisa dan biasa berselancar di internet? Jawaban atas pertanyaan-tertanyaan tersebut dapat mencerminkan apakah guru mempunyai budaya membaca yang baik atau sebaliknya.
Kedua, motivasi yang rendah di kalangan guru untuk menulis. Tidak sedikit guru yang walaupun telah banyak memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, namun enggan untuk menulis. Dalam kaitan ini Agus Irkham menegaskan bahwa kegagalan seorang untuk menjadi penulis, minimal menulis, justru lebih banyak disebabkan oleh lemahnya motivasi. Termasuk habit atau kebiasaan hidup yang dapat mendukung keprigelan dan tradisi menulis yang kuat.
Kendala ketiga, guru yang miskin gagasan. Andaikan para guru di seluruh Indonesia dapat menulis buku untuk para muridnya. Andaikan para guru dapat memperkaya para muridnya dengan cerita-cerita yang mengasyikkan, ditulis oleh mereka di karya-karya tulis mereka. Andaikan artikel-artikel, opini dan celoteh guru banyak mengisi lembaran surat kabar dan majalah. Namun, mengapa tidak banyak guru yang mau menulis. Kurangnya gagasan dalam menulis membuat guru tidak tahu apa yang akan ditulis. Bahkan untuk memulai menulis kata pertama dalam karangannya sering membuatnya berkali-kali membuang kertas akibat salah memilih kata.
Keempat, kurangnya keberanian dalam menulis. Menjadi guru dituntut mempunyai loyalitas yang tinggi. Loyalityas tersebut harus ditujukan kepada Negara sesuai dengan aturan perundangan. Namun yang terjadi, loyalitas sering disalah artikan. Pandangan bahwa guru yang loyal adalah mereka yang taat pada atasannya atau pimpinan organisasi, menurut saya adalah pandangan yang keliru. Loyalitas seperti ini akan membuatnya kehilangan keberanian dalam mengungkapkan gagasan yang mungkin dianggapnya menyimpang dari kebijakan atasan. Pandangan bahwa guru yang loyal adalah guru yang menaati semua kemauan dan perintah atasannya telah berperan besar dalam membuat guru kurang berani menunjukkan otoritas pribadinya. Ia lebih terbawa pada arus pemikiran atasannya, ketimbang menuruti gagasannya sendiri, ia tidak produktif dan tidak kreatif. Ia terjebak dalam budaya ABS-asal bapak senang.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa sumber daya manusia pendidik masih jauh dari professional karena masih kurang didukung oleh kompentensi yang dimilkinya. Dalam hal ini guru masih kurang untuk mengasah keterampilannya dalam menulis. Guru juga masih kurang untuk membudayakan membaca pada dirinya, meningkatkan motivasi dan keberanian untuk menuangkan gagasan pengalamannya dalam bentuk tulisan/cerita yang dapat disampaikan kepada peserta didik.
2. Ekstern
a. Ekonomi
Royalti yang diterima para penulis buku Indonesia rata-rata belum pantas, masih jauh dari "menyejahterakan". Padahal, seorang penulis buku tak ubahnya manusia biasa yang ingin hidup layak dengan profesi itu. Berbagai alasan dikemukakan penerbit. Mulai buku yang kurang laku, biaya cetak yang mahal, potongan untuk distributor, hingga lain-lain. Jadi menulis buku tak menguntungkan secara materi. Bahkan beberapa penulis kemudian memilih menjadi penulis opini untuk media massa, yang ternyata malah mampu menghidupinya.
Akibat harga buku yang masih mahal membuat buku-buku bajakan, terutama buku perguruan tinggi tumbuh subur dengan harga jual yang hanya setengah malah seperempat dari harga buku penerbit resmi.
b. IPTEK
Perkembangan iptek, seperti dengan adanya telivisi, dan internet akan mempengaruhi minat baca. Kehadiran televisi serta-merta memengaruhi pola hidup dan pola konsumsi masyarakat. Harus diakui, ada korelasi kuat antara dunia perbukuan dan menonton televisi. Sebelum pemerintah mendirikan TVRI pada awal 1960-an, produksi buku Indonesia mencapai 1.500 judul per tahun. Setelah itu, produksi menurun menjadi hanya 700-an judul buku per tahun. Meski muncul tren naik, terutama pada 1995-an yang mencapai 5.800 judul, produksi buku harus dikaitkan dengan pertambahan penduduk dan perbaikan sektor ekonomi. Yang jelas, televisi kini lebih digemari dan banyak orang yang enjoy bertafakur berjam-jam di depannya ketimbang membaca buku.
Kondisi itu secara langsung menjadi hambatan tersendiri bagi perkembangan dunia perbukuan kita. Kuatnya dominasi budaya menonton mengakibatkan perbukuan kita sulit berkembang. Budayawan Taufiq Ismail pernah membandingkan bacaan siswa Indonesia dengan siswa negara lain. Terdapat jurang teramat lebar, siswa Indonesia (nol buku), Malaysia (enam buku), dan Amerika (30-an buku) selama duduk di bangku SMU.
Dalam Dalam Kongres Perbukuan I (1995) dikemukakan antara lain bahwa kurangnya jumlah penulis/pengarang, penerjemah, dan penyadur di Indonesia ialah:
1. Hak cipta penulis/pengarang, penerjemah, dan penyadur kurang terlindungi sehingga menimbulkan maraknya pembajakan karya tulisan yang sangat merugikan profesi ini.
2. Imbalan atau royalty penulis/pengarang, penerjemah, dan penyadur masih tergolong rendah dan tidak menarik disebabkan oleh pasaran buku masih belum baik dan manajemen kebanyakan penerbit belum terbuka/transparan.
3. Terbatasnya jumlah penulis/pengarang, penerjemah, dan penyadur yang memiliki kemampuan dan waktu yang cukup untuk menulis naskah-naskah ilmiah.
4. Belum semua perguruan tinggi membekali mahasiswanya dengan kemampuan menulis naskah buku.
C. Solusi
1. Program Pemerintah
a. Peningkatan SDM.
Para penulis sudah saatnya tidak terlalu bergantung dengan penerbit dan toko-toko buku besar. Maraknya percetakan dengan biaya murah telah memungkinkan pengarang untuk menerbitkan sendiri buku-bukunya (Self Publishing). Untuk pemasaran bisa dilakukan secara langsung melalui internet. Beberapa pengarang seperti Sapardi Djoko Damono dan Dewi Lestari telah mulai menerbitkan sendiri bukunya dan menjualnya melalui internet. Para penerbit besar juga sebenarnya sudah mulai melakukan penjualan online lewat internet.
b. UU perlindungan Karya Tulis
Pemerintah harus secara proaktif memberantas praktek pembajakan buku. Tindakan konkrit antara lain berupa undang-undang yang menetapkan hukuman penjara berat untuk pelaku dan pengedar buku bajakan. Selama ini terlihat bahwa pemerintah dan aparat penegak hukum seperti tutup mata dengan kondisi yang ada. Terbukti dengan penjualan buku-buku bajakan secara bebas di beberapa tempat penjualan buku. Selain itu, pemerintah dan asosiasi penerbit perlu mengkampanyekan anti buku bajakan kepada masyarakat khususnya siswa seolah dengan menjelaskan tujuan kampanye tersebut.
Ketiga, penerbit dan pemerintah harus berupaya menurunkan harga buku untuk menghindari praktek pembajakan dan sekaligus menaikkan oplah buku yang dicetak. Upaya menurunkan biaya produksi buku bisa disiasati dengan menampilkan iklan yang sesuai dengan isi buku tersebut. Namun perusahaan mau membayar iklan umumnya jika tiras buku dalam jumlah yang tinggi. Dengan harga buku yang lebih murah berkat subsidi iklan, akan lebih mudah manikkan jumlah oplah buku sehingga lebih banyak masyarakat yang mampu membeli buku tersebut.
c. Royalti masih rendah :
Pemerintah harus menetapkan persentase minimal yang menjadi hak penulis, misalnya 30% dari harga buku. Dengan penetapan persentase minimal tersebut, penulis akan terlindung dan terjamin hak-haknya dan bisa menutup biaya yang telah dikeluarkan selama proses penulisan buku tersebut maupun biaya penulisan buku selanjutnya.
2. Pengembangan Diri Guru
Posisi guru merupakan kelompok yang paling banyak berjasa dalam menciptakan generasi unggul. Karena berkat kesabaran yang dimilikinya, guru berhasil mengantarkan sejumlah manusia kegerbang kesuksesan. Oleh karena itu sebagai profesi, guru harus dapat merebut dan mendapat kepercayaan publik melalui peningkatan kualitas layanan pendidikan dan pembelajaran.
Dalam melaksanakan tugasnya guru dituntut profesional. Menurut UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, menuntut penyesuaian penyelenggarakan pendidikan dan pendidikan guru menjadi guru profesional.
“Pengakuan terhadap guru sebagai tenaga profesional akan diberikan manakala guru telah memiliki : kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik (pasal 8). Kualifikasi akademik harus diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau Diploma IV (pasal 9). Sertifikat pendidik diperoleh guru setelah mengikutipendidikan profesi (pasal 10 ayat 1). Jenis-jenis kompetensi yang dimaksud meliputi kompetensi pedagogik, kpribadian, sosial dan akademik. (pasal 10 ayat 1)”.
Salah satu kompetensi profesional yang harus dimiliki guru meningkatkan kujalitas pembelajaran melalui penelitian tindakan kelas. Diharapkan guru mau dan mampu melakukan penelitan tindakan kelas, sehingga akhirnya guru bisa memproduksi buku yang bermanfaat tertutama bidang pendidikan. Dalam melaksanakan tugasnya guru memerlukan rasa aman termasuk dalam menulis buku atau melakukan penelitia. Dalam Undang-Undang 20 tentang sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa setiap tenaga kependidikan yang bekerja pada satuan pendidikan tertentu mempunyai hak memperoleh perlindunga hukum (pasal 30 ayat 3). Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 1992 tentang tenaga kependidikan dalam pasal 60 secara lebih rinci dinyatakan :
1) Perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kependidikan yang bekerja pada satuan pendidikan baik di jalur sekolah maupun di jalur pendidikan luar sekolah.
2) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a) Rasa aman dalam melaksanakan, baik tugas mengajar maupun tugas lain yang berhubungan dengan tugas mengajar.
b) Perlindungan terhadap keadaan membahayakan yang dapat mengancam jiwa, baik karena alam maupun perbuatan manusia.
c) Perlindungan dari pemutusan hubungan kerja secara sepihak yang merugikan tenaga kependidikan.
d) Penyelenggaraan usaha kesejahteraan sosial bagi tenaga kependidikan yang sesuai dengan tuntutan tugasnya.
3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh menteri.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa guru merupakan ujung tombak keberhasilan pendidikan. Dalam melaksanakan tugasnya guru dituntut profesional baik secara akademik, kompetensi maupun sertifikat pendidik. Agar guru dapat bekerja profesional seharusnya benar-benar mendapat perlundungan hukum baik baik tugas mengajar maupun tugas lain yang berhubungan dengan tugas mengajar, seperti dalam karyanya untuk menulis buku ataupun dalam melaksanakan penelitian.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari berbagai kajian tentang masyarakat membaca dapat disimpulkan sejumlah masalah berikut.
1. Buku belum menjadi prioritas kebutuhan masyarakat.
2. Harga buku di Indonesia relative tinggi, sehingga daya beli pada masyarakat umumnya masih belum memadai untuk menjangkau harga buku.
3. Kemajuan teknologi komunikasi, terutama elektronik memberikan pengaruh negatif dalam peningkatan minat dan kegemaran membaca
4. Masih kuatnya budaya dengar dan budaya lisan masyarakat. Dan belum terbiasanya masyarakat menyampaikan pendapat/pikiran atau gagasan secara tertulis.
5. Sistem pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan kurang mendukung peningkatan minat dan kegemaran membaca peserta didiknya.
B. SARAN
1. Sebaiknya buku menjadi prioritas kebutuhan guru/dosen
2. Sebaiknya harga buku disesuaikan dengan daya beli masyarakat (guru/dosen).
3. Pemerintah sebaiknya memberdayakan teknologi komunikasi sebagai alat/media informasi edukatif lebih banyak lagi dibandingkan dengan informasi hiburan.
4. Menciptakan budaya membaca dan menuangkan dalam bentuk tulisan/cerita yang dialami dalam proses pembelajaran.
5. Pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan sebaiknya lebih gencar lagi dalam mencanangkan budaya membaca.
C. REKOMENDASI
1. Pemerintah mewajibkan guru/dosen untuk membuat karya tulis ilmiah berupa PTK/buku.
2. Pemerintah agar lebih optimal untuk mengontrol harga buku, menurunkan harga kertas dan memberantas pembajakan.
3. Kemenkominfo sebaiknya memberikan durasi minimal/persentase tayangan edukatif kepada seluruh stasiun televise swasta.
4. Pemerintah sebaiknya lebih maksimal dalam memberikan pelayanan perpustakaan keliling.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rahman A. Ghani. 2009. Mengurai Simpul Pendidikan. Jakarta : UHAMKA PRESS.
Ahmad Rizali, Indra Djati Sidi & Satria Dharma. Dari guru konvensional menuju Guru profesioanal. Jakarta : Grasindo.
Hernowo, Langkah Mudah membuat Buku yang Menggugah. Penerbit MLC, 2005
Irkham. Agus, Prigel Menulis Artikel, Lanarka Publiser, 2007
Leo. Sutanto. Kiat Menulis dan Menerbitkan Buku.Penerbit Erlangga.Jakarta. 2010
Mohamad Surya. 2004. Bunga Rampai Guru dan Pendidikan. Jakarta : Balai Pustaka
Rochiati Wiriaatmadja. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung : Remaja Rosdakarya.
http://bintangsitepu.wordpress.com/2010/10/12/perbukuan-di-indonesia/
http://untungsutikno.wordpress.com/.../budaya-menulis-di-kalangan-gurucermin-sebuah-keprihatinan/
ANGGARAN PENDIDIKAN DAN ANGKA PUTUS SEKOLAH
BAB I
PENDAHULUAN
PENDIDIKAN formal memang bukan segala-galanya. Beberapa pengusaha besar di Indonesia misalnya, konglomerat Liem Sioe Liong cuma lulusan sekolah dasar. Tapi itu kasus yang istimewa. Dalam kenyataan yang umum, tingkat pendidikan berpengaruh mutlak terhadap peluang bekerja, posisi di bidang kerja, tingkat salary dan fasilitas yang dapat dinikmati; menentukan pula terhadap perilaku individu dalam rumah tangga, tanggung jawab sosial; dan mempengaruhi bobot independensi individu di bidang sosial-politik. Kita tidak usah menjadi ahli sosiologi kalau cuma untuk memahami konsekuensi logis dari bencana ini. Secara kasat mata saja kita sudah bisa melihat dampak langsung dari begitu besarnya angka putus sekolah di Indonesia. Pengamen cilik dan usia remaja kini bergentayangan di seluruh wilayah negeri ini. Tidak hanya di kota-kota besar, mereka hadir sampai di desa-desa dan menyebarkan kebisingan, gangguan dan kecemasan.
Bayangkan, 8 juta remaja yang masih labil dan mencari identitas diri terpaksa putus sekolah; terpaksa meninggalkan teman-temannya yang masih terus bersekolah; dan terpaksa menelan kenyataan. Menurut Arist Merdeka Sirait, sebagaimana diberitakan surat kabar Kompas edisi Selasa (18/3), ”Dampak ikutan, anak-anak yang berkeliaran di jalan-jalan di Jakarta juga akan terus bertambah. Setelah mereka putus sekolah tentu mereka akan berupaya membantu ekonomi keluarga dengan bekerja apa pun.” kenyataan pahit sebagai manusia yang gagal dan tereliminasi. Ini problem sosial yang dahsyat! “Bekerja apapun” adalah sebuah pesan yang sangat jelas, meski sengaja disampaikan secara samar. Artinya, dalam rangka stuggle for life atau demi melanjutkan gaya hidup yang terlanjur konsumtif; bisa saja mereka menjadi pedagang asongan, pengamen, pengemis, kuli panggul, pencopet, pedagang narkoba; atau menjadi pembantu rumah tangga, kawin di usia dini atau menjadi pelacur.
Menurut catatan Komnas Perlindungan Anak, pada tahun 2007 sekitar 155.965 anak Indonesia hidup di jalanan. Sementara pekerja di bawah umur
sekitar 2,1 juta jiwa. Anak-anak yang hidup di jalanan itu juga sangat potensial disalahgunakan oleh kejahatan yang terorganisasi. Tekanan untuk bertahan hidup dan godaan untuk hidup mewah adalah dua titik lemah para remaja yang masih labil itu; sehingga mereka bisa dibujuk dengan gampang untuk melakukan tindak kriminal dan sangat rawan menjadi sasaran perdagangan anak. Di Brazil, di antara jutaan anak yang hidup gentayangan di jalanan, sebagian sudah menjelma menjadi monster. Cukup diberi imbalan 100 dolar, anak-anak itu bisa disuruh membunuh orang atau jadi kurir narkoba. Mereka membuat kehidupan sehari-hari di kota-kota besar semacam Rio de Janeiro dan Sao Paulo bisa berubah menjadi horor, tanpa disangka-sangka. Warga pun jadi resah, dan pemerintah kota yang kurang panjang akal dan tidak bermoral kemudian merespon kepanikan masyarakat dengan jalan pintas : anak-anak itu ditembaki dan dibunuh secara massal– pada malam hari ketika mereka tertidur di taman-taman kota atau di emperan-emperan toko. Jalan pintas dan cara-cara yang tidak manusiawi dalam menanggulangi problem urbanisasi —termasuk masalah anak-anak jalanan, kini sudah banyak dipraktekkan oleh sejumlah pemda di pulau Jawa. Baru-baru ini, aparat Polisi Pamongpraja Kotamadya Serang menciduk para gelandangan di malam hari, kemudian orang-orang yang malang itu diangkut dengan kendaraan dan dibuang di wilayah Kabupaten Pandeglang. Siapa sangka, tindakan biadab seperti itu bisa dilakukan oleh aparat pemerintah di sebuah negara yang berazaskan Pancasila, di sebuah provinsi yang berambisi menyaingi Aceh sebagai Serambi Mekah? Inilah potret buram dunia pendidikan Indonesia hari ini. Kalau ternyata Anda tiba-tiba diliputi rasa bersalah, prihatin dan cemas setelah melihat potret jelek itu, beryukurlah, ternyata Anda masih normal dan memiliki moral yang tinggi. Dan bersyukurlah, karena bukan Anda atau kerabat dekat Anda yang hari ini terpaksa putus sekolah, sementara pemerintahan masih saja nekad membuat rasionalisasi untuk mengecoh masyarakat —seolah-olah perekonomian nasional sudah pulih dan bangkit. Percayalah, pemerintah baru akan yakin bahwa ada masalah —sebenarnya lebih tepat disebut bencana nasional, kalau cucu mereka sendiri yang putus sekolah karena tidak ada biaya. Mudah-mudahan itu tidak terjadi, karena kalau sampai terjadi kita tidak bakal sempat menyaksikannya, karena sudah keburu mati akibat kelaparan.
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
Peningkatan jumlah anak putus sekolah di Indonesia sangat mengerikan. Pada tahun 2006 jumlahnya sekitar 9,7 juta anak; namun setahun kemudian sudah bertambah sekitar 20 % menjadi 11,7 juta jiwa. Tidak ada keterangan dari Komnas Perlindungan Anak apakah jumlah tersebut merupakan akumulasi data tahun sebelumnya, lalu ditambah dengan jumlah anak-anak yang baru saja putus sekolah. Tapi kalaupun jumlah itu bersifat kumulatif, tetap saja terasa sangat menyesakkan. Makalah ini akan membahas anggaran pendidikan di Indonesia dan faktor-faktor penyebab tingginya angka putus sekolah.
1. ANGGARAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
1.1. APBN UNTUK ANGGARAN PENDIDIKAN
Kewajiban konstitusi pemerintah untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD belumlah dipenuhi hingga saat ini. APBN Tahun Anggaran 2008 telah disahkan pada Rapat Paripurna DPR, 9 Oktober 2007 lalu dan menetapkan alokasi anggaran pendidikan hanya 12 persen. Dalam RAPBN 2008, alokasi untuk anggaran pendidikan hanya sebesar 12 %, jauh di bawah ketentuan UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa anggaran pendidikan sebesar 20 persen. Formulasi anggaran pendidikan 20% kemudian dirumuskan oleh Pemerintah dan DPR dalam UU 20/2003 tentang Sisdiknas, bahwa gaji pendidik dan biaya kedinasan tidak termasuk dalam anggaran 20%, bahwa pemenuhan amanah konstitusi dengan cara bertahap seperti dalam penjelasan pasal 49 ayat (1) UU sastrality adalah tidak dibenarkan. Hal ini dapat dilihat pada putusan MK No 011/PUU-III/2005, Putusan No. 012/PUU-III/2005, dan Putusan No. 026/PUU-III/2005. Kenyataan APBN 2007 pun tidak sesuai dengan amanah konstitusi. Anggaran pendidikan masih berada pada level 11,8%. Karenanya MK dalam Putusan No. 026/PUU-IV/2007 kembali menegaskan bahwa UU No. 18/2006 tentang APBN 2007 menyangkut anggaran pendidikan adalah bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pemerintah mengulangi kembali pelanggaran konstitusional pada APBN 2008 ini. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengeluarkan keputusan bahwa APBN 2006 dan APBN 2007 melanggar konstitusi. Jadi, dengan tidak tercapainya anggaran pendidikan 20% berarti pemerintah dan DPR bersama-sama mengabaikan keputusan MK. Rupanya keputusan slow MK itu tidak mampu juga menggetarkan kemauan politik para penentu kebijakan di negara ini. Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara Pengabaian juga terjadi terhadap keputusan raker yang telah disepakati antara Komisi X DPR RI dengan tujuh Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, yaitu Menko Kesra, Mendiknas, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan dan Aparatur Negara (Menpan), Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menteri Agama, dan Menteri Keuangan pada 4 Juli 2005 lalu telah menyepakati kenaikan anggaran pendidikan adalah 6,6% pada 2004, menjadi 9,3% (2005), menjadi 12% (2006 ), menjadi 14,7% (2007), menjadi 17,4 % (2008 ), dan terakhir 20,1% (2009). Sementara realisasinya, tahun 2004 anggaran pendidikan masih sekitar 5,5%(2004), dari APBN atau sekitar Rp20,5 triliun. Dan meningkat menjadi Rp 24,6 tiriliun pada 2005. Pada tahun 2006 pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 9% dan dalam APBN 2007 anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar 11,8 persen, Dan APBN 2008 hanya mengalokasikan 12%, nilai ini setara dengan Rp61,4 triliun dari total nilai anggaran Rp854,6 triliun.
1.2 PRIORITAS ANGGARAN PENDIDIKAN
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tidak terpenuhinya alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semata-mata karena terbatasnya anggaran pemerintah. Menurut DPR, belum tercapainya anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN 2008 menunjukan lemahnya kemauan politik (political will) pemerintah untuk memposisikan sektor pendidikan sebagai prioritas utama. Wakil Ketua Komisi Pendidikan (Komisi X) DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan berpendapat anggaran pendidikan yang kian tahun kian membesar tidaklah dapat dijadikan rujukan satu-satunya untuk menilai bahwa pemerintah telah menunjukan komitmennya secara serius. Sebab, lanjut Heri di saat bersamaan, kenaikan juga terjadi pada sektor-sektor lainnya, bahkan ada yang jauh lebih besar dari sektor pendidikan itu sendiri. Sehingga posisi persentase anggaran pendidikan tidak bergeser naik jauh dari tahun-tahun sebelumnya. “Bahkan anggaran pendidikan lebih kecil dari cicilan hutang Indonesia dan anggaran subsidi,” kata Heri. Pada APBN 2008. Pembayaran bunga utang disepakati sebesar Rp91,365 triliun. Sementara subsidi disepakati sebesar Rp97,874 triliun. Kenyataannya, perbandingan di lapangan juga demikian, misalnya di Indonesia biaya pendidikan di universitas hanya 1.300 dolar AS per mahasiswa per tahun, sedangkan di Malaysia 12.000 dolar AS per mahasiswa per tahun. Di pendidikan dasar (SD) di Indonesia hanya 110 dolar per murid per tahun sedangkan di Malaysia 18.900 dolar Amerika per murid per tahun. ”Mengapa kita mendahulukan membayar utang? Apakah ada perintah konstitusi? Sekarang ini bayar utang lebih besar dari pada untuk mendidik anak bangsa ini menghadapi masa depannya,” tandas Heri. Menurutnya, yang bisa dihemat adalah dengan mengurangi belanja untuk membayar utang. Kemudian, menambah penerimaan negara, misalnya dari sektor pajak. Pasalnya, pendidikan ini satu-satunya investasi yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
1.3 ALOKASI ANGGARAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
Anggaran Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional tiap tahunnya mengalami peningkatan anggaran. Pada tahun 2006, jumlahnya meningkat cukup besar senilai 40.453.148 dari anggaran 25.819.673 pada tahun 2005.
2. MENAMBAL ANGGARAN PENDIDIKAN
Pemerintah akhirnya mengambil langkah lain untuk menambal biaya pendidikan. BHP adalah salah satu contohnya. Sejak tahun 2004 lalu, RUU Badan Hukum Pendidikan lahir sebagai implementasi pasal 53 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Pada ayat (1) disebutkan bahwa penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Didalam tubuhnya berdiri 10 prinsip: nirlaba, otonom, akuntabel, transparan, penjaminan mutu, layanan prima, akses yang berkeadilan, keberagaman, keberlanjutan, partisipasi atas tanggung jawab negara. Tampaknya cukup meyakinkan. Menurut RUU BHP, peran yayasan sebagai penyelenggara satuan pendidikan dileburkan dalam sebuah lembaga pengambilan keputusan yang disebut sebagai Majelis Wali Amanat. Peranan yayasan terhadap pengambilan keputusan pun hanya punya hak suara sebanyak 49%. Alasannya, ini untuk menghindari sistem hak veto yang mungkin sudah berjalan selama ini. Sedangkan prinsip nirlaba BHP sesuai dengan yang disampaikan oleh Prof Dr. Jacobson, dinyatakan bahwa berdasarkan pengertian nirlaba terdapat dua kategori badan hukum yang legal menjadi BHP.
Pertama, BHP yang didirikan oleh badan hukum nirlaba dengan hak surplus sebanyak- banyaknya 25% dan dapat dibagikan kepada pendiri.
Kedua, BHP yang didirikan oleh badan hukum laba dengan hak surplus pendiri sebanyak-banyaknya sebesar 50%. Menurut penuturannya, aturan inilah yang akan menarik banyak minat para pengusaha untuk menyelenggarakan pendidikan, mengingat keuntungan yang dinilai cukup besar. Diharapkan akan muncul dorongan untuk kreatif dalam menyelenggarakan dan meningkatkan mutu pendidikan pun akan semakin besar.
Diramalkan pula, bahwa nanti akan banyak perguruan-perguruan tinggi swasta yang akan tutup karena tidak “kuat” bertahan dan munculnya persaingan yang ketat antara perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. Prediksinya untuk masa depan pendidikan di Indonesia, akan sangat ditentukan oleh pasar dan kebutuhan industri. Maka menurutnya akan sangat mungkin, pendidikan di Indonesia akan didominasi oleh beberapa kategori yang unggul menurut kacamata pasar.
UU BHP diharapkan sebagai salah satu jalan keluar bagi keterlibatan dan tanggung jawab pemerintah dalam mengatur penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Bagaimana pula dengan harapan masyarakat yang ingin punya kesempatan seluas-luasnya untuk bisa akses ke jenjang pendidikan tinggi? Mengenai kemungkinan pemberian bantuan pendidikan dan beasiswa bagi calon mahasiswa yang cerdas namun berada dalam golongan yang tak mampu, masih diletakkan dalam prioritas yang berbentuk Rancangan Peraturan Pemerintah. Yang secara struktur, diprediksi bahwa kekuatannya lebih lemah daripada kekuatan hukum RUU BHP yang nantinya akan disahkan kabinet. Berkaitan dengan hal ini, Mansur Ramli menyatakan, “Masalah pendanaan pendidikan memang tidak diatur dalam BHP, tapi itu diatur di dalam pemasalahan yang lain yaitu Rancangan Peraturan pemerintah tentang pendanaan pendidikan. Bahwa tanggung jawab pendanaan pendidikan adalah pemerintah.”
Dengan aturan pembagian hak surplus sebesar 25 % dan 50% dalam RUU BHP, cenderung memperlihatkan orientasi penyelengaraan pendidikan Indonesia akan menuju ke arah komersialisasi pendidikan. Keadaan ini bertambah jelas dengan minimnya prioritas pendanaan pendidikan dari pemerintah. Dari jajaran diknas dan legislatif yang hadir sebagai pembicara saat itu, tak ada pernyataan tegas bahwa RUU BHP bisa menjamin Indonesia terhindar dari komersialisasi pendidikan.
3. EFISIENSI DANA PENDIDIKAN DI INDONESIA
Pernyataan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki bahwa tiap tahun terjadi kebocoran anggaran 30 Persen, Sebenarnya sudah pernah dilontarkan oleh almarhum Profesor Soemitro Djojohadikusumo sejak Lebih dari 20 tahun silam. Bayangkan seperti sebuah tradisi, begitu mengakar dan membudaya. 30% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bocor akibat praktik KKN yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa. Memang, kenyataannya hingga kini kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah masih berpotensi menjadi ladang subur korupsi.
Bahkan, temuan Tim Indonesia Bangkit lebih mencengangkan lagi, yaitu pengajuan anggaran belanja dan modal dari seluruh kementrian dan lembaga sarat dengan penggelembungan 200% hingga 300%. Tim Indonesia Bangkit yang beranggotakan ekonom independen itu meneliti efisiensi anggaran pemerintah. Penelitian dilakukan melalui analisis Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) awal yang diajukan kementrian dan lembaga pada kurun waktu 2004 sampai 2006, serta difokuskan pada proyek-proyek infrastruktur dan belanja barang. Hasilnya terdapat perbedaan mencolok antara harga pasar dan anggaran yang diajukan. Lalu, akan berguna kah efisiensi dana yang melulu bocor ini?
Pemerintah merencanakan anggaran pendidikan dalam APBN 2010 mencapai Rp195,6 triliun. Pagu indikatif anggaran 2010 tersebut terdiri atas komponen anggaran pendidikan melalui pemerintah pusat Rp. 82,5 triliun dan transfer ke daerah sebanyak Rp. 113,1 triliun, kata Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, di Jakarta, Rabu (24/6).
Menurut Mendiknas, dari rencana anggaran pendidikan tersebut sekitar 54 persen lebih atau sekitar Rp113,109 triliun diperuntukkan pendukung program wajib belajar sembilan tahun secara gratis. "Rencana anggaran pendidikan 2010 itu mengalami penyusutan dibanding 2009 sebanyak Rp. 207,4 triliun," katanya.
Dana anggaran melalui transfer daerah, antara lain terbesar dana alokasi umum (DAU) pendidikan untuk membayar gaji guru mencapai Rp. 93,31 triliun, dana alokasi khusus Rp. 9,33 triliun, dan dana bagi hasil (DBH) mencapai Rp. 423,2 miliar.
Anggaran tambahan DAU dan dana otonomi khusus pendidikan masing-masing sebesar Rp. 7,94 triliun dan Rp. 2,1 triliun. Dana untuk Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mencapai 57,5 triliun dan Departemen Agama Rp. 22 triliun.
Apakah dunia pendiikan indonesia yang ideal adalah dunia tanpa sekolah?
II. PENGERTIAN PUTUS SEKOLAH.
Berdasarkan fakta yang kongkrit, bahwa setiap anak yang telah memasuki usia balita atau berusia sekitar 7 tahun akan membutuhkan pendidikan, baik itu pendidikan di dalam rumah tangga maupun dalam lingkungan yang formal seperti sekolah, kursus atau bahkan dalam lingkungan masyarakat. Pendidikan tidak hanya di dapat melalui pendidikan formal atau yang sering disebut sekolah, tetapi pendidikan juga didapat dalam lingkungan informal yang bersumber dari keluarga, masyarakat dan lingkungan.
Untuk menghindari terjadinya perbedaan persepsi atau kesalahpahaman dalam persoalan pengertian pendidikan dan putus sekolah, maka penulis akan lebih dahulu mencoba mengemukakan pengertian pendidikan itu sendiri. Pendidikan dapat diartikan sebagai perbuatan mendidik, pengetahuan tentang mendidik. Pendidikan dapat pula diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dan budaya masyarakat. Pendidikan dapat pula diartikan sebagai sebuah proses timbal balik dari pribadi-pribadi manusia dalam menyesuaikan diri dengan manusia lain dan dengan alam semesta. Sedangkan pengertian sekolah menurut WJS. Poerwodarminta adalah bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pelajaran. Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pengertian putus sekolah adalah seseorang yang telah masuk dalam sebuah lembaga pendidikan baik itu pada tingkat SD, SMP, maupun SMA untuk belajar dan menerima pelajaran tetapi tidak sampai tamat atau lulus kemudian mereka berhenti atau keluar dari sekolah.
Pengertian putus sekolah dapat pula diartikan sebagai Drop-Out (DO) yang artinya bahwa seorang anak didik yang karena sesuatu hal, biasa disebabkan karena malu, malas, takut, sekedar ikut-ikutan dengan temannya atau karena alasan lain sehingga mereka putus sekolah ditengah jalan atau keluar dan tidak lagi masuk untuk selama-lamanya.
A. ANGKA PUTUS SEKOLAH
Alangkah ironisnya jika fakta ini kita hubungkan dengan agenda nasional beberapa tahun lalu; betapa anak-anak itu dan orang tua mereka dibujuk dan dirayu melalui kampanye yang sangat masif di televisi; termasuk program populer Ayo Sekolah yang diprakarsai aktor Rano Karno; supaya mereka mau bersekolah. Menurut Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, kasus putus sekolah yang paling menonjol tahun ini terjadi di tingkat SMP, yaitu 48 %. Adapun di tingkat SD tercatat 23 %. Sedangkan prosentase jumlah putus sekolah di tingkat SMA adalah 29 %. Kalau digabungkan kelompok usia pubertas, yaitu anak SMP dan SMA, jumlahnya mencapai 77 %. Dengan kata lain, jumlah anak usia remaja yang putus sekolah tahun ini tak kurang dari 8 juta orang.
Karenanya MK dalam Putusan No. 026/PUU-IV/2007 kembali menegaskan bahwa UU No. 18/2006 tentang APBN 2007 menyangkut anggaran pendidikan adalah bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pemerintah mengulangi kembali pelanggaran konstitusional pada APBN 2008 ini. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengeluarkan keputusan bahwa APBN 2006 dan APBN 2007 melanggar konstitusi. Jadi, dengan tidak tercapainya anggaran pendidikan 20% berarti pemerintah dan DPR bersama-sama mengabaikan keputusan MK. Rupanya keputusan slow MK itu tidak mampu juga menggetarkan kemauan politik para penentu kebijakan di negara ini. Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara Pengabaian juga terjadi terhadap keputusan raker yang telah disepakati antara Komisi X DPR RI dengan tujuh Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, yaitu Menko Kesra, Mendiknas, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan dan Aparatur Negara (Menpan), Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menteri Agama, dan Menteri Keuangan pada 4 Juli 2005 lalu telah menyepakati kenaikan anggaran pendidikan adalah 6,6% pada 2004, menjadi 9,3% (2005), menjadi 12% (2006 ), menjadi 14,7% (2007), menjadi 17,4 % (2008 ), dan terakhir 20,1% (2009). Sementara realisasinya, tahun 2004 anggaran pendidikan masih sekitar 5,5%(2004), dari APBN atau sekitar Rp20,5 triliun. Dan meningkat menjadi Rp 24,6 tiriliun pada 2005. Pada tahun 2006 pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 9% dan dalam APBN 2007 anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar 11,8 persen, Dan APBN 2008 hanya mengalokasikan 12%, nilai ini setara dengan Rp61,4 triliun dari total nilai anggaran Rp854,6 triliun.
1.2 PRIORITAS ANGGARAN PENDIDIKAN
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tidak terpenuhinya alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) semata-mata karena terbatasnya anggaran pemerintah. Menurut DPR, belum tercapainya anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN 2008 menunjukan lemahnya kemauan politik (political will) pemerintah untuk memposisikan sektor pendidikan sebagai prioritas utama. Wakil Ketua Komisi Pendidikan (Komisi X) DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan berpendapat anggaran pendidikan yang kian tahun kian membesar tidaklah dapat dijadikan rujukan satu-satunya untuk menilai bahwa pemerintah telah menunjukan komitmennya secara serius. Sebab, lanjut Heri di saat bersamaan, kenaikan juga terjadi pada sektor-sektor lainnya, bahkan ada yang jauh lebih besar dari sektor pendidikan itu sendiri. Sehingga posisi persentase anggaran pendidikan tidak bergeser naik jauh dari tahun-tahun sebelumnya. “Bahkan anggaran pendidikan lebih kecil dari cicilan hutang Indonesia dan anggaran subsidi,” kata Heri. Pada APBN 2008. Pembayaran bunga utang disepakati sebesar Rp91,365 triliun. Sementara subsidi disepakati sebesar Rp97,874 triliun. Kenyataannya, perbandingan di lapangan juga demikian, misalnya di Indonesia biaya pendidikan di universitas hanya 1.300 dolar AS per mahasiswa per tahun, sedangkan di Malaysia 12.000 dolar AS per mahasiswa per tahun. Di pendidikan dasar (SD) di Indonesia hanya 110 dolar per murid per tahun sedangkan di Malaysia 18.900 dolar Amerika per murid per tahun. ”Mengapa kita mendahulukan membayar utang? Apakah ada perintah konstitusi? Sekarang ini bayar utang lebih besar dari pada untuk mendidik anak bangsa ini menghadapi masa depannya,” tandas Heri. Menurutnya, yang bisa dihemat adalah dengan mengurangi belanja untuk membayar utang. Kemudian, menambah penerimaan negara, misalnya dari sektor pajak. Pasalnya, pendidikan ini satu-satunya investasi yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
1.3 ALOKASI ANGGARAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
Anggaran Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional tiap tahunnya mengalami peningkatan anggaran. Pada tahun 2006, jumlahnya meningkat cukup besar senilai 40.453.148 dari anggaran 25.819.673 pada tahun 2005.
2. MENAMBAL ANGGARAN PENDIDIKAN
Pemerintah akhirnya mengambil langkah lain untuk menambal biaya pendidikan. BHP adalah salah satu contohnya. Sejak tahun 2004 lalu, RUU Badan Hukum Pendidikan lahir sebagai implementasi pasal 53 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Pada ayat (1) disebutkan bahwa penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Didalam tubuhnya berdiri 10 prinsip: nirlaba, otonom, akuntabel, transparan, penjaminan mutu, layanan prima, akses yang berkeadilan, keberagaman, keberlanjutan, partisipasi atas tanggung jawab negara. Tampaknya cukup meyakinkan. Menurut RUU BHP, peran yayasan sebagai penyelenggara satuan pendidikan dileburkan dalam sebuah lembaga pengambilan keputusan yang disebut sebagai Majelis Wali Amanat. Peranan yayasan terhadap pengambilan keputusan pun hanya punya hak suara sebanyak 49%. Alasannya, ini untuk menghindari sistem hak veto yang mungkin sudah berjalan selama ini. Sedangkan prinsip nirlaba BHP sesuai dengan yang disampaikan oleh Prof Dr. Jacobson, dinyatakan bahwa berdasarkan pengertian nirlaba terdapat dua kategori badan hukum yang legal menjadi BHP.
Pertama, BHP yang didirikan oleh badan hukum nirlaba dengan hak surplus sebanyak- banyaknya 25% dan dapat dibagikan kepada pendiri.
Kedua, BHP yang didirikan oleh badan hukum laba dengan hak surplus pendiri sebanyak-banyaknya sebesar 50%. Menurut penuturannya, aturan inilah yang akan menarik banyak minat para pengusaha untuk menyelenggarakan pendidikan, mengingat keuntungan yang dinilai cukup besar. Diharapkan akan muncul dorongan untuk kreatif dalam menyelenggarakan dan meningkatkan mutu pendidikan pun akan semakin besar.
Diramalkan pula, bahwa nanti akan banyak perguruan-perguruan tinggi swasta yang akan tutup karena tidak “kuat” bertahan dan munculnya persaingan yang ketat antara perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. Prediksinya untuk masa depan pendidikan di Indonesia, akan sangat ditentukan oleh pasar dan kebutuhan industri. Maka menurutnya akan sangat mungkin, pendidikan di Indonesia akan didominasi oleh beberapa kategori yang unggul menurut kacamata pasar.
UU BHP diharapkan sebagai salah satu jalan keluar bagi keterlibatan dan tanggung jawab pemerintah dalam mengatur penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Bagaimana pula dengan harapan masyarakat yang ingin punya kesempatan seluas-luasnya untuk bisa akses ke jenjang pendidikan tinggi? Mengenai kemungkinan pemberian bantuan pendidikan dan beasiswa bagi calon mahasiswa yang cerdas namun berada dalam golongan yang tak mampu, masih diletakkan dalam prioritas yang berbentuk Rancangan Peraturan Pemerintah. Yang secara struktur, diprediksi bahwa kekuatannya lebih lemah daripada kekuatan hukum RUU BHP yang nantinya akan disahkan kabinet. Berkaitan dengan hal ini, Mansur Ramli menyatakan, “Masalah pendanaan pendidikan memang tidak diatur dalam BHP, tapi itu diatur di dalam pemasalahan yang lain yaitu Rancangan Peraturan pemerintah tentang pendanaan pendidikan. Bahwa tanggung jawab pendanaan pendidikan adalah pemerintah.”
Dengan aturan pembagian hak surplus sebesar 25 % dan 50% dalam RUU BHP, cenderung memperlihatkan orientasi penyelengaraan pendidikan Indonesia akan menuju ke arah komersialisasi pendidikan. Keadaan ini bertambah jelas dengan minimnya prioritas pendanaan pendidikan dari pemerintah. Dari jajaran diknas dan legislatif yang hadir sebagai pembicara saat itu, tak ada pernyataan tegas bahwa RUU BHP bisa menjamin Indonesia terhindar dari komersialisasi pendidikan.
3. EFISIENSI DANA PENDIDIKAN DI INDONESIA
Pernyataan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki bahwa tiap tahun terjadi kebocoran anggaran 30 Persen, Sebenarnya sudah pernah dilontarkan oleh almarhum Profesor Soemitro Djojohadikusumo sejak Lebih dari 20 tahun silam. Bayangkan seperti sebuah tradisi, begitu mengakar dan membudaya. 30% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bocor akibat praktik KKN yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa. Memang, kenyataannya hingga kini kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah masih berpotensi menjadi ladang subur korupsi.
Bahkan, temuan Tim Indonesia Bangkit lebih mencengangkan lagi, yaitu pengajuan anggaran belanja dan modal dari seluruh kementrian dan lembaga sarat dengan penggelembungan 200% hingga 300%. Tim Indonesia Bangkit yang beranggotakan ekonom independen itu meneliti efisiensi anggaran pemerintah. Penelitian dilakukan melalui analisis Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) awal yang diajukan kementrian dan lembaga pada kurun waktu 2004 sampai 2006, serta difokuskan pada proyek-proyek infrastruktur dan belanja barang. Hasilnya terdapat perbedaan mencolok antara harga pasar dan anggaran yang diajukan. Lalu, akan berguna kah efisiensi dana yang melulu bocor ini?
Pemerintah merencanakan anggaran pendidikan dalam APBN 2010 mencapai Rp195,6 triliun. Pagu indikatif anggaran 2010 tersebut terdiri atas komponen anggaran pendidikan melalui pemerintah pusat Rp. 82,5 triliun dan transfer ke daerah sebanyak Rp. 113,1 triliun, kata Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, di Jakarta, Rabu (24/6).
Menurut Mendiknas, dari rencana anggaran pendidikan tersebut sekitar 54 persen lebih atau sekitar Rp113,109 triliun diperuntukkan pendukung program wajib belajar sembilan tahun secara gratis. "Rencana anggaran pendidikan 2010 itu mengalami penyusutan dibanding 2009 sebanyak Rp. 207,4 triliun," katanya.
Dana anggaran melalui transfer daerah, antara lain terbesar dana alokasi umum (DAU) pendidikan untuk membayar gaji guru mencapai Rp. 93,31 triliun, dana alokasi khusus Rp. 9,33 triliun, dan dana bagi hasil (DBH) mencapai Rp. 423,2 miliar.
Anggaran tambahan DAU dan dana otonomi khusus pendidikan masing-masing sebesar Rp. 7,94 triliun dan Rp. 2,1 triliun. Dana untuk Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mencapai 57,5 triliun dan Departemen Agama Rp. 22 triliun.
Apakah dunia pendiikan indonesia yang ideal adalah dunia tanpa sekolah?
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
Peningkatan jumlah anak putus sekolah di Indonesia sangat mengerikan. Pada tahun 2006 jumlahnya sekitar 9,7 juta anak; namun setahun kemudian sudah bertambah sekitar 20 % menjadi 11,7 juta jiwa. Tidak ada keterangan dari Komnas Perlindungan Anak apakah jumlah tersebut merupakan akumulasi data tahun sebelumnya, lalu ditambah dengan jumlah anak-anak yang baru saja putus sekolah. Tapi kalaupun jumlah itu bersifat kumulatif, tetap saja terasa sangat menyesakkan. Makalah ini akan membahas anggaran pendidikan di Indonesia dan faktor-faktor penyebab tingginya angka putus sekolah.
1. ANGGARAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
1.1. APBN UNTUK ANGGARAN PENDIDIKAN
Kewajiban konstitusi pemerintah untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD belumlah dipenuhi hingga saat ini. APBN Tahun Anggaran 2008 telah disahkan pada Rapat Paripurna DPR, 9 Oktober 2007 lalu dan menetapkan alokasi anggaran pendidikan hanya 12 persen. Dalam RAPBN 2008, alokasi untuk anggaran pendidikan hanya sebesar 12 %, jauh di bawah ketentuan UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa anggaran pendidikan sebesar 20 persen. Formulasi anggaran pendidikan 20% kemudian dirumuskan oleh Pemerintah dan DPR dalam UU 20/2003 tentang Sisdiknas, bahwa gaji pendidik dan biaya kedinasan tidak termasuk dalam anggaran 20%, bahwa pemenuhan amanah konstitusi dengan cara bertahap seperti dalam penjelasan pasal 49 ayat (1) UU sastrality adalah tidak dibenarkan. Hal ini dapat dilihat pada putusan MK No 011/PUU-III/2005, Putusan No. 012/PUU-III/2005, dan Putusan No. 026/PUU-III/2005. Kenyataan APBN 2007 pun tidak sesuai dengan amanah konstitusi. Anggaran pendidikan masih berada pada level 11,8%. Karenanya MK dalam Putusan No. 026/PUU-IV/2007 kembali menegaskan bahwa UU No. 18/2006 tentang APBN 2007 menyangkut anggaran pendidikan adalah bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pemerintah mengulangi kembali pelanggaran konstitusional pada APBN 2008 ini. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengeluarkan keputusan bahwa APBN 2006 dan APBN 2007 melanggar konstitusi. Jadi, dengan tidak tercapainya anggaran pendidikan 20% berarti pemerintah dan DPR bersama-sama mengabaikan keputusan MK. Rupanya keputusan slow MK itu tidak mampu juga menggetarkan kemauan politik para penentu kebijakan di negara ini. Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara Pengabaian juga terjadi terhadap keputusan raker yang telah disepakati antara Komisi X DPR RI dengan tujuh Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, yaitu Menko Kesra, Mendiknas, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan dan Aparatur Negara (Menpan), Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menteri Agama, dan Menteri Keuangan pada 4 Juli 2005 lalu telah menyepakati kenaikan anggaran pendidikan adalah 6,6% pada 2004, menjadi 9,3% (2005), menjadi 12% (2006 ), menjadi 14,7% (2007), menjadi 17,4 % (2008 ), dan terakhir 20,1% (2009). Sementara realisasinya, tahun 2004 anggaran pendidikan masih sekitar 5,5%(2004), dari APBN atau sekitar Rp20,5 triliun. Dan meningkat menjadi Rp 24,6 tiriliun pada 2005. Pada tahun 2006 pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 9% dan dalam APBN 2007 anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar 11,8 persen, Dan APBN 2008 hanya mengalokasikan 12%, nilai ini setara dengan Rp61,4 triliun dari total nilai anggaran Rp854,6 triliun.
1.2 PRIORITAS ANGGARAN PENDIDIKAN
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tidak terpenuhinya alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semata-mata karena terbatasnya anggaran pemerintah. Menurut DPR, belum tercapainya anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN 2008 menunjukan lemahnya kemauan politik (political will) pemerintah untuk memposisikan sektor pendidikan sebagai prioritas utama. Wakil Ketua Komisi Pendidikan (Komisi X) DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan berpendapat anggaran pendidikan yang kian tahun kian membesar tidaklah dapat dijadikan rujukan satu-satunya untuk menilai bahwa pemerintah telah menunjukan komitmennya secara serius. Sebab, lanjut Heri di saat bersamaan, kenaikan juga terjadi pada sektor-sektor lainnya, bahkan ada yang jauh lebih besar dari sektor pendidikan itu sendiri. Sehingga posisi persentase anggaran pendidikan tidak bergeser naik jauh dari tahun-tahun sebelumnya. “Bahkan anggaran pendidikan lebih kecil dari cicilan hutang Indonesia dan anggaran subsidi,” kata Heri. Pada APBN 2008. Pembayaran bunga utang disepakati sebesar Rp91,365 triliun. Sementara subsidi disepakati sebesar Rp97,874 triliun. Kenyataannya, perbandingan di lapangan juga demikian, misalnya di Indonesia biaya pendidikan di universitas hanya 1.300 dolar AS per mahasiswa per tahun, sedangkan di Malaysia 12.000 dolar AS per mahasiswa per tahun. Di pendidikan dasar (SD) di Indonesia hanya 110 dolar per murid per tahun sedangkan di Malaysia 18.900 dolar Amerika per murid per tahun. ”Mengapa kita mendahulukan membayar utang? Apakah ada perintah konstitusi? Sekarang ini bayar utang lebih besar dari pada untuk mendidik anak bangsa ini menghadapi masa depannya,” tandas Heri. Menurutnya, yang bisa dihemat adalah dengan mengurangi belanja untuk membayar utang. Kemudian, menambah penerimaan negara, misalnya dari sektor pajak. Pasalnya, pendidikan ini satu-satunya investasi yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
1.3 ALOKASI ANGGARAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
Anggaran Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional tiap tahunnya mengalami peningkatan anggaran. Pada tahun 2006, jumlahnya meningkat cukup besar senilai 40.453.148 dari anggaran 25.819.673 pada tahun 2005.
2. MENAMBAL ANGGARAN PENDIDIKAN
Pemerintah akhirnya mengambil langkah lain untuk menambal biaya pendidikan. BHP adalah salah satu contohnya. Sejak tahun 2004 lalu, RUU Badan Hukum Pendidikan lahir sebagai implementasi pasal 53 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Pada ayat (1) disebutkan bahwa penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Didalam tubuhnya berdiri 10 prinsip: nirlaba, otonom, akuntabel, transparan, penjaminan mutu, layanan prima, akses yang berkeadilan, keberagaman, keberlanjutan, partisipasi atas tanggung jawab negara. Tampaknya cukup meyakinkan. Menurut RUU BHP, peran yayasan sebagai penyelenggara satuan pendidikan dileburkan dalam sebuah lembaga pengambilan keputusan yang disebut sebagai Majelis Wali Amanat. Peranan yayasan terhadap pengambilan keputusan pun hanya punya hak suara sebanyak 49%. Alasannya, ini untuk menghindari sistem hak veto yang mungkin sudah berjalan selama ini. Sedangkan prinsip nirlaba BHP sesuai dengan yang disampaikan oleh Prof Dr. Jacobson, dinyatakan bahwa berdasarkan pengertian nirlaba terdapat dua kategori badan hukum yang legal menjadi BHP.
Pertama, BHP yang didirikan oleh badan hukum nirlaba dengan hak surplus sebanyak- banyaknya 25% dan dapat dibagikan kepada pendiri.
Kedua, BHP yang didirikan oleh badan hukum laba dengan hak surplus pendiri sebanyak-banyaknya sebesar 50%. Menurut penuturannya, aturan inilah yang akan menarik banyak minat para pengusaha untuk menyelenggarakan pendidikan, mengingat keuntungan yang dinilai cukup besar. Diharapkan akan muncul dorongan untuk kreatif dalam menyelenggarakan dan meningkatkan mutu pendidikan pun akan semakin besar.
Diramalkan pula, bahwa nanti akan banyak perguruan-perguruan tinggi swasta yang akan tutup karena tidak “kuat” bertahan dan munculnya persaingan yang ketat antara perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. Prediksinya untuk masa depan pendidikan di Indonesia, akan sangat ditentukan oleh pasar dan kebutuhan industri. Maka menurutnya akan sangat mungkin, pendidikan di Indonesia akan didominasi oleh beberapa kategori yang unggul menurut kacamata pasar.
UU BHP diharapkan sebagai salah satu jalan keluar bagi keterlibatan dan tanggung jawab pemerintah dalam mengatur penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Bagaimana pula dengan harapan masyarakat yang ingin punya kesempatan seluas-luasnya untuk bisa akses ke jenjang pendidikan tinggi? Mengenai kemungkinan pemberian bantuan pendidikan dan beasiswa bagi calon mahasiswa yang cerdas namun berada dalam golongan yang tak mampu, masih diletakkan dalam prioritas yang berbentuk Rancangan Peraturan Pemerintah. Yang secara struktur, diprediksi bahwa kekuatannya lebih lemah daripada kekuatan hukum RUU BHP yang nantinya akan disahkan kabinet. Berkaitan dengan hal ini, Mansur Ramli menyatakan, “Masalah pendanaan pendidikan memang tidak diatur dalam BHP, tapi itu diatur di dalam pemasalahan yang lain yaitu Rancangan Peraturan pemerintah tentang pendanaan pendidikan. Bahwa tanggung jawab pendanaan pendidikan adalah pemerintah.”
Dengan aturan pembagian hak surplus sebesar 25 % dan 50% dalam RUU BHP, cenderung memperlihatkan orientasi penyelengaraan pendidikan Indonesia akan menuju ke arah komersialisasi pendidikan. Keadaan ini bertambah jelas dengan minimnya prioritas pendanaan pendidikan dari pemerintah. Dari jajaran diknas dan legislatif yang hadir sebagai pembicara saat itu, tak ada pernyataan tegas bahwa RUU BHP bisa menjamin Indonesia terhindar dari komersialisasi pendidikan.
3. EFISIENSI DANA PENDIDIKAN DI INDONESIA
Pernyataan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki bahwa tiap tahun terjadi kebocoran anggaran 30 Persen, Sebenarnya sudah pernah dilontarkan oleh almarhum Profesor Soemitro Djojohadikusumo sejak Lebih dari 20 tahun silam. Bayangkan seperti sebuah tradisi, begitu mengakar dan membudaya. 30% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bocor akibat praktik KKN yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa. Memang, kenyataannya hingga kini kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah masih berpotensi menjadi ladang subur korupsi.
Bahkan, temuan Tim Indonesia Bangkit lebih mencengangkan lagi, yaitu pengajuan anggaran belanja dan modal dari seluruh kementrian dan lembaga sarat dengan penggelembungan 200% hingga 300%. Tim Indonesia Bangkit yang beranggotakan ekonom independen itu meneliti efisiensi anggaran pemerintah. Penelitian dilakukan melalui analisis Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) awal yang diajukan kementrian dan lembaga pada kurun waktu 2004 sampai 2006, serta difokuskan pada proyek-proyek infrastruktur dan belanja barang. Hasilnya terdapat perbedaan mencolok antara harga pasar dan anggaran yang diajukan. Lalu, akan berguna kah efisiensi dana yang melulu bocor ini?
Pemerintah merencanakan anggaran pendidikan dalam APBN 2010 mencapai Rp195,6 triliun. Pagu indikatif anggaran 2010 tersebut terdiri atas komponen anggaran pendidikan melalui pemerintah pusat Rp. 82,5 triliun dan transfer ke daerah sebanyak Rp. 113,1 triliun, kata Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, di Jakarta, Rabu (24/6).
Menurut Mendiknas, dari rencana anggaran pendidikan tersebut sekitar 54 persen lebih atau sekitar Rp113,109 triliun diperuntukkan pendukung program wajib belajar sembilan tahun secara gratis. "Rencana anggaran pendidikan 2010 itu mengalami penyusutan dibanding 2009 sebanyak Rp. 207,4 triliun," katanya.
Dana anggaran melalui transfer daerah, antara lain terbesar dana alokasi umum (DAU) pendidikan untuk membayar gaji guru mencapai Rp. 93,31 triliun, dana alokasi khusus Rp. 9,33 triliun, dan dana bagi hasil (DBH) mencapai Rp. 423,2 miliar.
Anggaran tambahan DAU dan dana otonomi khusus pendidikan masing-masing sebesar Rp. 7,94 triliun dan Rp. 2,1 triliun. Dana untuk Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mencapai 57,5 triliun dan Departemen Agama Rp. 22 triliun.
Apakah dunia pendiikan indonesia yang ideal adalah dunia tanpa sekolah?
II. PENGERTIAN PUTUS SEKOLAH.
Berdasarkan fakta yang kongkrit, bahwa setiap anak yang telah memasuki usia balita atau berusia sekitar 7 tahun akan membutuhkan pendidikan, baik itu pendidikan di dalam rumah tangga maupun dalam lingkungan yang formal seperti sekolah, kursus atau bahkan dalam lingkungan masyarakat. Pendidikan tidak hanya di dapat melalui pendidikan formal atau yang sering disebut sekolah, tetapi pendidikan juga didapat dalam lingkungan informal yang bersumber dari keluarga, masyarakat dan lingkungan.
Untuk menghindari terjadinya perbedaan persepsi atau kesalahpahaman dalam persoalan pengertian pendidikan dan putus sekolah, maka penulis akan lebih dahulu mencoba mengemukakan pengertian pendidikan itu sendiri. Pendidikan dapat diartikan sebagai perbuatan mendidik, pengetahuan tentang mendidik. Pendidikan dapat pula diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dan budaya masyarakat. Pendidikan dapat pula diartikan sebagai sebuah proses timbal balik dari pribadi-pribadi manusia dalam menyesuaikan diri dengan manusia lain dan dengan alam semesta. Sedangkan pengertian sekolah menurut WJS. Poerwodarminta adalah bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pelajaran. Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pengertian putus sekolah adalah seseorang yang telah masuk dalam sebuah lembaga pendidikan baik itu pada tingkat SD, SMP, maupun SMA untuk belajar dan menerima pelajaran tetapi tidak sampai tamat atau lulus kemudian mereka berhenti atau keluar dari sekolah.
Pengertian putus sekolah dapat pula diartikan sebagai Drop-Out (DO) yang artinya bahwa seorang anak didik yang karena sesuatu hal, biasa disebabkan karena malu, malas, takut, sekedar ikut-ikutan dengan temannya atau karena alasan lain sehingga mereka putus sekolah ditengah jalan atau keluar dan tidak lagi masuk untuk selama-lamanya.
A. ANGKA PUTUS SEKOLAH
Alangkah ironisnya jika fakta ini kita hubungkan dengan agenda nasional beberapa tahun lalu; betapa anak-anak itu dan orang tua mereka dibujuk dan dirayu melalui kampanye yang sangat masif di televisi; termasuk program populer Ayo Sekolah yang diprakarsai aktor Rano Karno; supaya mereka mau bersekolah. Menurut Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, kasus putus sekolah yang paling menonjol tahun ini terjadi di tingkat SMP, yaitu 48 %. Adapun di tingkat SD tercatat 23 %. Sedangkan prosentase jumlah putus sekolah di tingkat SMA adalah 29 %. Kalau digabungkan kelompok usia pubertas, yaitu anak SMP dan SMA, jumlahnya mencapai 77 %. Dengan kata lain, jumlah anak usia remaja yang putus sekolah tahun ini tak kurang dari 8 juta orang.
Pencanangan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun oleh pemerintah sejak tahun 1994 menunjukkan keberhasilan jika dilihat dari angka partisipasi sekolah di semua tingkatan. Angka partisipasi murni SD saat ini sudah mencapai 90 persen lebih, sedangkan SMP di angka 60-an persen dengan tren membaik setiap tahun. Namun, keterbatasan kemampuan sebagian masyarakat mengelola pendidikan tampak dari masih relatif tingginya angka putus sekolah. Di tingkat pendidikan dasar, putus sekolah masih menjadi ”momok” upaya penuntasan wajib belajar sembilan tahun.
Angka putus sekolah seluruh jenjang pendidikan di Indonesia empat tahun terakhir masih di atas satu juta siswa per tahun. Dari jumlah itu, sebagian besar (80 persen) adalah mereka yang masih duduk di jenjang pendidikan dasar (SD-SMP). Dilihat secara persentase, jumlah total siswa yang putus sekolah dari SD atau SMP memang hanya berkisar 2 hingga 3 persen dari total jumlah siswa. Namun, persentase yang kecil tersebut menjadi besar jika dilihat angka sebenarnya. Jumlah anak putus sekolah SD setiap tahun rata-rata berjumlah 600.000 hingga 700.000 siswa. Sementara itu, jumlah mereka yang tidak menyelesaikan sekolahnya di SMP sekitar 150.000 sampai 200.000 orang.
B. Faktor-Faktor terjadinya putus sekolah
a. Kemiskinan daerah
Fakta menunjukkan, provinsi dengan tingkat pendapatan rendah cenderung memiliki angka putus sekolah yang juga tinggi. Papua Barat, Sulawesi Barat, Maluku, Gorontalo, dan Maluku Utara pada tahun 2007 termasuk dalam lima provinsi yang memiliki nilai produk domestik regional bruto (PDRB) terendah di antara 28 provinsi yang lain.Kecuali Maluku yang mencatat angka 1,45 persen, putus sekolah SD di empat wilayah lain mencapai 3-5 persen. Di tingkat SMP angkanya lebih tinggi lagi, yaitu 2-7 persen.
Kekurangberdayaan secara ekonomi di provinsi-provinsi tersebut memengaruhi kelangsungan pendidikan di wilayahnya. Dengan pendapatan per kapita per tahun Rp 3 juta hingga Rp 5 juta, total anak putus sekolah SMP di lima provinsi tersebut hampir mencapai 10.000 anak, sementara lebih dari 31.00 siswa SD juga mengalami putus sekolah. Namun, kemiskinan rupanya tidak selalu menjadi satu-satunya penyebab. Paling tidak, jika mencermati nilai PDRB setiap provinsi di Indonesia, tampak jika wilayah yang ”kaya” belum tentu lebih unggul dalam angka putus sekolah.
DKI Jakarta yang merupakan provinsi ”terkaya” dengan nilai PDRB mencapai Rp 563,8 triliun pada tahun 2007. Jakarta berada di atas rata-rata nilai PDRB nasional yang sebesar Rp 96 triliun. Namun, sayang, penuhnya pundi uang yang dimiliki Jakarta belum berhasil menurunkan angka putus sekolah di provinsi yang juga menjadi ibu kota negara ini. Pada tahun ajaran 2005/2006 hingga 2006/2007 angka putus sekolah SD di Jakarta masih menyentuh angka 1,78 persen. Persentase ini bahkan lebih tinggi dari beberapa provinsi lain dengan pendapatan regional jauh di bawah Jakarta, seperti Sulawesi Tenggara (1,37 persen) dan DI Yogyakarta (1,21 persen).
b. Akses sekolah.
Lokasi yang jauh, hilangnya tulang punggung ekonomi keluarga, serta pandangan tentang penting atau tidaknya pendidikan juga menjadi penyebab anak enggan berangkat hingga akhirnya putus sekolah. Di wilayah-wilayah yang secara geografis sangat luas dan aksesnya terbatas, seperti wilayah-wilayah pedalaman, untuk mencapai sekolah yang berjarak puluhan kilometer tentu bukan perkara mudah. Jika kondisi transportasi wilayah memang sulit dan memakan biaya besar, bisa dipastikan putus sekolah bagi si anak tinggal menunggu waktu. Data menunjukkan bahwa sebagian kasus putus sekolah banyak terjadi di wilayah-wilayah yang secara geografis masih kesulitan sarana transportasi. Beberapa provinsi yang wilayahnya luas seperti yang ada di Indonesia bagian timur dan beberapa di bagian barat masih memiliki kendala transportasi seperti ini. Misalnya, Maluku dan Papua yang memiliki luas wilayah kabupaten dan kota rata-rata ribuan hingga puluhan ribu kilometer persegi. Meski wilayahnya sangat luas, jumlah sekolah yang ada terbatas. Dampaknya, persebaran pun tidak merata.
Setelah faktor ekonomi dan faktor teknis, pandangan sosiokultural keluarga dan masyarakat tentang penting atau tidaknya sekolah juga kerap kali menentukan keberlangsungan nasib siswa dalam melanjutkan pendidikan. Di beberapa wilayah masih ditemukan adanya anggapan bahwa perempuan sebaiknya tidak bersekolah terlalu tinggi. Dari angka statistik tahun 2006, hal ini dibuktikan oleh angka partisipasi sekolah di kelompok usia di atas 16 tahun. Pada kelompok usia ini persentase siswa laki-laki yang bersekolah lebih banyak daripada siswa perempuan. Hal itu menampakkan preferensi keluarga untuk bersekolah lebih tinggi cenderung diberikan untuk anggota keluarga laki-laki.
c. Ancaman krisis
Persoalan putus sekolah tampaknya akan semakin berbelit jika berkaca pada situasi ekonomi negara saat ini yang sedang dilanda krisis. Apabila dikaitkan dengan semakin rapuhnya industri sehingga mengancam terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK), bukan mustahil angka putus sekolah akan semakin meningkat.
III. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menengah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.
IV. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa).
Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
V. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%.
Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
VI. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah. Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit. Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
. Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
BAB III
PENUTUP
1. Anggaran pendidikan tahun 2011 , jika dirinci sesuai dengan satuan kerja-satuan kerja utamanya, yaitu untuk program taman kanak-kanak dan pendidikan dasar totalnya adalah Rp. 23,1 triliun (36,5%), program pendidikan menengah totalnya Rp. 3,1 triliun (5 %). Pada program pendidikan tinggi ada Rp. 19,8 triliun (31%), untuk program pendidikan formal dan informal 2,8 triliun (4%). Sedangkan untuk peningkatan mutu dan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan 11,5 triliun (18%), dan program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis 1,22 triliun (1,9%). Kemudian untuk dukungan manajemen dan administrasi. Program pengawasan dan akuntabilitas 0,23 triliun (0,4%), untuk program penelitian dan pengembangan 1,25 (2%). Sehingga totalnya 63 triliun (100%)
2. Anggaran paling besar dari rincian di atas yaitu untuk program taman kanak-kanak dan pendidikan dasar dengan jumlah Rp. 23,1 triliun (36,5%). Memang besar sekali karena di program taman kanak-kanak dan pendidikan dasar ini, masuk komponen BOS (biaya operasional sekolah). Sedangkan komponen BOS itu sekitar 12, setelah ditambah dengan lainnya menjadi Rp17 triliun.
3. Meski secara nasional angka putus sekolah mengalami perbaikan, di 19 provinsi angka putus sekolah di tingkat SMP masih cukup tinggi. Hal ini tecermin dari angka partisipasi kasar untuk tingkat SMP yang di bawah pencapaian nasional sekitar 98,11 persen.
4. Angka partisipasi kasar (APK) adalah rasio jumlah siswa, berapa pun usianya, yang sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok usia di jenjang pendidikan tertentu.
5. Pencapaian rata-rata angka partisipasi kasar di jenjang SMP/MTs secara nasional 2009/2010 mencapai 98,11 persen atau di atas target 95 persen. Artinya, masih ada sekitar 1,89 persen penduduk usia SMP yang tidak sekolah. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Nasional, jumlah siswa SMP sederajat sekitar 12 juta siswa.
6. Sementara anak usia SMP yang tidak menikmati bangku pendidikan SMP, sebagian tersebar di 19 provinsi, termasuk Jawa Barat. Provinsi lainnya adalah Papua Barat yang APK-nya 79,59 persen, Nusa Tenggara Timur (79,91), Papua (89,74), Kalimantan Barat (82,11), Kalimantan Selatan (86,76), dan Kalimantan Tengah (89,45). Adapun yang hampir mendekati rata-rata nasional adalah Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sumatera Selatan, Banten, Lampung, Kalimantan Timur, Bangka Belitung, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku.
7. Persoalan akses ke pendidikan dasar umumnya karena kendala biaya sekolah. Hingga saat ini upaya menghilangkan hambatan bagi warga untuk mendapat pelayanan pendidikan paling tidak pada tingkat SD dan SMP atau sederajat masih belum tercapai.
8. Penelitian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch selama 2006-2008 memperlihatkan bahwa sekolah masih membebani orangtua dengan beragam biaya. Pungutan ada mulai dari proses penerimaan murid hingga kelulusan.
9. Pada 2005, total rata-rata biaya sekolah yang dikeluarkan orangtua pada tingkat SD sebesar Rp 3,5 juta per tahun. Pada 2008 meningkat menjadi Rp 4,7 juta per tahun.
10. Program bantuan operasional sekolah belum efektif. Sebab, dari sisi alokasi dana yang disediakan masih jauh dari kebutuhan.
11. Pengamat pendidikan HAR Tilaar mengatakan, pencapaian rata-rata nasional tersebut tidak menggambarkan pembangunan pendidikan yang merata. Pendidikan masih timpang di banyak daerah, baik dari segi kualitas, ketersediaan sarana dan prasarana, maupun guru.
12. Dalam memandang keberhasilan pencapaian pendidikan dasar nasional tetap tidak bisa mengabaikan kondisi riil di level provinsi hingga kabupaten/kota. Untuk itu, peningkatan akses wajib belajar sembilan tahun harus bisa diselesaikan secepatnya.
13. Faktor-faktor tingginya angka putus sekolah di Indonesia adalah :
a. Kemiskinan Daerah
b. Akses Sekolah.
c. Ancaman Krisis
d. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
e. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
f. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
g. Mahalnya Biaya Pendidikan
PENDAHULUAN
PENDIDIKAN formal memang bukan segala-galanya. Beberapa pengusaha besar di Indonesia misalnya, konglomerat Liem Sioe Liong cuma lulusan sekolah dasar. Tapi itu kasus yang istimewa. Dalam kenyataan yang umum, tingkat pendidikan berpengaruh mutlak terhadap peluang bekerja, posisi di bidang kerja, tingkat salary dan fasilitas yang dapat dinikmati; menentukan pula terhadap perilaku individu dalam rumah tangga, tanggung jawab sosial; dan mempengaruhi bobot independensi individu di bidang sosial-politik. Kita tidak usah menjadi ahli sosiologi kalau cuma untuk memahami konsekuensi logis dari bencana ini. Secara kasat mata saja kita sudah bisa melihat dampak langsung dari begitu besarnya angka putus sekolah di Indonesia. Pengamen cilik dan usia remaja kini bergentayangan di seluruh wilayah negeri ini. Tidak hanya di kota-kota besar, mereka hadir sampai di desa-desa dan menyebarkan kebisingan, gangguan dan kecemasan.
Bayangkan, 8 juta remaja yang masih labil dan mencari identitas diri terpaksa putus sekolah; terpaksa meninggalkan teman-temannya yang masih terus bersekolah; dan terpaksa menelan kenyataan. Menurut Arist Merdeka Sirait, sebagaimana diberitakan surat kabar Kompas edisi Selasa (18/3), ”Dampak ikutan, anak-anak yang berkeliaran di jalan-jalan di Jakarta juga akan terus bertambah. Setelah mereka putus sekolah tentu mereka akan berupaya membantu ekonomi keluarga dengan bekerja apa pun.” kenyataan pahit sebagai manusia yang gagal dan tereliminasi. Ini problem sosial yang dahsyat! “Bekerja apapun” adalah sebuah pesan yang sangat jelas, meski sengaja disampaikan secara samar. Artinya, dalam rangka stuggle for life atau demi melanjutkan gaya hidup yang terlanjur konsumtif; bisa saja mereka menjadi pedagang asongan, pengamen, pengemis, kuli panggul, pencopet, pedagang narkoba; atau menjadi pembantu rumah tangga, kawin di usia dini atau menjadi pelacur.
Menurut catatan Komnas Perlindungan Anak, pada tahun 2007 sekitar 155.965 anak Indonesia hidup di jalanan. Sementara pekerja di bawah umur
sekitar 2,1 juta jiwa. Anak-anak yang hidup di jalanan itu juga sangat potensial disalahgunakan oleh kejahatan yang terorganisasi. Tekanan untuk bertahan hidup dan godaan untuk hidup mewah adalah dua titik lemah para remaja yang masih labil itu; sehingga mereka bisa dibujuk dengan gampang untuk melakukan tindak kriminal dan sangat rawan menjadi sasaran perdagangan anak. Di Brazil, di antara jutaan anak yang hidup gentayangan di jalanan, sebagian sudah menjelma menjadi monster. Cukup diberi imbalan 100 dolar, anak-anak itu bisa disuruh membunuh orang atau jadi kurir narkoba. Mereka membuat kehidupan sehari-hari di kota-kota besar semacam Rio de Janeiro dan Sao Paulo bisa berubah menjadi horor, tanpa disangka-sangka. Warga pun jadi resah, dan pemerintah kota yang kurang panjang akal dan tidak bermoral kemudian merespon kepanikan masyarakat dengan jalan pintas : anak-anak itu ditembaki dan dibunuh secara massal– pada malam hari ketika mereka tertidur di taman-taman kota atau di emperan-emperan toko. Jalan pintas dan cara-cara yang tidak manusiawi dalam menanggulangi problem urbanisasi —termasuk masalah anak-anak jalanan, kini sudah banyak dipraktekkan oleh sejumlah pemda di pulau Jawa. Baru-baru ini, aparat Polisi Pamongpraja Kotamadya Serang menciduk para gelandangan di malam hari, kemudian orang-orang yang malang itu diangkut dengan kendaraan dan dibuang di wilayah Kabupaten Pandeglang. Siapa sangka, tindakan biadab seperti itu bisa dilakukan oleh aparat pemerintah di sebuah negara yang berazaskan Pancasila, di sebuah provinsi yang berambisi menyaingi Aceh sebagai Serambi Mekah? Inilah potret buram dunia pendidikan Indonesia hari ini. Kalau ternyata Anda tiba-tiba diliputi rasa bersalah, prihatin dan cemas setelah melihat potret jelek itu, beryukurlah, ternyata Anda masih normal dan memiliki moral yang tinggi. Dan bersyukurlah, karena bukan Anda atau kerabat dekat Anda yang hari ini terpaksa putus sekolah, sementara pemerintahan masih saja nekad membuat rasionalisasi untuk mengecoh masyarakat —seolah-olah perekonomian nasional sudah pulih dan bangkit. Percayalah, pemerintah baru akan yakin bahwa ada masalah —sebenarnya lebih tepat disebut bencana nasional, kalau cucu mereka sendiri yang putus sekolah karena tidak ada biaya. Mudah-mudahan itu tidak terjadi, karena kalau sampai terjadi kita tidak bakal sempat menyaksikannya, karena sudah keburu mati akibat kelaparan.
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
Peningkatan jumlah anak putus sekolah di Indonesia sangat mengerikan. Pada tahun 2006 jumlahnya sekitar 9,7 juta anak; namun setahun kemudian sudah bertambah sekitar 20 % menjadi 11,7 juta jiwa. Tidak ada keterangan dari Komnas Perlindungan Anak apakah jumlah tersebut merupakan akumulasi data tahun sebelumnya, lalu ditambah dengan jumlah anak-anak yang baru saja putus sekolah. Tapi kalaupun jumlah itu bersifat kumulatif, tetap saja terasa sangat menyesakkan. Makalah ini akan membahas anggaran pendidikan di Indonesia dan faktor-faktor penyebab tingginya angka putus sekolah.
1. ANGGARAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
1.1. APBN UNTUK ANGGARAN PENDIDIKAN
Kewajiban konstitusi pemerintah untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD belumlah dipenuhi hingga saat ini. APBN Tahun Anggaran 2008 telah disahkan pada Rapat Paripurna DPR, 9 Oktober 2007 lalu dan menetapkan alokasi anggaran pendidikan hanya 12 persen. Dalam RAPBN 2008, alokasi untuk anggaran pendidikan hanya sebesar 12 %, jauh di bawah ketentuan UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa anggaran pendidikan sebesar 20 persen. Formulasi anggaran pendidikan 20% kemudian dirumuskan oleh Pemerintah dan DPR dalam UU 20/2003 tentang Sisdiknas, bahwa gaji pendidik dan biaya kedinasan tidak termasuk dalam anggaran 20%, bahwa pemenuhan amanah konstitusi dengan cara bertahap seperti dalam penjelasan pasal 49 ayat (1) UU sastrality adalah tidak dibenarkan. Hal ini dapat dilihat pada putusan MK No 011/PUU-III/2005, Putusan No. 012/PUU-III/2005, dan Putusan No. 026/PUU-III/2005. Kenyataan APBN 2007 pun tidak sesuai dengan amanah konstitusi. Anggaran pendidikan masih berada pada level 11,8%. Karenanya MK dalam Putusan No. 026/PUU-IV/2007 kembali menegaskan bahwa UU No. 18/2006 tentang APBN 2007 menyangkut anggaran pendidikan adalah bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pemerintah mengulangi kembali pelanggaran konstitusional pada APBN 2008 ini. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengeluarkan keputusan bahwa APBN 2006 dan APBN 2007 melanggar konstitusi. Jadi, dengan tidak tercapainya anggaran pendidikan 20% berarti pemerintah dan DPR bersama-sama mengabaikan keputusan MK. Rupanya keputusan slow MK itu tidak mampu juga menggetarkan kemauan politik para penentu kebijakan di negara ini. Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara Pengabaian juga terjadi terhadap keputusan raker yang telah disepakati antara Komisi X DPR RI dengan tujuh Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, yaitu Menko Kesra, Mendiknas, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan dan Aparatur Negara (Menpan), Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menteri Agama, dan Menteri Keuangan pada 4 Juli 2005 lalu telah menyepakati kenaikan anggaran pendidikan adalah 6,6% pada 2004, menjadi 9,3% (2005), menjadi 12% (2006 ), menjadi 14,7% (2007), menjadi 17,4 % (2008 ), dan terakhir 20,1% (2009). Sementara realisasinya, tahun 2004 anggaran pendidikan masih sekitar 5,5%(2004), dari APBN atau sekitar Rp20,5 triliun. Dan meningkat menjadi Rp 24,6 tiriliun pada 2005. Pada tahun 2006 pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 9% dan dalam APBN 2007 anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar 11,8 persen, Dan APBN 2008 hanya mengalokasikan 12%, nilai ini setara dengan Rp61,4 triliun dari total nilai anggaran Rp854,6 triliun.
1.2 PRIORITAS ANGGARAN PENDIDIKAN
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tidak terpenuhinya alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semata-mata karena terbatasnya anggaran pemerintah. Menurut DPR, belum tercapainya anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN 2008 menunjukan lemahnya kemauan politik (political will) pemerintah untuk memposisikan sektor pendidikan sebagai prioritas utama. Wakil Ketua Komisi Pendidikan (Komisi X) DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan berpendapat anggaran pendidikan yang kian tahun kian membesar tidaklah dapat dijadikan rujukan satu-satunya untuk menilai bahwa pemerintah telah menunjukan komitmennya secara serius. Sebab, lanjut Heri di saat bersamaan, kenaikan juga terjadi pada sektor-sektor lainnya, bahkan ada yang jauh lebih besar dari sektor pendidikan itu sendiri. Sehingga posisi persentase anggaran pendidikan tidak bergeser naik jauh dari tahun-tahun sebelumnya. “Bahkan anggaran pendidikan lebih kecil dari cicilan hutang Indonesia dan anggaran subsidi,” kata Heri. Pada APBN 2008. Pembayaran bunga utang disepakati sebesar Rp91,365 triliun. Sementara subsidi disepakati sebesar Rp97,874 triliun. Kenyataannya, perbandingan di lapangan juga demikian, misalnya di Indonesia biaya pendidikan di universitas hanya 1.300 dolar AS per mahasiswa per tahun, sedangkan di Malaysia 12.000 dolar AS per mahasiswa per tahun. Di pendidikan dasar (SD) di Indonesia hanya 110 dolar per murid per tahun sedangkan di Malaysia 18.900 dolar Amerika per murid per tahun. ”Mengapa kita mendahulukan membayar utang? Apakah ada perintah konstitusi? Sekarang ini bayar utang lebih besar dari pada untuk mendidik anak bangsa ini menghadapi masa depannya,” tandas Heri. Menurutnya, yang bisa dihemat adalah dengan mengurangi belanja untuk membayar utang. Kemudian, menambah penerimaan negara, misalnya dari sektor pajak. Pasalnya, pendidikan ini satu-satunya investasi yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
1.3 ALOKASI ANGGARAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
Anggaran Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional tiap tahunnya mengalami peningkatan anggaran. Pada tahun 2006, jumlahnya meningkat cukup besar senilai 40.453.148 dari anggaran 25.819.673 pada tahun 2005.
2. MENAMBAL ANGGARAN PENDIDIKAN
Pemerintah akhirnya mengambil langkah lain untuk menambal biaya pendidikan. BHP adalah salah satu contohnya. Sejak tahun 2004 lalu, RUU Badan Hukum Pendidikan lahir sebagai implementasi pasal 53 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Pada ayat (1) disebutkan bahwa penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Didalam tubuhnya berdiri 10 prinsip: nirlaba, otonom, akuntabel, transparan, penjaminan mutu, layanan prima, akses yang berkeadilan, keberagaman, keberlanjutan, partisipasi atas tanggung jawab negara. Tampaknya cukup meyakinkan. Menurut RUU BHP, peran yayasan sebagai penyelenggara satuan pendidikan dileburkan dalam sebuah lembaga pengambilan keputusan yang disebut sebagai Majelis Wali Amanat. Peranan yayasan terhadap pengambilan keputusan pun hanya punya hak suara sebanyak 49%. Alasannya, ini untuk menghindari sistem hak veto yang mungkin sudah berjalan selama ini. Sedangkan prinsip nirlaba BHP sesuai dengan yang disampaikan oleh Prof Dr. Jacobson, dinyatakan bahwa berdasarkan pengertian nirlaba terdapat dua kategori badan hukum yang legal menjadi BHP.
Pertama, BHP yang didirikan oleh badan hukum nirlaba dengan hak surplus sebanyak- banyaknya 25% dan dapat dibagikan kepada pendiri.
Kedua, BHP yang didirikan oleh badan hukum laba dengan hak surplus pendiri sebanyak-banyaknya sebesar 50%. Menurut penuturannya, aturan inilah yang akan menarik banyak minat para pengusaha untuk menyelenggarakan pendidikan, mengingat keuntungan yang dinilai cukup besar. Diharapkan akan muncul dorongan untuk kreatif dalam menyelenggarakan dan meningkatkan mutu pendidikan pun akan semakin besar.
Diramalkan pula, bahwa nanti akan banyak perguruan-perguruan tinggi swasta yang akan tutup karena tidak “kuat” bertahan dan munculnya persaingan yang ketat antara perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. Prediksinya untuk masa depan pendidikan di Indonesia, akan sangat ditentukan oleh pasar dan kebutuhan industri. Maka menurutnya akan sangat mungkin, pendidikan di Indonesia akan didominasi oleh beberapa kategori yang unggul menurut kacamata pasar.
UU BHP diharapkan sebagai salah satu jalan keluar bagi keterlibatan dan tanggung jawab pemerintah dalam mengatur penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Bagaimana pula dengan harapan masyarakat yang ingin punya kesempatan seluas-luasnya untuk bisa akses ke jenjang pendidikan tinggi? Mengenai kemungkinan pemberian bantuan pendidikan dan beasiswa bagi calon mahasiswa yang cerdas namun berada dalam golongan yang tak mampu, masih diletakkan dalam prioritas yang berbentuk Rancangan Peraturan Pemerintah. Yang secara struktur, diprediksi bahwa kekuatannya lebih lemah daripada kekuatan hukum RUU BHP yang nantinya akan disahkan kabinet. Berkaitan dengan hal ini, Mansur Ramli menyatakan, “Masalah pendanaan pendidikan memang tidak diatur dalam BHP, tapi itu diatur di dalam pemasalahan yang lain yaitu Rancangan Peraturan pemerintah tentang pendanaan pendidikan. Bahwa tanggung jawab pendanaan pendidikan adalah pemerintah.”
Dengan aturan pembagian hak surplus sebesar 25 % dan 50% dalam RUU BHP, cenderung memperlihatkan orientasi penyelengaraan pendidikan Indonesia akan menuju ke arah komersialisasi pendidikan. Keadaan ini bertambah jelas dengan minimnya prioritas pendanaan pendidikan dari pemerintah. Dari jajaran diknas dan legislatif yang hadir sebagai pembicara saat itu, tak ada pernyataan tegas bahwa RUU BHP bisa menjamin Indonesia terhindar dari komersialisasi pendidikan.
3. EFISIENSI DANA PENDIDIKAN DI INDONESIA
Pernyataan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki bahwa tiap tahun terjadi kebocoran anggaran 30 Persen, Sebenarnya sudah pernah dilontarkan oleh almarhum Profesor Soemitro Djojohadikusumo sejak Lebih dari 20 tahun silam. Bayangkan seperti sebuah tradisi, begitu mengakar dan membudaya. 30% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bocor akibat praktik KKN yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa. Memang, kenyataannya hingga kini kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah masih berpotensi menjadi ladang subur korupsi.
Bahkan, temuan Tim Indonesia Bangkit lebih mencengangkan lagi, yaitu pengajuan anggaran belanja dan modal dari seluruh kementrian dan lembaga sarat dengan penggelembungan 200% hingga 300%. Tim Indonesia Bangkit yang beranggotakan ekonom independen itu meneliti efisiensi anggaran pemerintah. Penelitian dilakukan melalui analisis Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) awal yang diajukan kementrian dan lembaga pada kurun waktu 2004 sampai 2006, serta difokuskan pada proyek-proyek infrastruktur dan belanja barang. Hasilnya terdapat perbedaan mencolok antara harga pasar dan anggaran yang diajukan. Lalu, akan berguna kah efisiensi dana yang melulu bocor ini?
Pemerintah merencanakan anggaran pendidikan dalam APBN 2010 mencapai Rp195,6 triliun. Pagu indikatif anggaran 2010 tersebut terdiri atas komponen anggaran pendidikan melalui pemerintah pusat Rp. 82,5 triliun dan transfer ke daerah sebanyak Rp. 113,1 triliun, kata Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, di Jakarta, Rabu (24/6).
Menurut Mendiknas, dari rencana anggaran pendidikan tersebut sekitar 54 persen lebih atau sekitar Rp113,109 triliun diperuntukkan pendukung program wajib belajar sembilan tahun secara gratis. "Rencana anggaran pendidikan 2010 itu mengalami penyusutan dibanding 2009 sebanyak Rp. 207,4 triliun," katanya.
Dana anggaran melalui transfer daerah, antara lain terbesar dana alokasi umum (DAU) pendidikan untuk membayar gaji guru mencapai Rp. 93,31 triliun, dana alokasi khusus Rp. 9,33 triliun, dan dana bagi hasil (DBH) mencapai Rp. 423,2 miliar.
Anggaran tambahan DAU dan dana otonomi khusus pendidikan masing-masing sebesar Rp. 7,94 triliun dan Rp. 2,1 triliun. Dana untuk Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mencapai 57,5 triliun dan Departemen Agama Rp. 22 triliun.
Apakah dunia pendiikan indonesia yang ideal adalah dunia tanpa sekolah?
II. PENGERTIAN PUTUS SEKOLAH.
Berdasarkan fakta yang kongkrit, bahwa setiap anak yang telah memasuki usia balita atau berusia sekitar 7 tahun akan membutuhkan pendidikan, baik itu pendidikan di dalam rumah tangga maupun dalam lingkungan yang formal seperti sekolah, kursus atau bahkan dalam lingkungan masyarakat. Pendidikan tidak hanya di dapat melalui pendidikan formal atau yang sering disebut sekolah, tetapi pendidikan juga didapat dalam lingkungan informal yang bersumber dari keluarga, masyarakat dan lingkungan.
Untuk menghindari terjadinya perbedaan persepsi atau kesalahpahaman dalam persoalan pengertian pendidikan dan putus sekolah, maka penulis akan lebih dahulu mencoba mengemukakan pengertian pendidikan itu sendiri. Pendidikan dapat diartikan sebagai perbuatan mendidik, pengetahuan tentang mendidik. Pendidikan dapat pula diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dan budaya masyarakat. Pendidikan dapat pula diartikan sebagai sebuah proses timbal balik dari pribadi-pribadi manusia dalam menyesuaikan diri dengan manusia lain dan dengan alam semesta. Sedangkan pengertian sekolah menurut WJS. Poerwodarminta adalah bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pelajaran. Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pengertian putus sekolah adalah seseorang yang telah masuk dalam sebuah lembaga pendidikan baik itu pada tingkat SD, SMP, maupun SMA untuk belajar dan menerima pelajaran tetapi tidak sampai tamat atau lulus kemudian mereka berhenti atau keluar dari sekolah.
Pengertian putus sekolah dapat pula diartikan sebagai Drop-Out (DO) yang artinya bahwa seorang anak didik yang karena sesuatu hal, biasa disebabkan karena malu, malas, takut, sekedar ikut-ikutan dengan temannya atau karena alasan lain sehingga mereka putus sekolah ditengah jalan atau keluar dan tidak lagi masuk untuk selama-lamanya.
A. ANGKA PUTUS SEKOLAH
Alangkah ironisnya jika fakta ini kita hubungkan dengan agenda nasional beberapa tahun lalu; betapa anak-anak itu dan orang tua mereka dibujuk dan dirayu melalui kampanye yang sangat masif di televisi; termasuk program populer Ayo Sekolah yang diprakarsai aktor Rano Karno; supaya mereka mau bersekolah. Menurut Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, kasus putus sekolah yang paling menonjol tahun ini terjadi di tingkat SMP, yaitu 48 %. Adapun di tingkat SD tercatat 23 %. Sedangkan prosentase jumlah putus sekolah di tingkat SMA adalah 29 %. Kalau digabungkan kelompok usia pubertas, yaitu anak SMP dan SMA, jumlahnya mencapai 77 %. Dengan kata lain, jumlah anak usia remaja yang putus sekolah tahun ini tak kurang dari 8 juta orang.
Karenanya MK dalam Putusan No. 026/PUU-IV/2007 kembali menegaskan bahwa UU No. 18/2006 tentang APBN 2007 menyangkut anggaran pendidikan adalah bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pemerintah mengulangi kembali pelanggaran konstitusional pada APBN 2008 ini. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengeluarkan keputusan bahwa APBN 2006 dan APBN 2007 melanggar konstitusi. Jadi, dengan tidak tercapainya anggaran pendidikan 20% berarti pemerintah dan DPR bersama-sama mengabaikan keputusan MK. Rupanya keputusan slow MK itu tidak mampu juga menggetarkan kemauan politik para penentu kebijakan di negara ini. Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara Pengabaian juga terjadi terhadap keputusan raker yang telah disepakati antara Komisi X DPR RI dengan tujuh Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, yaitu Menko Kesra, Mendiknas, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan dan Aparatur Negara (Menpan), Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menteri Agama, dan Menteri Keuangan pada 4 Juli 2005 lalu telah menyepakati kenaikan anggaran pendidikan adalah 6,6% pada 2004, menjadi 9,3% (2005), menjadi 12% (2006 ), menjadi 14,7% (2007), menjadi 17,4 % (2008 ), dan terakhir 20,1% (2009). Sementara realisasinya, tahun 2004 anggaran pendidikan masih sekitar 5,5%(2004), dari APBN atau sekitar Rp20,5 triliun. Dan meningkat menjadi Rp 24,6 tiriliun pada 2005. Pada tahun 2006 pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 9% dan dalam APBN 2007 anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar 11,8 persen, Dan APBN 2008 hanya mengalokasikan 12%, nilai ini setara dengan Rp61,4 triliun dari total nilai anggaran Rp854,6 triliun.
1.2 PRIORITAS ANGGARAN PENDIDIKAN
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tidak terpenuhinya alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) semata-mata karena terbatasnya anggaran pemerintah. Menurut DPR, belum tercapainya anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN 2008 menunjukan lemahnya kemauan politik (political will) pemerintah untuk memposisikan sektor pendidikan sebagai prioritas utama. Wakil Ketua Komisi Pendidikan (Komisi X) DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan berpendapat anggaran pendidikan yang kian tahun kian membesar tidaklah dapat dijadikan rujukan satu-satunya untuk menilai bahwa pemerintah telah menunjukan komitmennya secara serius. Sebab, lanjut Heri di saat bersamaan, kenaikan juga terjadi pada sektor-sektor lainnya, bahkan ada yang jauh lebih besar dari sektor pendidikan itu sendiri. Sehingga posisi persentase anggaran pendidikan tidak bergeser naik jauh dari tahun-tahun sebelumnya. “Bahkan anggaran pendidikan lebih kecil dari cicilan hutang Indonesia dan anggaran subsidi,” kata Heri. Pada APBN 2008. Pembayaran bunga utang disepakati sebesar Rp91,365 triliun. Sementara subsidi disepakati sebesar Rp97,874 triliun. Kenyataannya, perbandingan di lapangan juga demikian, misalnya di Indonesia biaya pendidikan di universitas hanya 1.300 dolar AS per mahasiswa per tahun, sedangkan di Malaysia 12.000 dolar AS per mahasiswa per tahun. Di pendidikan dasar (SD) di Indonesia hanya 110 dolar per murid per tahun sedangkan di Malaysia 18.900 dolar Amerika per murid per tahun. ”Mengapa kita mendahulukan membayar utang? Apakah ada perintah konstitusi? Sekarang ini bayar utang lebih besar dari pada untuk mendidik anak bangsa ini menghadapi masa depannya,” tandas Heri. Menurutnya, yang bisa dihemat adalah dengan mengurangi belanja untuk membayar utang. Kemudian, menambah penerimaan negara, misalnya dari sektor pajak. Pasalnya, pendidikan ini satu-satunya investasi yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
1.3 ALOKASI ANGGARAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
Anggaran Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional tiap tahunnya mengalami peningkatan anggaran. Pada tahun 2006, jumlahnya meningkat cukup besar senilai 40.453.148 dari anggaran 25.819.673 pada tahun 2005.
2. MENAMBAL ANGGARAN PENDIDIKAN
Pemerintah akhirnya mengambil langkah lain untuk menambal biaya pendidikan. BHP adalah salah satu contohnya. Sejak tahun 2004 lalu, RUU Badan Hukum Pendidikan lahir sebagai implementasi pasal 53 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Pada ayat (1) disebutkan bahwa penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Didalam tubuhnya berdiri 10 prinsip: nirlaba, otonom, akuntabel, transparan, penjaminan mutu, layanan prima, akses yang berkeadilan, keberagaman, keberlanjutan, partisipasi atas tanggung jawab negara. Tampaknya cukup meyakinkan. Menurut RUU BHP, peran yayasan sebagai penyelenggara satuan pendidikan dileburkan dalam sebuah lembaga pengambilan keputusan yang disebut sebagai Majelis Wali Amanat. Peranan yayasan terhadap pengambilan keputusan pun hanya punya hak suara sebanyak 49%. Alasannya, ini untuk menghindari sistem hak veto yang mungkin sudah berjalan selama ini. Sedangkan prinsip nirlaba BHP sesuai dengan yang disampaikan oleh Prof Dr. Jacobson, dinyatakan bahwa berdasarkan pengertian nirlaba terdapat dua kategori badan hukum yang legal menjadi BHP.
Pertama, BHP yang didirikan oleh badan hukum nirlaba dengan hak surplus sebanyak- banyaknya 25% dan dapat dibagikan kepada pendiri.
Kedua, BHP yang didirikan oleh badan hukum laba dengan hak surplus pendiri sebanyak-banyaknya sebesar 50%. Menurut penuturannya, aturan inilah yang akan menarik banyak minat para pengusaha untuk menyelenggarakan pendidikan, mengingat keuntungan yang dinilai cukup besar. Diharapkan akan muncul dorongan untuk kreatif dalam menyelenggarakan dan meningkatkan mutu pendidikan pun akan semakin besar.
Diramalkan pula, bahwa nanti akan banyak perguruan-perguruan tinggi swasta yang akan tutup karena tidak “kuat” bertahan dan munculnya persaingan yang ketat antara perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. Prediksinya untuk masa depan pendidikan di Indonesia, akan sangat ditentukan oleh pasar dan kebutuhan industri. Maka menurutnya akan sangat mungkin, pendidikan di Indonesia akan didominasi oleh beberapa kategori yang unggul menurut kacamata pasar.
UU BHP diharapkan sebagai salah satu jalan keluar bagi keterlibatan dan tanggung jawab pemerintah dalam mengatur penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Bagaimana pula dengan harapan masyarakat yang ingin punya kesempatan seluas-luasnya untuk bisa akses ke jenjang pendidikan tinggi? Mengenai kemungkinan pemberian bantuan pendidikan dan beasiswa bagi calon mahasiswa yang cerdas namun berada dalam golongan yang tak mampu, masih diletakkan dalam prioritas yang berbentuk Rancangan Peraturan Pemerintah. Yang secara struktur, diprediksi bahwa kekuatannya lebih lemah daripada kekuatan hukum RUU BHP yang nantinya akan disahkan kabinet. Berkaitan dengan hal ini, Mansur Ramli menyatakan, “Masalah pendanaan pendidikan memang tidak diatur dalam BHP, tapi itu diatur di dalam pemasalahan yang lain yaitu Rancangan Peraturan pemerintah tentang pendanaan pendidikan. Bahwa tanggung jawab pendanaan pendidikan adalah pemerintah.”
Dengan aturan pembagian hak surplus sebesar 25 % dan 50% dalam RUU BHP, cenderung memperlihatkan orientasi penyelengaraan pendidikan Indonesia akan menuju ke arah komersialisasi pendidikan. Keadaan ini bertambah jelas dengan minimnya prioritas pendanaan pendidikan dari pemerintah. Dari jajaran diknas dan legislatif yang hadir sebagai pembicara saat itu, tak ada pernyataan tegas bahwa RUU BHP bisa menjamin Indonesia terhindar dari komersialisasi pendidikan.
3. EFISIENSI DANA PENDIDIKAN DI INDONESIA
Pernyataan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki bahwa tiap tahun terjadi kebocoran anggaran 30 Persen, Sebenarnya sudah pernah dilontarkan oleh almarhum Profesor Soemitro Djojohadikusumo sejak Lebih dari 20 tahun silam. Bayangkan seperti sebuah tradisi, begitu mengakar dan membudaya. 30% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bocor akibat praktik KKN yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa. Memang, kenyataannya hingga kini kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah masih berpotensi menjadi ladang subur korupsi.
Bahkan, temuan Tim Indonesia Bangkit lebih mencengangkan lagi, yaitu pengajuan anggaran belanja dan modal dari seluruh kementrian dan lembaga sarat dengan penggelembungan 200% hingga 300%. Tim Indonesia Bangkit yang beranggotakan ekonom independen itu meneliti efisiensi anggaran pemerintah. Penelitian dilakukan melalui analisis Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) awal yang diajukan kementrian dan lembaga pada kurun waktu 2004 sampai 2006, serta difokuskan pada proyek-proyek infrastruktur dan belanja barang. Hasilnya terdapat perbedaan mencolok antara harga pasar dan anggaran yang diajukan. Lalu, akan berguna kah efisiensi dana yang melulu bocor ini?
Pemerintah merencanakan anggaran pendidikan dalam APBN 2010 mencapai Rp195,6 triliun. Pagu indikatif anggaran 2010 tersebut terdiri atas komponen anggaran pendidikan melalui pemerintah pusat Rp. 82,5 triliun dan transfer ke daerah sebanyak Rp. 113,1 triliun, kata Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, di Jakarta, Rabu (24/6).
Menurut Mendiknas, dari rencana anggaran pendidikan tersebut sekitar 54 persen lebih atau sekitar Rp113,109 triliun diperuntukkan pendukung program wajib belajar sembilan tahun secara gratis. "Rencana anggaran pendidikan 2010 itu mengalami penyusutan dibanding 2009 sebanyak Rp. 207,4 triliun," katanya.
Dana anggaran melalui transfer daerah, antara lain terbesar dana alokasi umum (DAU) pendidikan untuk membayar gaji guru mencapai Rp. 93,31 triliun, dana alokasi khusus Rp. 9,33 triliun, dan dana bagi hasil (DBH) mencapai Rp. 423,2 miliar.
Anggaran tambahan DAU dan dana otonomi khusus pendidikan masing-masing sebesar Rp. 7,94 triliun dan Rp. 2,1 triliun. Dana untuk Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mencapai 57,5 triliun dan Departemen Agama Rp. 22 triliun.
Apakah dunia pendiikan indonesia yang ideal adalah dunia tanpa sekolah?
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
Peningkatan jumlah anak putus sekolah di Indonesia sangat mengerikan. Pada tahun 2006 jumlahnya sekitar 9,7 juta anak; namun setahun kemudian sudah bertambah sekitar 20 % menjadi 11,7 juta jiwa. Tidak ada keterangan dari Komnas Perlindungan Anak apakah jumlah tersebut merupakan akumulasi data tahun sebelumnya, lalu ditambah dengan jumlah anak-anak yang baru saja putus sekolah. Tapi kalaupun jumlah itu bersifat kumulatif, tetap saja terasa sangat menyesakkan. Makalah ini akan membahas anggaran pendidikan di Indonesia dan faktor-faktor penyebab tingginya angka putus sekolah.
1. ANGGARAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
1.1. APBN UNTUK ANGGARAN PENDIDIKAN
Kewajiban konstitusi pemerintah untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD belumlah dipenuhi hingga saat ini. APBN Tahun Anggaran 2008 telah disahkan pada Rapat Paripurna DPR, 9 Oktober 2007 lalu dan menetapkan alokasi anggaran pendidikan hanya 12 persen. Dalam RAPBN 2008, alokasi untuk anggaran pendidikan hanya sebesar 12 %, jauh di bawah ketentuan UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa anggaran pendidikan sebesar 20 persen. Formulasi anggaran pendidikan 20% kemudian dirumuskan oleh Pemerintah dan DPR dalam UU 20/2003 tentang Sisdiknas, bahwa gaji pendidik dan biaya kedinasan tidak termasuk dalam anggaran 20%, bahwa pemenuhan amanah konstitusi dengan cara bertahap seperti dalam penjelasan pasal 49 ayat (1) UU sastrality adalah tidak dibenarkan. Hal ini dapat dilihat pada putusan MK No 011/PUU-III/2005, Putusan No. 012/PUU-III/2005, dan Putusan No. 026/PUU-III/2005. Kenyataan APBN 2007 pun tidak sesuai dengan amanah konstitusi. Anggaran pendidikan masih berada pada level 11,8%. Karenanya MK dalam Putusan No. 026/PUU-IV/2007 kembali menegaskan bahwa UU No. 18/2006 tentang APBN 2007 menyangkut anggaran pendidikan adalah bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pemerintah mengulangi kembali pelanggaran konstitusional pada APBN 2008 ini. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengeluarkan keputusan bahwa APBN 2006 dan APBN 2007 melanggar konstitusi. Jadi, dengan tidak tercapainya anggaran pendidikan 20% berarti pemerintah dan DPR bersama-sama mengabaikan keputusan MK. Rupanya keputusan slow MK itu tidak mampu juga menggetarkan kemauan politik para penentu kebijakan di negara ini. Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara Pengabaian juga terjadi terhadap keputusan raker yang telah disepakati antara Komisi X DPR RI dengan tujuh Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, yaitu Menko Kesra, Mendiknas, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan dan Aparatur Negara (Menpan), Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menteri Agama, dan Menteri Keuangan pada 4 Juli 2005 lalu telah menyepakati kenaikan anggaran pendidikan adalah 6,6% pada 2004, menjadi 9,3% (2005), menjadi 12% (2006 ), menjadi 14,7% (2007), menjadi 17,4 % (2008 ), dan terakhir 20,1% (2009). Sementara realisasinya, tahun 2004 anggaran pendidikan masih sekitar 5,5%(2004), dari APBN atau sekitar Rp20,5 triliun. Dan meningkat menjadi Rp 24,6 tiriliun pada 2005. Pada tahun 2006 pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 9% dan dalam APBN 2007 anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar 11,8 persen, Dan APBN 2008 hanya mengalokasikan 12%, nilai ini setara dengan Rp61,4 triliun dari total nilai anggaran Rp854,6 triliun.
1.2 PRIORITAS ANGGARAN PENDIDIKAN
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tidak terpenuhinya alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semata-mata karena terbatasnya anggaran pemerintah. Menurut DPR, belum tercapainya anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN 2008 menunjukan lemahnya kemauan politik (political will) pemerintah untuk memposisikan sektor pendidikan sebagai prioritas utama. Wakil Ketua Komisi Pendidikan (Komisi X) DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan berpendapat anggaran pendidikan yang kian tahun kian membesar tidaklah dapat dijadikan rujukan satu-satunya untuk menilai bahwa pemerintah telah menunjukan komitmennya secara serius. Sebab, lanjut Heri di saat bersamaan, kenaikan juga terjadi pada sektor-sektor lainnya, bahkan ada yang jauh lebih besar dari sektor pendidikan itu sendiri. Sehingga posisi persentase anggaran pendidikan tidak bergeser naik jauh dari tahun-tahun sebelumnya. “Bahkan anggaran pendidikan lebih kecil dari cicilan hutang Indonesia dan anggaran subsidi,” kata Heri. Pada APBN 2008. Pembayaran bunga utang disepakati sebesar Rp91,365 triliun. Sementara subsidi disepakati sebesar Rp97,874 triliun. Kenyataannya, perbandingan di lapangan juga demikian, misalnya di Indonesia biaya pendidikan di universitas hanya 1.300 dolar AS per mahasiswa per tahun, sedangkan di Malaysia 12.000 dolar AS per mahasiswa per tahun. Di pendidikan dasar (SD) di Indonesia hanya 110 dolar per murid per tahun sedangkan di Malaysia 18.900 dolar Amerika per murid per tahun. ”Mengapa kita mendahulukan membayar utang? Apakah ada perintah konstitusi? Sekarang ini bayar utang lebih besar dari pada untuk mendidik anak bangsa ini menghadapi masa depannya,” tandas Heri. Menurutnya, yang bisa dihemat adalah dengan mengurangi belanja untuk membayar utang. Kemudian, menambah penerimaan negara, misalnya dari sektor pajak. Pasalnya, pendidikan ini satu-satunya investasi yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
1.3 ALOKASI ANGGARAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
Anggaran Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional tiap tahunnya mengalami peningkatan anggaran. Pada tahun 2006, jumlahnya meningkat cukup besar senilai 40.453.148 dari anggaran 25.819.673 pada tahun 2005.
2. MENAMBAL ANGGARAN PENDIDIKAN
Pemerintah akhirnya mengambil langkah lain untuk menambal biaya pendidikan. BHP adalah salah satu contohnya. Sejak tahun 2004 lalu, RUU Badan Hukum Pendidikan lahir sebagai implementasi pasal 53 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Pada ayat (1) disebutkan bahwa penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Didalam tubuhnya berdiri 10 prinsip: nirlaba, otonom, akuntabel, transparan, penjaminan mutu, layanan prima, akses yang berkeadilan, keberagaman, keberlanjutan, partisipasi atas tanggung jawab negara. Tampaknya cukup meyakinkan. Menurut RUU BHP, peran yayasan sebagai penyelenggara satuan pendidikan dileburkan dalam sebuah lembaga pengambilan keputusan yang disebut sebagai Majelis Wali Amanat. Peranan yayasan terhadap pengambilan keputusan pun hanya punya hak suara sebanyak 49%. Alasannya, ini untuk menghindari sistem hak veto yang mungkin sudah berjalan selama ini. Sedangkan prinsip nirlaba BHP sesuai dengan yang disampaikan oleh Prof Dr. Jacobson, dinyatakan bahwa berdasarkan pengertian nirlaba terdapat dua kategori badan hukum yang legal menjadi BHP.
Pertama, BHP yang didirikan oleh badan hukum nirlaba dengan hak surplus sebanyak- banyaknya 25% dan dapat dibagikan kepada pendiri.
Kedua, BHP yang didirikan oleh badan hukum laba dengan hak surplus pendiri sebanyak-banyaknya sebesar 50%. Menurut penuturannya, aturan inilah yang akan menarik banyak minat para pengusaha untuk menyelenggarakan pendidikan, mengingat keuntungan yang dinilai cukup besar. Diharapkan akan muncul dorongan untuk kreatif dalam menyelenggarakan dan meningkatkan mutu pendidikan pun akan semakin besar.
Diramalkan pula, bahwa nanti akan banyak perguruan-perguruan tinggi swasta yang akan tutup karena tidak “kuat” bertahan dan munculnya persaingan yang ketat antara perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. Prediksinya untuk masa depan pendidikan di Indonesia, akan sangat ditentukan oleh pasar dan kebutuhan industri. Maka menurutnya akan sangat mungkin, pendidikan di Indonesia akan didominasi oleh beberapa kategori yang unggul menurut kacamata pasar.
UU BHP diharapkan sebagai salah satu jalan keluar bagi keterlibatan dan tanggung jawab pemerintah dalam mengatur penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Bagaimana pula dengan harapan masyarakat yang ingin punya kesempatan seluas-luasnya untuk bisa akses ke jenjang pendidikan tinggi? Mengenai kemungkinan pemberian bantuan pendidikan dan beasiswa bagi calon mahasiswa yang cerdas namun berada dalam golongan yang tak mampu, masih diletakkan dalam prioritas yang berbentuk Rancangan Peraturan Pemerintah. Yang secara struktur, diprediksi bahwa kekuatannya lebih lemah daripada kekuatan hukum RUU BHP yang nantinya akan disahkan kabinet. Berkaitan dengan hal ini, Mansur Ramli menyatakan, “Masalah pendanaan pendidikan memang tidak diatur dalam BHP, tapi itu diatur di dalam pemasalahan yang lain yaitu Rancangan Peraturan pemerintah tentang pendanaan pendidikan. Bahwa tanggung jawab pendanaan pendidikan adalah pemerintah.”
Dengan aturan pembagian hak surplus sebesar 25 % dan 50% dalam RUU BHP, cenderung memperlihatkan orientasi penyelengaraan pendidikan Indonesia akan menuju ke arah komersialisasi pendidikan. Keadaan ini bertambah jelas dengan minimnya prioritas pendanaan pendidikan dari pemerintah. Dari jajaran diknas dan legislatif yang hadir sebagai pembicara saat itu, tak ada pernyataan tegas bahwa RUU BHP bisa menjamin Indonesia terhindar dari komersialisasi pendidikan.
3. EFISIENSI DANA PENDIDIKAN DI INDONESIA
Pernyataan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki bahwa tiap tahun terjadi kebocoran anggaran 30 Persen, Sebenarnya sudah pernah dilontarkan oleh almarhum Profesor Soemitro Djojohadikusumo sejak Lebih dari 20 tahun silam. Bayangkan seperti sebuah tradisi, begitu mengakar dan membudaya. 30% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bocor akibat praktik KKN yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa. Memang, kenyataannya hingga kini kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah masih berpotensi menjadi ladang subur korupsi.
Bahkan, temuan Tim Indonesia Bangkit lebih mencengangkan lagi, yaitu pengajuan anggaran belanja dan modal dari seluruh kementrian dan lembaga sarat dengan penggelembungan 200% hingga 300%. Tim Indonesia Bangkit yang beranggotakan ekonom independen itu meneliti efisiensi anggaran pemerintah. Penelitian dilakukan melalui analisis Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) awal yang diajukan kementrian dan lembaga pada kurun waktu 2004 sampai 2006, serta difokuskan pada proyek-proyek infrastruktur dan belanja barang. Hasilnya terdapat perbedaan mencolok antara harga pasar dan anggaran yang diajukan. Lalu, akan berguna kah efisiensi dana yang melulu bocor ini?
Pemerintah merencanakan anggaran pendidikan dalam APBN 2010 mencapai Rp195,6 triliun. Pagu indikatif anggaran 2010 tersebut terdiri atas komponen anggaran pendidikan melalui pemerintah pusat Rp. 82,5 triliun dan transfer ke daerah sebanyak Rp. 113,1 triliun, kata Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, di Jakarta, Rabu (24/6).
Menurut Mendiknas, dari rencana anggaran pendidikan tersebut sekitar 54 persen lebih atau sekitar Rp113,109 triliun diperuntukkan pendukung program wajib belajar sembilan tahun secara gratis. "Rencana anggaran pendidikan 2010 itu mengalami penyusutan dibanding 2009 sebanyak Rp. 207,4 triliun," katanya.
Dana anggaran melalui transfer daerah, antara lain terbesar dana alokasi umum (DAU) pendidikan untuk membayar gaji guru mencapai Rp. 93,31 triliun, dana alokasi khusus Rp. 9,33 triliun, dan dana bagi hasil (DBH) mencapai Rp. 423,2 miliar.
Anggaran tambahan DAU dan dana otonomi khusus pendidikan masing-masing sebesar Rp. 7,94 triliun dan Rp. 2,1 triliun. Dana untuk Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mencapai 57,5 triliun dan Departemen Agama Rp. 22 triliun.
Apakah dunia pendiikan indonesia yang ideal adalah dunia tanpa sekolah?
II. PENGERTIAN PUTUS SEKOLAH.
Berdasarkan fakta yang kongkrit, bahwa setiap anak yang telah memasuki usia balita atau berusia sekitar 7 tahun akan membutuhkan pendidikan, baik itu pendidikan di dalam rumah tangga maupun dalam lingkungan yang formal seperti sekolah, kursus atau bahkan dalam lingkungan masyarakat. Pendidikan tidak hanya di dapat melalui pendidikan formal atau yang sering disebut sekolah, tetapi pendidikan juga didapat dalam lingkungan informal yang bersumber dari keluarga, masyarakat dan lingkungan.
Untuk menghindari terjadinya perbedaan persepsi atau kesalahpahaman dalam persoalan pengertian pendidikan dan putus sekolah, maka penulis akan lebih dahulu mencoba mengemukakan pengertian pendidikan itu sendiri. Pendidikan dapat diartikan sebagai perbuatan mendidik, pengetahuan tentang mendidik. Pendidikan dapat pula diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dan budaya masyarakat. Pendidikan dapat pula diartikan sebagai sebuah proses timbal balik dari pribadi-pribadi manusia dalam menyesuaikan diri dengan manusia lain dan dengan alam semesta. Sedangkan pengertian sekolah menurut WJS. Poerwodarminta adalah bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pelajaran. Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pengertian putus sekolah adalah seseorang yang telah masuk dalam sebuah lembaga pendidikan baik itu pada tingkat SD, SMP, maupun SMA untuk belajar dan menerima pelajaran tetapi tidak sampai tamat atau lulus kemudian mereka berhenti atau keluar dari sekolah.
Pengertian putus sekolah dapat pula diartikan sebagai Drop-Out (DO) yang artinya bahwa seorang anak didik yang karena sesuatu hal, biasa disebabkan karena malu, malas, takut, sekedar ikut-ikutan dengan temannya atau karena alasan lain sehingga mereka putus sekolah ditengah jalan atau keluar dan tidak lagi masuk untuk selama-lamanya.
A. ANGKA PUTUS SEKOLAH
Alangkah ironisnya jika fakta ini kita hubungkan dengan agenda nasional beberapa tahun lalu; betapa anak-anak itu dan orang tua mereka dibujuk dan dirayu melalui kampanye yang sangat masif di televisi; termasuk program populer Ayo Sekolah yang diprakarsai aktor Rano Karno; supaya mereka mau bersekolah. Menurut Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, kasus putus sekolah yang paling menonjol tahun ini terjadi di tingkat SMP, yaitu 48 %. Adapun di tingkat SD tercatat 23 %. Sedangkan prosentase jumlah putus sekolah di tingkat SMA adalah 29 %. Kalau digabungkan kelompok usia pubertas, yaitu anak SMP dan SMA, jumlahnya mencapai 77 %. Dengan kata lain, jumlah anak usia remaja yang putus sekolah tahun ini tak kurang dari 8 juta orang.
Pencanangan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun oleh pemerintah sejak tahun 1994 menunjukkan keberhasilan jika dilihat dari angka partisipasi sekolah di semua tingkatan. Angka partisipasi murni SD saat ini sudah mencapai 90 persen lebih, sedangkan SMP di angka 60-an persen dengan tren membaik setiap tahun. Namun, keterbatasan kemampuan sebagian masyarakat mengelola pendidikan tampak dari masih relatif tingginya angka putus sekolah. Di tingkat pendidikan dasar, putus sekolah masih menjadi ”momok” upaya penuntasan wajib belajar sembilan tahun.
Angka putus sekolah seluruh jenjang pendidikan di Indonesia empat tahun terakhir masih di atas satu juta siswa per tahun. Dari jumlah itu, sebagian besar (80 persen) adalah mereka yang masih duduk di jenjang pendidikan dasar (SD-SMP). Dilihat secara persentase, jumlah total siswa yang putus sekolah dari SD atau SMP memang hanya berkisar 2 hingga 3 persen dari total jumlah siswa. Namun, persentase yang kecil tersebut menjadi besar jika dilihat angka sebenarnya. Jumlah anak putus sekolah SD setiap tahun rata-rata berjumlah 600.000 hingga 700.000 siswa. Sementara itu, jumlah mereka yang tidak menyelesaikan sekolahnya di SMP sekitar 150.000 sampai 200.000 orang.
B. Faktor-Faktor terjadinya putus sekolah
a. Kemiskinan daerah
Fakta menunjukkan, provinsi dengan tingkat pendapatan rendah cenderung memiliki angka putus sekolah yang juga tinggi. Papua Barat, Sulawesi Barat, Maluku, Gorontalo, dan Maluku Utara pada tahun 2007 termasuk dalam lima provinsi yang memiliki nilai produk domestik regional bruto (PDRB) terendah di antara 28 provinsi yang lain.Kecuali Maluku yang mencatat angka 1,45 persen, putus sekolah SD di empat wilayah lain mencapai 3-5 persen. Di tingkat SMP angkanya lebih tinggi lagi, yaitu 2-7 persen.
Kekurangberdayaan secara ekonomi di provinsi-provinsi tersebut memengaruhi kelangsungan pendidikan di wilayahnya. Dengan pendapatan per kapita per tahun Rp 3 juta hingga Rp 5 juta, total anak putus sekolah SMP di lima provinsi tersebut hampir mencapai 10.000 anak, sementara lebih dari 31.00 siswa SD juga mengalami putus sekolah. Namun, kemiskinan rupanya tidak selalu menjadi satu-satunya penyebab. Paling tidak, jika mencermati nilai PDRB setiap provinsi di Indonesia, tampak jika wilayah yang ”kaya” belum tentu lebih unggul dalam angka putus sekolah.
DKI Jakarta yang merupakan provinsi ”terkaya” dengan nilai PDRB mencapai Rp 563,8 triliun pada tahun 2007. Jakarta berada di atas rata-rata nilai PDRB nasional yang sebesar Rp 96 triliun. Namun, sayang, penuhnya pundi uang yang dimiliki Jakarta belum berhasil menurunkan angka putus sekolah di provinsi yang juga menjadi ibu kota negara ini. Pada tahun ajaran 2005/2006 hingga 2006/2007 angka putus sekolah SD di Jakarta masih menyentuh angka 1,78 persen. Persentase ini bahkan lebih tinggi dari beberapa provinsi lain dengan pendapatan regional jauh di bawah Jakarta, seperti Sulawesi Tenggara (1,37 persen) dan DI Yogyakarta (1,21 persen).
b. Akses sekolah.
Lokasi yang jauh, hilangnya tulang punggung ekonomi keluarga, serta pandangan tentang penting atau tidaknya pendidikan juga menjadi penyebab anak enggan berangkat hingga akhirnya putus sekolah. Di wilayah-wilayah yang secara geografis sangat luas dan aksesnya terbatas, seperti wilayah-wilayah pedalaman, untuk mencapai sekolah yang berjarak puluhan kilometer tentu bukan perkara mudah. Jika kondisi transportasi wilayah memang sulit dan memakan biaya besar, bisa dipastikan putus sekolah bagi si anak tinggal menunggu waktu. Data menunjukkan bahwa sebagian kasus putus sekolah banyak terjadi di wilayah-wilayah yang secara geografis masih kesulitan sarana transportasi. Beberapa provinsi yang wilayahnya luas seperti yang ada di Indonesia bagian timur dan beberapa di bagian barat masih memiliki kendala transportasi seperti ini. Misalnya, Maluku dan Papua yang memiliki luas wilayah kabupaten dan kota rata-rata ribuan hingga puluhan ribu kilometer persegi. Meski wilayahnya sangat luas, jumlah sekolah yang ada terbatas. Dampaknya, persebaran pun tidak merata.
Setelah faktor ekonomi dan faktor teknis, pandangan sosiokultural keluarga dan masyarakat tentang penting atau tidaknya sekolah juga kerap kali menentukan keberlangsungan nasib siswa dalam melanjutkan pendidikan. Di beberapa wilayah masih ditemukan adanya anggapan bahwa perempuan sebaiknya tidak bersekolah terlalu tinggi. Dari angka statistik tahun 2006, hal ini dibuktikan oleh angka partisipasi sekolah di kelompok usia di atas 16 tahun. Pada kelompok usia ini persentase siswa laki-laki yang bersekolah lebih banyak daripada siswa perempuan. Hal itu menampakkan preferensi keluarga untuk bersekolah lebih tinggi cenderung diberikan untuk anggota keluarga laki-laki.
c. Ancaman krisis
Persoalan putus sekolah tampaknya akan semakin berbelit jika berkaca pada situasi ekonomi negara saat ini yang sedang dilanda krisis. Apabila dikaitkan dengan semakin rapuhnya industri sehingga mengancam terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK), bukan mustahil angka putus sekolah akan semakin meningkat.
III. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menengah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.
IV. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa).
Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
V. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%.
Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
VI. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah. Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit. Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
. Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
BAB III
PENUTUP
1. Anggaran pendidikan tahun 2011 , jika dirinci sesuai dengan satuan kerja-satuan kerja utamanya, yaitu untuk program taman kanak-kanak dan pendidikan dasar totalnya adalah Rp. 23,1 triliun (36,5%), program pendidikan menengah totalnya Rp. 3,1 triliun (5 %). Pada program pendidikan tinggi ada Rp. 19,8 triliun (31%), untuk program pendidikan formal dan informal 2,8 triliun (4%). Sedangkan untuk peningkatan mutu dan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan 11,5 triliun (18%), dan program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis 1,22 triliun (1,9%). Kemudian untuk dukungan manajemen dan administrasi. Program pengawasan dan akuntabilitas 0,23 triliun (0,4%), untuk program penelitian dan pengembangan 1,25 (2%). Sehingga totalnya 63 triliun (100%)
2. Anggaran paling besar dari rincian di atas yaitu untuk program taman kanak-kanak dan pendidikan dasar dengan jumlah Rp. 23,1 triliun (36,5%). Memang besar sekali karena di program taman kanak-kanak dan pendidikan dasar ini, masuk komponen BOS (biaya operasional sekolah). Sedangkan komponen BOS itu sekitar 12, setelah ditambah dengan lainnya menjadi Rp17 triliun.
3. Meski secara nasional angka putus sekolah mengalami perbaikan, di 19 provinsi angka putus sekolah di tingkat SMP masih cukup tinggi. Hal ini tecermin dari angka partisipasi kasar untuk tingkat SMP yang di bawah pencapaian nasional sekitar 98,11 persen.
4. Angka partisipasi kasar (APK) adalah rasio jumlah siswa, berapa pun usianya, yang sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok usia di jenjang pendidikan tertentu.
5. Pencapaian rata-rata angka partisipasi kasar di jenjang SMP/MTs secara nasional 2009/2010 mencapai 98,11 persen atau di atas target 95 persen. Artinya, masih ada sekitar 1,89 persen penduduk usia SMP yang tidak sekolah. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Nasional, jumlah siswa SMP sederajat sekitar 12 juta siswa.
6. Sementara anak usia SMP yang tidak menikmati bangku pendidikan SMP, sebagian tersebar di 19 provinsi, termasuk Jawa Barat. Provinsi lainnya adalah Papua Barat yang APK-nya 79,59 persen, Nusa Tenggara Timur (79,91), Papua (89,74), Kalimantan Barat (82,11), Kalimantan Selatan (86,76), dan Kalimantan Tengah (89,45). Adapun yang hampir mendekati rata-rata nasional adalah Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sumatera Selatan, Banten, Lampung, Kalimantan Timur, Bangka Belitung, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku.
7. Persoalan akses ke pendidikan dasar umumnya karena kendala biaya sekolah. Hingga saat ini upaya menghilangkan hambatan bagi warga untuk mendapat pelayanan pendidikan paling tidak pada tingkat SD dan SMP atau sederajat masih belum tercapai.
8. Penelitian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch selama 2006-2008 memperlihatkan bahwa sekolah masih membebani orangtua dengan beragam biaya. Pungutan ada mulai dari proses penerimaan murid hingga kelulusan.
9. Pada 2005, total rata-rata biaya sekolah yang dikeluarkan orangtua pada tingkat SD sebesar Rp 3,5 juta per tahun. Pada 2008 meningkat menjadi Rp 4,7 juta per tahun.
10. Program bantuan operasional sekolah belum efektif. Sebab, dari sisi alokasi dana yang disediakan masih jauh dari kebutuhan.
11. Pengamat pendidikan HAR Tilaar mengatakan, pencapaian rata-rata nasional tersebut tidak menggambarkan pembangunan pendidikan yang merata. Pendidikan masih timpang di banyak daerah, baik dari segi kualitas, ketersediaan sarana dan prasarana, maupun guru.
12. Dalam memandang keberhasilan pencapaian pendidikan dasar nasional tetap tidak bisa mengabaikan kondisi riil di level provinsi hingga kabupaten/kota. Untuk itu, peningkatan akses wajib belajar sembilan tahun harus bisa diselesaikan secepatnya.
13. Faktor-faktor tingginya angka putus sekolah di Indonesia adalah :
a. Kemiskinan Daerah
b. Akses Sekolah.
c. Ancaman Krisis
d. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
e. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
f. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
g. Mahalnya Biaya Pendidikan
Langganan:
Postingan (Atom)